DPR: Pernyataan Kemendikbudristek Mempertegas Anggapan Orang Miskin Dilarang Kuliah

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, menyayangkan pernyataan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjani yang menyebutkan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 18 Mei 2024, 16:00 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2024, 16:00 WIB
Anggota DPR pada sidang paripurna, Selasa (5/3/2024).
Anggota DPR pada sidang paripurna, Selasa (5/3/2024). (Merdeka.com/ Alma Fikhasari)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, menyayangkan pernyataan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjani yang menyebutkan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier.

Menurut Huda, penyataaan pejabat Kemendikbud itu mempertegas anggapan orang miskin dilarang kuliah.

"Kami prihatin dengan pernyataan-pernyataan Prof Tjitjik bahwa perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier yang bersifat opsional atau pilihan. Bagi kami, pernyataan itu kian menebalkan persepsi bahwa orang miskin dilarang kuliah. Bahwa kampus itu elite dan hanya untuk mereka yang punya duit," ujar Syaiful Huda dalam keterangannya, Sabtu (18/5/2024).

Huda menilai pernyataan ada benarnya, tapi kurang tepat. Apalagi, pernyataan itu dilontarkan untuk menanggapi protes kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri.

"Kalau protes kenaikan UKT direspons begini, ya tentu sangat menyedihkan," ucapnya.

"Tapi saat ada keluhan biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa dan masyarakat seolah ingin lepas tangan," sambungnya.

Huda mengungatkan, kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan data BPS tahun 2023 Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Indonesia itu masih 31,45 persen. Angka ini tertinggal dari Malaysia 43 persen, Thailand 49 persen, dan Singapura 91 persen.

"Salah satu kendala faktor pemicu rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia adalah karena persoalan biaya," imbuhnya.

Padahal, lanjutnya, anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun cukup besar yakni 20 persen dari APBN. Tahun ini saja ada alokasi APBN sebesar Rp 665 triliun untuk anggaran pendidikan.

"Nah, ini ada apa kok sampai ada kenaikan UKT besar-besaran dari perguruan tinggi negeri yang dikeluhkan banyak mahasiswa. Apakah memang ada salah kelola dalam pengelolaan anggaran pendidikan kita atau ada faktor lain," pungkasnya.

Pejabat Kemendikbudristek Sebut Pendidikan Tinggi Itu Tersier

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menanggapi gelombang kritik terkait dan protes uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi yang kian mahal.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie menyebut pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Alasannya, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional.

Mengenai banyaknya protes soal UKT, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA.

 "Kita kan bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak semua lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan," kata Tjitjik di Kantor Kemendikbudristek, Rabu, 15 Mei 2024, dikutip dari akun Youtube Jawa Pos TV, Kamis (16/5/2024).

"Apa konsekuensinya karena ini adalah tertiary education? Pendanaan pemerintah untuk pendidikan itu difokuskan, diprioritaskan, untuk pembiayaan wajib belajar karena itu amanat Undang-Undang," sambungnya.

Tetap Bertanggungjawab

Meski begitu, Tjitjik mengklaim pemerintah tetap bertanggung jawab dengan memberikan pendanaan melalui BOPTN. Namun, besarannya tidak bisa menutup Biaya Kuliah Tungga (BKT), sehingga sisanya dibebankan pada setiap mahasiswa lewat UKT.

Ia menambahkan UKT tidak mengalami kenaikan, melainkan terdapat penambahan kelompok UKT di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN). Penambahan kelompok UKT itu dilakukan oleh beberapa PTN untuk memberikan fasilitas pada mahasiswa dari keluarga mampu.

"Jadi bukan menaikkan UKT tapi menambahkan kelompok UKT menjadi lebih banyak karena untuk memberikan fasilitas kepada para mahasiswa dari keluarga yang mampu," katanya di Jakarta, Rabu, dilansir dari Antara.

Tjitjik menjelaskan permasalahan terjadi karena kampus memberikan lompatan biaya UKT sangat besar yang biasanya terjadi mulai dari UKT golongan empat ke golongan lima dan seterusnya dengan besaran rata-rata lima sampai 10 persen. Hal tersebut menjadi polemik hingga terjadi gelombang demonstrasi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) beberapa waktu belakangan ini di sejumlah daerah.

Meski begitu, pemerintah telah mengatur bahwa di setiap PTN wajib ada UKT golongan satu dan UKT golongan dua minimal sebanyak 20 persen untuk menjamin masyarakat tidak mampu tetap mendapat mengakses pendidikan tinggi berkualitas. Tjitjik pun mengingatkan PTN yang akan menyesuaikan kelompok UKT untuk mengusulkan terlebih dahulu kepada Kemendikbudristek.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya