PSI: RUU KUHP Berpotensi Lahirkan Diskriminasi

Sekjen DPP PSI juga mengatakan RUU KUHP membuka peluang disahkannya hukum adat atau norma lokal yang bersifat diskriminatif.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 09 Jul 2022, 12:04 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2022, 12:04 WIB
Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti naiknya elektabilitas PSI dalam survei SMRC menunjukkan tren positif di masyarakat. (Istimewa)
Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti naiknya elektabilitas PSI dalam survei SMRC menunjukkan tren positif di masyarakat. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengingatkan ancaman munculnya diskriminasi jika Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU KUHP) disahkan. Hal ini terkait pasal mengenai living law yang dinilai bisa merugikan kelompok rentan, minoritas, dan potensial dipakai sebagai alat politik identitas.

"Salah satu dampak pemberlakuan RUU KUHP tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 RUU KUHP yang mengatur bahwa 'hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana' adalah hukum pidana adat," ujar Sekjen DPP PSI Dea Tunggaesti dikutip dari siaran persnya, Sabtu (9/7/2022).

Menurut dia, RUU KUHP membuka peluang disahkannya hukum adat atau norma lokal yang bersifat diskriminatif. Dia pun khawatir akan muncul aturan mengenai pembatasan perempuan, dengan mengatasnamakan norma adat.

"Misalnya soal cara berpakaian perempuan atau larangan keluar malam. Data Komnas Perempuan pada 2018 mencatat ada 421 kebijakan di tingkat lokal yang bersifat diskriminatif," katanya.

Untuk itu, PSI menolak living law dimasukkan ke dalam Pasal 2 RKUHP. Hal ini mengingat kemajemukan SARA di Indonesia, sifat-hakikat hukum adat yang tidak tertulis, magis, dan dinamis, sampai potensi over-criminalization.

"Selain itu, langkah memasukkan pasal living law bukanlah memuliakan masyarakat adat, melainkan negara mencoba mengambil peranan aturan masyarakat adat," jelas dia.

"Negara dapat memuliakan masyarakat adat dengan segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, bukan dengan membakukan hukum adat dan mengambil alih otoritas masyarakat adat," sambung Dea.

Menurut dia, memasukkan living law juga berpotensi melanggar Pasal 28G ayat 1 UUD 1945. Pasalnya, aturan adat yang berbeda antar satu daerah dengan yang lain.

"Ini berpotensi membuat warga takut untuk bertindak sesuai hak asasinya," ucap Dea.

Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP Diharap Tak Jadi Polemik

Kemenkumham Raker dengan Komisi III DPR
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) saat menyerahkan naskah RUU KUHP dan RUU tentang Permasyarakatan yang telah disempurnakan kepada Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir (kanan) saat rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, draf revisi RUU KUHP telah diserahkan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Hiariej mewakili pemerintah ke Komisi III DPR RI.

Pria yang akrab disapa Eddy itu menyerahkan pembukaan draft final RKUHP pada DPR. Diketahui, publik telah lama mendesak agar draft RKUHP segera dibuka untuk umum.

Salah satu isu krusial yang dibahas terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Hal itu pun menyedot perhatian dan pro kontra.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam draf final RKUHP mempersempit makna kritik dan ruang publik untuk menyampaikan pendapat.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi menyebut, pasal menghina presiden terancam penjara di RKUHP, seharusnya tidak menjadi polemik.

"Karena yang namanya menghina tidak dapat dibenarkan baik secara ajaran agama maupun adab di masyarakat. Kenapa hal negatif ini dianggap hal positif, sehingga tidak boleh dilarang jika ada yang melakukan penghinaan?," ujar Teddy melalui keterangan tertulis, Kamis (7/7/2022).

Teddy menilai, apabila yang dilarang dalam RKUP adalah mengkritik dan mengeluarkan pendapat, maka perlu ditentang, karena bertentangan dengan demokrasi dan UUD 1945.

Wamenkumham: Penyerangan Martabat Presiden Jadi Delik Aduan dalam RUU KUHP

wamenkumham
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej di Graha Pengayoman Kemenkumham. (Merdeka.com/Bachtiarudin Alam)

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan pasal terkait penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden berubah dari delik biasa menjadi delik aduan dalam RUU KUHP.

"Dalam Pasal 218, kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat aduan, yang sebelumnya delik biasa," kata Edward dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu  2, seperti dilansir Antara.

 Rapat dengar pendapat antara Kemenkumham dan Komisi III DPR itu merupakan tindak lanjut pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Edward menambahkan Pemerintah sama sekali tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ini justru berbeda dan kami menambahkan pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden," jelasnya.

Dalam pasal itu juga diberikan pengecualian untuk tidak dituntut apabila menyangkut kepentingan umum.

Infografis Imbauan Penyembelihan Hewan Kurban Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Imbauan Penyembelihan Hewan Kurban Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya