Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK kembali menggelar sidang uji materi Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris) pada Kamis 22 Agustus 2024.
Perkara dengan Nomor 14/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh 24 notaris yang mempermasalahkan batas usia pensiun notaris yang diatur dalam Undang-undang tersebut.
Baca Juga
Sidang yang dipimpin Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan anggota Hakim Konstitusi Saldi Isra, Anwar Usman, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah dan Arsul Sani itu beragendakan mendengarkan ahli dari para pemohon yakni Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Prof. Suparji Ahmad, Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember Prof. Bayu Dwi Anggono.
Advertisement
Selain ahli, saksi dari pemohon yang dihadirkan adalah Andira Budiutami, Marta Sri Wahjuni, serta Wahyudi Suyanto.
Dalam persidangan Suparji Ahmad mengatakan, perpanjangan masa jabatan Notaris merupakan isu konstitusional dan bukan merupakan open legal policy.
Hal ini karena ada pembatasan usia notaris merupakan ketidakadilan yang intolerable, apabila dibandingkan dengan profesi lainnya yang tidak ada pembatasan.
Dirinya menjelaskan, terdapat pembedaan-pembedaan dengan profesi notaris serta melanggar moralitas karena profesi notaris merupakan profesi yang tidak membebankan negara.
"Untuk itu, negara wajib untuk menempatkan posisi notaris pada posisi yang sebenarnya sebagai profesi yang tidak membebani keuangan negara, justru sebagai garda terdepan dalam menambah pemasukan negara," ungkap Suparji.
Menurutnya, masa pensiun notaris merupakan isu konstitusionalitas norma terhadap UUD 1945. Karena konstitusi telah memberikan jaminan perlindungan bagi Warga Negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak, mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhannya, memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, mendapatkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum serta terbebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tanpa terkecuali dengan alasan apa pun, termasuk bagi mereka yang memiliki jabatan sebagai notaris.
Masih menurut Suparji, salah satu kriteria yang tidak terpenuhi sebagai open legal policy yang inkonstitusional berhubungan dengan ketidakadilan norma pasal yang diuji karena tidak dapat ditolelir.
Ketidakjelasan tersebut, lanjut Suparji, dapat terlihat dalam pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 8 ayat (2) UUJN, yang mengatur notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya apabila telah berumur 65 tahun (enam puluh lima).
"Selain itu, melalui jabatan notaris dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun (enam puluh tujuh) dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan menjadi inkonstitusional karena tidak memberikan jaminan perlindungan bagi notaris sebagai warga negara yang mempunyai profesi sebagai notaris mengakibatkan pemohon yang usianya 67 tahun (enam puluh tujuh) dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan menjadi tidak dapat melanjutkan kerjanya padahal tidak menjadi beban keuangan negara. Selain itu, mempersoalkan syarat usia tidak dilarang oleh UUD 1945, karena tidak diaturnya batas usia jabatan notaris secara eksplisit," tegasnya.
“Untuk itu, menurut ahli terhadap profesi yang tidak menuntut adanya biaya oleh negara, maka tidak perlu adanya pembatasan usia pensiunnya,” ujar Suparji.
Suparji menyebut, apabila mengacu kepada angka harapan hidup manusia Indonesia yang terus meningkat, potensi mencegah pengangguran pasca notaris pensiun, dan tidak ada kesejajaran dengan profesi-profesi lainnya serta beban pertanggungjawaban yang harus ditanggung oleh notaris sampai dengan seumur hidup.
"Maka sudah selayaknya batas usia notaris sampai dengan 70 tahun atau dapat diperpanjang sepanjang kesehatan yang bersangkutan dapat dikabulkan oleh MK," jelas Suparji.
Sehingga, Suparji menegaskan, negara rugi jika membatasi usia notaris, karena notaris selain tidak membebani anggaran negara, juga merupakan profesi yang merupakan garda terdepan dalam membantu pemasukan negara.
Kebijakan Hukum Terbuka
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menjelaskan, terhadap regulasi kebijakan hukum terbuka. Mahkamah tetap dapat memutus perkara terkait bilamana kebijakan yang dimaksudkan ternyata melanggar batasan kebijakan hukum terbuka yang telah ditetapkan oleh Mahkamah melalui putusan-putusannya.
