Luhut Naikkan Tiket Borobudur, Politikus PDIP: Alasannya Konservasi atau Komersialisasi?

Menurut Deddy, menaikkan harga tiket Borobudur terkesan lebih ke arah komersialisasi dibanding konservasi.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 06 Jun 2022, 08:23 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2022, 07:03 WIB
FOTO: Menikmati Keindahan Candi Borobudur saat Sunrise
Wisatawan menikmati matahari terbit atau sunrise dengan latar belakang Candi Borobudur di Punthuk Setumbu, Karangrejo, Magelang, Jawa Tengah, Senin (16/5/2022). Punthuk Setumbu menjadi destinasi favorit di Jawa Tengah, terlebih saat libur Waisak yang terkenal dengan keindahan alam Candi Borobudur dan sekitarnya saat matahari terbit. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DPR RI, Deddy Yevri Sitorus, mempertanyakan alasan di balik rencana menaikkan tiket naik ke Candi Borobudur menjadi Rp 750 ribu untuk turis lokal dan USD 100 untuk turis asing dengan alasan konservasi.

“Bagi saya tidak masuk akal kalau alasannya adalah konservasi, lebih cenderung komersialisasi,” kata Deddy melalui keterangannya kepada media di Jakarta, Senin (6/6/2022).

Menurut Anggota Komisi VI DPR itu, kalau niatnya membatasi jumlah pengunjung yang boleh naik ke Candi Borobudur tetap di angka 1.200 orang, tak harus dengan menaikkan harga.

“Lakukan saja kebijakan, siapa yang datang lebih dulu, boleh naik hingga jumlah maksimum yang ditetapkan. Atau siapa yang mendaftar lebih dulu melalui aplikasi, boleh naik. Akan lebih baik jika dikombinasikan antara yang datang lebih dulu dengan yang mendaftar lebih dulu melalui aplikasi, agar ada keadilan antara yang punya akses ke aplikasi dengan yang tidak,” ujarnya.

Menurut Deddy, menaikkan harga tiket Borobudur terkesan lebih ke arah komersialisasi daripada konservasi. Baginya, kebijakan demikian tidak berpihak, karena pembeda untuk orang yang boleh berwisata ke situs warisan dunia itu adalah antara yang kaya dengan yang miskin.

“Orang miskin tidak akan mampu bayar harga tiket setinggi itu, apalagi bila datang dengan keluarga. Harga tiket itu bisa lebih besar dari UMR buruh bila berkunjung dengan keluarga,” urai Deddy.

“Lalu, apakah orang miskin tidak berhak untuk naik dan menikmati Candi Borobudur?” tanya Deddy.

“Saya heran, kalau pakai prinsip konservasi yang dipakai, harusnya yang dibatasi jumlah orangnya saja, dan bukan kemampuan keuangannya”, tegas dia.

Lebih lanjut, harga yang disebutkan Luhut itu jauh lebih besar dari situs bersejarah serupa di berbagai negara. Deddy mengaku melakukan riset harga tiket masuk ke situs Accropolis bersama 5 situs lainnya Yunani. Dimana harga total tiketnya hanya €30 atau sekitar Rp 464.000.

Demikian pula dengan situs warisan dunia yang ada di Italia dimana tiket masuk ke 3 situs utama yaitu Collosseum, Forum dan Palatio seharga €18 atau sekitar Rp 278.000 saja.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tiket Masuk Situs Bersejarah Dunia

Tidak jauh berbeda dengan situs terkenal lain di dunia, yaitu Piramida Giza di Mesir dan Taj Mahal di India yang tiket masuknya hanya sebesar $25 - $30 atau sekitar Rp 360.000-433.000, yang sudah termasuk paket pemandu atau layanan foto.

“Sementara tiket masuk Rp 750.000 yang disampaikan itu hanya untuk naik ke atas Candi Borobudur. Ini siksaan dan ketidakadilan bagi rakyat kecil dan berpotensi memberikan berdampak negatif terhadap jumlah pengunjung ke Borobudur,” kata Deddy.

“Dampaknya nanti justru rakyat sekitar kawasan Candi Borobudur akan kehilangan pendapatan yang signifikan,” tambahnya.

Sebagai anggota Dewan, Deddy mengatakan pihaknya bermitra dengan Holding Pariwisata di mana TWC yang anak perusahaannya sebagai pengelola Borobudur, sehingga pihaknya paham situasi.

Maka itu, Deddy berharap agar kebijakan tersebut dibatalkan karena terlalu berbau komersialisasi, tidak berkeadilan dan berpotensi menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

“Bahkan bila nanti diubah menjadi BLU pun, kebijakan harga itu sangat tidak pantas,” katanya.

Menurut Legislator dari Dapil Kalimantan Utara tersebut, cagar atau situs sejarah seperti Borobudur sudah dilindungi oleh UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dengan demikian bila yang dijadikan alasan pemberlakuan harga fantastis itu untuk membatasi jumlah pengunjung dan melindungi Candi Borobudur, agak tidak masuk akal.

“Menurut saya tidak masuk akal. Karena tanpa dipatok harga pun UU Cagar Budaya itu pun sudah lebih dari cukup untuk menjadi acuan perlindungan Candi Borobudur. Jadi kesimpulan saya, kebijakan itu murni berbau komersialisasi,” tutup Deddy.

Beri Perhatian Khusus

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, pemerintah akan membatasi kuota pengunjung Candi Borobudur. Selain itu, pemerintah juga akan menaikkan tarif bagi wisatawan yang akan naik ke area stupa Candi Borobudur. Langkah ini guna menjaga Warisan Budaya Dunia.

“Candi Borobudur itu kan cagar budaya Indonesia yang ditetapkan sebagai situs Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Dengan relief yang sarat makna khususnya bagi umat Buddha dan kita umat manusia, penting bagi kita semua memberi perhatian khusus untuk menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya nusantara tersebut,” ungkap Menko Luhut dalam keteranga ntertulis, Minggu (5/6/2022).

Sebagai situs sejarah, Candi Borobudur memiliki berbagai kerentanan dan juga ancaman. Berdasarkan kajian dari berbagai ahli yang memberikan masukan kepada Pemerintah, kondisi situs bersejarah itu saat ini mulai mengalami pelapukan. Selain itu, perubahan iklim, erupsi gunung berapi, gempa bumi, juga menjadi tantangan tersendiri.

“Silahkan cek atau tanya ke teman-teman pengelola di sana. Belum lagi perilaku pengunjung yang suka melakukan vandalisme, menyelipkan benda tertentu di sela-sela batu candi, membuang sampah sembarangan, dan yang lebih parah adalah tidak bisa menghargai Candi Borobudur sebagai situs umat Buddha. Ini semua kan perlu penanganan khusus,” lanjutnya.

 

Belum Final

Meskipun demikian, Menko Luhut mengatakan bahwa Ia juga aware dengan kekhawatiran dan masukan yang muncul dari masyarakat mengenai tarif untuk turis lokal yang dianggap terlalu tinggi.

Merespons hal itu, Menko Luhut mengatakan bahwa rencana tarif masuk Candi Borobudur yang muncul saat ini belumlah final, karena masih akan dibahas dan diputuskan oleh Presiden di minggu depan.

“Saya mendengar banyak sekali masukan masyarakat hari ini terkait dengan wacana kenaikan tarif untuk turis lokal. Karena itu nanti saya akan minta pihak-pihak terkait untuk segera mengkaji lagi supaya tarif itu bisa diturunkan. Saya sampaikan terima kasih kepada semuanya atas perhatian yang begitu besar kepada warisan budaya kebanggaan kita semua ini,” terang Menko Luhut.

Namun, Menko Luhut memastikan bahwa rencana kenaikan tarif untuk turis asing menjadi USD 100 tidak akan berubah. Begitu pula tarif untuk pelajar tetap sesuai rencana yang sebelumnya disampaikan, yakni Rp 5.000.

Sementara untuk sekedar masuk ke kawasan Candi, tarifnya juga tetap di angka Rp 50 ribu seperti saat ini. Menko Luhut juga mengatakan berdasarkan masukan yang diterima, pihaknya tengah mempertimbangkan untuk menyediakan tarif khusus bagi warga Provinsi Jawa Tengah dan DIY.

Menko Luhut mengatakan bahwa nantinya semua calon turis yang ingin mengunjungi Candi Borobudur diwajibkan untuk melakukan reservasi secara online. Hal ini dilakukan untuk mengatur aliran pengunjung.

Warga lokal pun juga akan diajak untuk lebih berkontribusi. Semua turis nantinya harus menggunakan tour guide dari warga lokal sekitar kawasan Candi Borobudur. Selain itu, turis diwajibkan untuk menggunakan sandal khusus “upanat” supaya tidak merusak tangga dan struktur bangunan yang ada di candi. Sandal ini akan diproduksi oleh warga dan UMKM di sekitar Candi Borobudur.

“Sebagai bangsa yang kaya dengan budaya, kita tentu tidak mau dianggap tidak bisa menjaga kelestarian warisan budaya kita sendiri. Jadi memang diperlukan treatment khusus untuk mewujudkan upaya itu,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya