Anies Baswedan: Sistem Pemilu Proporsional Tertutup adalah Kemunduran Demokrasi

Calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan, mengatakan apabila sistem pemilu di Indonesia akan digelar secara tertutup maka akan mengalami kemunduran dalam demokrasi.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Mei 2023, 21:35 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2023, 21:34 WIB
Anies Baswedan Sambangi DPP Partai Demokrat, Disambut Langsung AHY
Anies Baswedan menyampaikan sambutan saat tiba di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Kamis (2/3/2023). Kunjungan Anies Baswedan untuk memperkenalkan dirinya kepada Majelis Tinggi Partai. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan, mengatakan apabila sistem pemilu di Indonesia akan digelar secara tertutup maka akan mengalami kemunduran dalam demokrasi.

Anies merespons isu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem pemilu menjadi proporsional tertutup atau coblos gambar partai politik.

"Kalau ini menjadi tertutup kita kembali ke era prademokrasi, di mana calon legislatif ditentukan oleh partai. Rakyat tidak bisa ikut menentukan orangnya, sebuah kemunduran bagi demokrasi kita," ujar Anies Baswedan saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2023).

Anies menjelaskan, sistem demokrasi di Tanah Air saat ini sudah terbilang maju karena partai menawarkan nama-nama calon kepada rakyat untuk dipilih. Selain itu, masyarakat pun dapat mengetahui siapa sosok yang akan dipilihnya.

"Sehingga rakyat punya kesempatan menentukan siapa orang yang menjadi pilihannya. Itulah sebabnya proporsional terbuka ini menggambarkan kemajuan demokrasi kita," tutur Anies.

Mantan gubernur DKI Jakarta itu juga menekankan agar sistem pemilu sebaiknya tidak diubah, tetap digelar secara terbuka agar masyarakat mendapatkan hak penuh dalam pemilu 2024.

"Jadi sistem proporsional terbuka harus dipertahankan. Kesempatan kepada rakyat untuk menentukan calonnya jangan sampai dihapus. Karena itulah indikator bahwa kekuasaan ada di tangan, gitu ya," ujar Anies.

Sebelumnya, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Denny Indrayana, mengaku sudah mengetahui nantinya Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup atau mencoblos tanda gambar partai saja.

Menurut dia, pada putusannya nanti hakim MK akan memiliki pendapat yang terbelah soal putusan tersebut.

"Jadi putusan kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting," kata Denny Indrayana dalam keterangan tertulis yang disiarkan via media sosial pribadinya, Minggu (28/5/2023).

Denny menyebut, informasi tersebut berasal dari orang yang kredibilitasnya dia percaya. "Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan hakim konstitusi," tutur dia.

Alasan Denny Indrayana Bocorkan Putusan MK Ubah Sistem Pemilu

Denny Indrayana menemui Menko Polhukam Mahfud Md, Kamis (21/11/2019).
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. (Liputan6.com/ Putu Merta Surya Putra)

Usai pernyataannya viral dan jadi pembahasan publik, Denny akhirnya buka suara. Melalui rekaman video yang berlokasi di Melbourne, Australia, Denny menyampaikan alasannya menyebar rumor putusan MK.

"Saya mengamati perkembangan berita di Tanah Air, setelah kemarin saya men-tweet ada informasi bahwa MK akan memutuskan terkait sistem pemilu menjadi proporsional tertutup kembali. Dan informasi itu direspons oleh berbagai kalangan, termasuk Presiden ke-6 RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Saya juga melihat tweet yang dilepaskan oleh Menkopolhukam Profesor Muhammad Mahfud Md," ujar Denny dalam video, Senin (29/5/2023).

"Setelah saya timbang-timbang informasi bahwa MK akan kembalikan sistem pemilu legislatif menjadi proporsional tertutup lagi, harus diketahui publik. Inilah bentuk transparansi, inilah bentuk advokasi publik, pengawalan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi," ujar Denny.

Menurut Denny, yang terjadi saat ini di Tanah Air, jika sebuah isu atau peristiwa viral di media sosial, maka akan mendapat perhatian pihak terkait. Namun sebaliknya, jika tidak menjadi perhatian publik, isu atau peristiwa itu akan menguap begitu saja.

"Jika tidak menjadi perhatian publik, maka keadilan sulit untuk hadir. No viral no justice. Maka kita perlu melakukan langkah-langkah pegawalan dengan mengungkapkan ini ke sosial media," kata Denny Indrayana.

Sebab, jika sampai MK memutuskan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup, menurut Denny, MK melanggar prinsip dasar open legal policy. "Soal pemilihan sistem pemilu proporsional tertutup atau terbuka, itu adalah kewenangan pembuat undang-undang, presiden, DPR dan DPD, bukan MK," tegasnya.

Selain itu, Denny juga beralasan, jika MK kembali memutuskan sistem proporsional tertutup, maka akan mengganggu proses pemilihan umum legislatif yang sudah berjalan.

Saat ini diketahui, partai politik sudah menyampaikan daftar calon sementara anggota legislatif ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Maka jika di tengah jalan sistem pemilu diubah, kata Denny, tentu akan mengganggu partai-partai politik karena harus menyusun ulang. Tidak tertutup kemungkinan para calon anggota legislatif mundur karena mereka tidak ada di nomor jadi.

"Karena itu, maka perlu kita lakukan langkah-langkah advokasi. Melakukan langkah pencegahan preventif, melakukan langkah preemtif. Kenapa, karena saya khawatir Mahkamah Konstitusi punya kecenderungan sekarang dijadikan alat untuk strategi pemenangan pemilu," ucapnya.

 

Reporter: Rahmat Baihaqi

Sumber: Merdeka.com

Infografis Sistem Proporsional Tertutup Vs Proporsional Terbuka dalam Pemilu. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Sistem Proporsional Tertutup Vs Proporsional Terbuka dalam Pemilu. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya