Menteri Agama soal Anggota MUI Terduga Teroris: Kalau Terbukti, Dihukum

Yaqut Cholil Qoumas mempersilahkan aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus yang menimpa anggota Komisi Fatwa MUI berinisial ZA atas dugaan tindak pidana terorisme.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 17 Nov 2021, 18:30 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2021, 18:30 WIB
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. (Dok Kemenag)
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. (Dok Kemenag)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mempersilahkan aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus yang menimpa anggota Komisi Fatwa MUI berinisial ZA atas dugaan tindak pidana terorisme.

Menurut dia, jika ZA terbukti melanggar dan melakukan tindak pidana terorisme, maka sudah sewajarnya menerima ganjaran hukuman.

"Ya diproses saja secara hukum. Diproses secara hukum. Kalau memang terbukti ya harus dihukum. Kan begitu," kata Yaqut di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (17/11/2021).

Dia enggan bicara banyak terkait penangkapan anggota komisi fatwa MUI tersebut. Yaqut akan terus memantau perkembangan dugaan terorisme tersebut di kepolisian.

"Ya kita mau lihat dulu. Kita mau lihat dulu ya. Jadi kalau terlibat teroris ada hukumnya sendiri," jelas Yaqut.

 

MUI Diusulkan Gandeng Sejumlah Pihak

Sementara di kesempatan terpisah, Wasekjen PKB Luqman Hakim meminta MUI menggandeng BIN, Densus 88 Polri dan BNPT untuk memeriksa internal MUI untuk membersihkan dari pengaruh radikalisme.

"Meminta kepada MUI agar menggandeng Badan Intelejen Negara (BIN), Densis 88 Antiteror Polri dan BNPT untuk melakukan pemeriksaan internal jajaran kepengurusan dalam rangka membersihkan MUI dari pengaruh jaringan radikalisme dan terorisme. Tindakan ini penting, demi memulihkan kembali kepercayaan masyarakat kepada organisasi MUI di waktu mendatang," katanya lewat keterangan tertulis, Rabu (17/11/2021).

Luqman menghimbau kepada masyarakat khususnya umat Islam untuk tetap tenang dan tidak menghiraukan provokasi pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Serta, tidak menyebarkan hasutan bahwa penangkapan sejumlah terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror Polri sebagai serangan negara terhadap Islam, ulama dan ustaz.

Menurutnya, terorisme dan kejahatan lainnya dapat dilakukan oleh manusia dengan latar belakang apa pun. Seperti pengangguran, pedagang, petani, pemuka agama, ASN, Polri-TNI, politisi, akademisi, musisi dan sebagainya.

"Apapun latar belakang seseorang, apabila ia menjadi bagian dari jaringan terorisme, maka wajib hukumnya bagi Densus 88 Antiteror Polri untuk menangkap dan memproses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ucapnya.

Ketua Pimpinan Pusat GP Ansor ini menyarankan kepada Polri dan BNPT agar membangun kerjasama dengan pemerintah daerah. Tujuannya untuk menumbuhkan kembali partisipasi dan kewaspadaan masyarakat dalam menjaga keamanan lingkungan terdekatnya dengan melibatkan pengurus RT dan RW di masing-masing daerah.

"Pogram bina lingkungan ini bermanfaat untuk deteksi dini dan mempersempit ruang pergerakan dan perekrutan jaringan terorisme," kata dia.

 

 

Didasari Alat Bukti

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memastikan penangkapan ketiga terduga teroris pada Selasa, 16 November 2021 berdasarkan alat bukti yang kuat.

"Jadi kalau Densus 88 antiteror itu melakukan penangkapan itu sudah minimal mendasari pada dua alat bukti, yang memenuhi unsur tindak pidana teror sebagaimana dalam UU nomor 5 tahun 2018," kata Direktur Pencegahan BNPT RI, Brigjen Ahmad Nurwakhid saat dihubungi, Rabu (17/11/2021).

Nurwakhid menegaskan penangkapan terhadap ketiganya tidaklah asal-asalan karena sudah sesuai hukum yang berlaku.

"Jadi intinya kalau Densus 88 menangkap itu bukan asal menangkap, semuanya adalah berdasarkan hukum, yaitu minimal dua alat bukti," tegasnya.

Karena itu, kata Nurwakhid hingga saat ini Densus 88 antiteror sebagai institusi penegak hukum di bidang tindak pidana terorisme terbaik di dunia. "Makanya kita jaga profesionalitas itu," sambungnya.

 

Reporter: Genantan Saputra/Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya