Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pihak menanggapi usai ditekennya aturan baru soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah. Dalam kebijakan ini, dana JHT baru dapat dicairkan saat peserta menginjak usia 56 tahun.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam keputusan Menaker tersebut. Presiden KSPI Said Iqbal menilai, aturan tersebut merugikan buruh.
"Pemerintah sepertinya tidak bosan menindas kaum buruh," kata Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Jumat 11 Februari 2022.
Advertisement
Baca Juga
Tak hanya itu, penolakan juga ditunjukkan dengan munculnya petisi online via change.org. Hingga Sabtu (12/2/2022) pukul 08.30, petisi berjudul Gara-gara Aturan Baru Ini, JHT Tidak Bisa Cair Sebelum 56 Tahun ini tersebut sudah diteken oleh sebanyak 67.500 orang.
Targetnya, petisi yang dibuat oleh Suhari Ete ingin menyentuh 75 ribu tanda tangan, menuntut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencabut aturan tersebut.
Berikut sederet tanggapan usai ditekennya aturan baru soal pencairan dana JHT baru dapat dicairkan saat peserta menginjak usia 56 tahun dihimpun Liputan6.com:
Â
1. KSPI Nilai Pemerintah Tidak Bosan-bosannya Menindas Buruh
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah telah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Dalam Permenaker ini diatur, pembayaran jaminan hari tua bagi buruh yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) baru bisa diambil apabila buruh di PHK pada usia 56 tahun.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam keras sikap Menaker tersebut. Presiden KSPI Said Iqbal mempertanyakan keberpihakan Ida Fauziyah kepada kalangan pekerja.
"Bahkan terkesan bagi kami para buruh, ini menteri pengusaha atau menteri tenaga kerja? Tidak bosan-bosannya 'menindas' dan bertindak tanpa hati dan pikiran dalam membuat peraturan menteri tenaga kerja," kata Said Iqbal dalam konferensi pers daring, Sabtu (12/2/2022).
Â
Advertisement
2. KSPI Nilai Menaker Tak Mengayomi Tenaga Kerja
Said Iqbal memandang bahwa Ida tak layak menduduki posisi sebagai Menaker. Lantaran segala kebijakan yang diterbitkan terkesan asal-asalan. Bahkan beraroma penindasan terhadap buruh. Menurutnya Ida bukanlah menteri yang mengayomi tenaga kerja, justru dia menteri yang menjembatani kepentingan pengusaha.
"Dalihnya pasti demi menyelamatkan perusahaan-perusahaan dan menjaga keseimbangan. Itu dalil yang selalu dislogankan oleh kapitalis, kaum pemilik modal. Bukan dalih dari seorang menteri yang menaungi perburuhan atau ketenagakerjaan," tegas dia.
Said Iqbal juga mencatat laku ketidakberpihakan Ida kepada buruh lewat PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Di mana dia melihat bahwa hadirnya PP itu menghajar kaum buruh. Di mana dalam PP itu Ida mengamanatkan kenaikan upah justru berada di bawah nilai inflasi.
Menurut Iqbal, dalam sejarah dunia tidak ada kenaikan upah justru berada di bawah inflasi.
"Di mana dalam sejarah dunia, kecuali lagi perang dan Depresi (ekonomi) yang dalam di 1920-an di Amerika maupun dataran Eropa, tidak pernah kenaikan upah minimum itu di bawah inflasi," tegas dia.
Dilihat dari lakunya selama ini, Said Iqbal bahkan tak heran jika kelak Ida akan merilis kebijakan bagi tenaga kerja untuk tetap jadi tenaga kontrak atau outsourcing seumur hidup.
"Dengan dalih turunan dari UU Cipta Kerja," terang Said.
Â
3. Minta Dicabut, Kebijakan Disebut Bertentangan dengan Amanat Jokowi
Menurut Said Iqbal, aturan tersebut berpangkal dari sikap pemerintah yang melawan putusan Mahkamah Konstitusi, di mana, UU Cipta Kerja sudah dinyatakan inkontitusional bersyarat oleh MK.
Untuk itu, KSPI mendesak Menaker mencabut Permenaker No 2 tahun 2022. Sebab dalam aturan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Menaker untuk membuat aturan agar JHT buruh yang ter-PHK dapat diambil oleh buruh yang bersangkutan ke BPJS Ketenagakerjaan setelah satu bulan di-PHK
"Dengan demikian, Permenaker ini menjilat ludah sendiri dari kebijakan Presiden Jokowi dalam upaya membantu buruh yang ter-PHK yang kehilangan pendapatannya agar bisa bertahan hidup dari JHT yang diambil 1 bulan setelah PHK," sebutnya.
"Sedangkan dalam aturan baru, buruh yang ter-PHK harus menunggu puluhan tahun untuk mencairkan JHT-nya. Padahal buruh tersebut sudah tidak lagi memiliki pendapatan," tandas Said Iqbal.
Â
Advertisement
4. Puluhan Ribu Orang Tandatangani Petisi Online
Puluhan ribu orang telah menandatangani petisi online via change.org yang menolak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Kebijakan baru ini menetapkan, pencairan dana JHT hanya bisa dilakukan jika peserta memasuki usia pensiun (56 tahun), atau meninggal dunia.
Hingga Sabtu (12/2/2022) pukul 13.00 WIB, petisi berjudul Gara-gara Aturan Baru Ini, JHT Tidak Bisa Cair Sebelum 56 Tahun ini tersebut sudah diteken oleh sebanyak 125.000 lebih orang.
Targetnya, petisi yang dibuat oleh Suhari Ete ini ingin menyentuh 150.000 lebih tanda tangan, menuntut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencabut aturan tersebut.
Melalui petisi ini, Suhari mengeluhkan nasib kaum buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau mengundurkan diri, namun usianya belum mencukupi untuk mengambil jatah dana JHT.
"Jadi kalau buruh/pekerja di-PHK saat berumur 30 tahun maka dia baru bisa ambil dana JHT-nya di usia 56 tahun atau 26 tahun setelah di-PHK. Padahal saat ini dana kelolaan BPJS Tenaga Kerja sudah lebih dari Rp 550 Trilyun," tulisnya.
Padahal, ia menambahkan, kelompok pekerja sangat membutuhkan dana tersebut untuk modal usaha setelah terkena PHK . Di aturan sebelumnya, pekerja terkena PHK atau mengundurkan diri atau habis masa kontraknya bisa mencairkan JHT setelah 1 bulan resmi tidak bekerja
"Karenanya mari kita suarakan bersama-sama untuk tolak dan #BatalkanPermenakerNomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua," seru Suhari.
Â
(Taufik Akbar Harefa)
Buruh Tuntut Upah Minimum 2022 Naik 10 Persen
Advertisement