"Hal ini juga telah dilakukan oleh Mahkamah dalam preseden putusan uji materi terkait open legal policy dalam perkara-perkara sebelumnya," ungkap Bayu.
Bayu Dwi Anggono menjelaskan, dengan memperhatikan persamaan substantif yang terdapat dalam notaris dan profesi yang sejenis seperti advokat, telah memperlihatkan adanya perbedaan yang diskriminatif antar keduanya yang mengakibatkan ketidakadilan yang intolerable.
Dirinya menyebutkan, ketentuan pembatasan usia jabatan notaris adalah regulasi yang diskriminasi, tidak rasional, mengakibatkan ketidakadilan yang intolerable.
"Dengan demikian hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi, yaitu perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif dalam Pasal 281 ayat (2); tentang kepastian hukum yang adil dalam Pasal 28D ayat (1); tentang hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dalam Pasal 28C ayat (1); dan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945," ungkap Bayu Dwi Anggono.
Dirinya melanjutkan, hendaknya perkara ini untuk diselesaikan melalui Putusan Mahkamah. Hal ini dikarenakan ketika Mahkamah menemukan adanya norma yang menyimpangi batasan open legal policy, maka MK harus mengambil sikap untuk menyatakan inkonstitusional secara bersyarat ketimbang diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang.
"Dalam Putusannya, Mahkamah memilih untuk menyerahkannya kepada lembaga pembentuk undang-undang, ternyata ditemukan fakta pembentuk undang-undang sangat lambat dalam menindaklanjutinya. Dampak dari lambatnya perubahan undang-undang dimaksud adalah pada pemenuhan keadilan dan hak konstitusional warga negara," urai Bayu Dwi Anggono.
Advertisement
Kesaksian
Saksi Pemohon Andira Budiutami dalam kesaksiannya menceritakan tentang kakeknya yang dulu diharuskan pensiun pada usia 65 tahun. Menurutnya, kakeknya kala itu masih dalam kondisi yang sehat baik fisik maupun psikis.
“Setelah tidak lagi berprofesi sebagai notaris, Yangkung melanjutkan aktivitasnya dengan mengajar di Universitas Indonesia dan rutin bermain golf untuk mengisi waktu luang. Namun, kehilangan profesi yang sangat dicintainya berdampak signifikan pada kondisi psikologisnya, yang akhirnya menyebabkan penurunan kesehatannya," ucap Andira.
Selain itu saksi Marta Sri Wahjuni menegaskan kerugian yang diderita saat nantinya pensiun.
"Nantinya saya sebagai single mom harus menafkahi anak dan orang tua saya yang sedang sakit, maka nanti akan sangat memberatkan dirinya apabila pensiun di usia 65 tahun," tegas Marta.
Saksi lain, Wahyudi Suyanto mengungkapkan, justru masyarakat yang dirugikan dengan adanya pengaturan pensiun notaris di umur 65 tahun dan hanya dapat diperpanjang hingga 67 tahun.
"Yang dirugikan adalah justru masyarakat jika usia notaris dibatasi, karena masyarakat kehilangan notaris-notaris yang berpengalaman yang dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat," tegas Wahyudi.
Sementara itu kuasa hukum pemohon Saiful Anam mengatakan dirinya sangat puas dengan ahli dan saksi yang dihadirkan.
Menurut Saiful Anam, selain memperkuat dalil permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon, saksi dan ahli sangat memahami persoalan dan ahli dibidangnya.
"Prof. Suparji telah menjelaskan apabila dihubungkan dengan Economic Analisys of Law, justru akan terdapat kerugian ekonomis jika usia notaris dibatasi. Sedangkan, Prof. Bayu juga semakin meyakinkan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan bukan open legal policy, karena ada point-point open legal policy sebagaimana telah ditentukan oleh MK terpenuhi dalam pengujian UUJN tersebut," ucap Saiful Anam.
Dirinya berkeyakinan jika permohonan para pemohon akan dikabulkan.
"Karena ahli dan saksi yang dihadirkan telah mampu memberikan keyakinan hakim untuk mengabulkan permohonannya," urainya.
Untuk sidang berikutnya, lanjut Saiful Anam, akan digelar pada Selasa 3 September mendatang dengan agenda mendengar keterangan DPR, saksi dan ahli dari pemerintah.