Liputan6.com, Jakarta - Ahli Polimer dari salah satu universitas di Jerman menyebutkan, unsur Bisfenol A (BPA) dalam campuran pembuatan kemasan Polikarbonat, termasuk galon guna ulang jumlahnya sangat sedikit. Selain itu, BPA ini akan bermigrasi hanya jika galonnya meleleh saja.
"Unsur BPA itu jumlahnya sangat sedikit pada barang jadinya. Jadi, tidak mungkin Polikarbonat itu melepas BPA dalam jumlah yang sangat besar," ujar Ahli Polimer lulusan University of Applied Science Darmstadt, Jerman jurusan Teknologi Polimer, Oka Tan, melalui keterangan tertulis, Kamis (29/8/2024).
Baca Juga
Dia menjelaskan, dengan membentuk kemasan yang sangat kuat dan tahan panas, BPA yang terikat dalam bentuk polimer pada galon Polikarbonat ini juga tidak akan mungkin bermigrasi saat terjadinya benturan atau gesekan dan jika terkena sinar matahari.
Advertisement
"BPA dalam polimernya tidak akan bermigrasi kecuali kemasannya itu meleleh. Tapi, itu kan tidak pernah terjadi, kemasan Polikarbonat itu sampai meleleh. Itu karena kemasan Polikarbonat ini tahan panas hingga ratusan derajat atau lebih dari 200 derajat," ucap Oka Tan.
Menurut dia, jika terjadi gesekan saat proses distribusinya, menurut Oka, itu tidak mempengaruhi bagian dalam galon sama sekali.
"Yang bergesekan itu kan bagian luarnya dan tidak bagian dalamnya. Jadi, tidak mungkin itu terjadi migrasi BPA ke dalam airnya. Orang mungkin berpikiran pada saat bergesekan akan terjadi bagian luarnya pecah sehingga mikroplastiknya keluar. Tapi sampai sekarang itu juga belum terbukti," papar Oka Tan.
"Jadi, semua opini masyarakat yang mengatakan hal tersebut secara ilmiahnya tidak terbukti," sambung dia.
Â
Jumlah BPA Tak Bergantung Sinar Matahari
Belum lama ini, Profesor Ahli Farmakologi dari Universitas Airlangga Junaidi Khotib menyampaikan, ada kemungkinan jumlah ambang batas aman itu berubah.
"Sebab, jumlah BPA yang bermigrasi dari polimer polikarbonat sangat tergantung pada tingkat keasaman cairan yang dikemas, suhu penyimpanan (distribusi dan penyimpanan retail) dan paparan sinar matahari," jelas Junaidi.
Menanggapi hal tersebut, Oka Tan menegaskan, BPA itu tidak akan bermigrasi, baik itu jika terjadi gesekan selama distribusinya, maupun terkena sinar matahari.
"Setiap orang bisa beropini seperti itu. Tapi, jika terjadi gesekan itu kan terjadi di luar galon bukan di bagian dalamnya. Jadi tidak mungkin itu terjadi migrasi. BPA itu juga baru bermigrasi jika kemasannya meleleh," ucap dia. Menurut Oka Tan, sebelum digunakan untuk minuman, galon Polikarbonat itu dianeling dulu atau proses dipanaskan lagi, supaya lebih kuat.
"Makanya orang suka pakai Polikarbonat ini karena dia tahan banting," kata dia.
Â
Advertisement
BPA Tetap Tak Melebihi Ambang Batas Aman
Secara prinsip, lanjut Oka, Polikarbonat ini juga masih diijinkan oleh FDA atau Food and Drug Administration, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat dan juga negara-negara lain termasuk Indonesia.
"Kalau sudah dianggap membahayakan kesehatan, kemasan ini kan seharusnya sudah sejak lama ditarik dari peredaran. Tapi, nyatanya hal itu tidak dilakukan," terang dia.
"Malah, Polikarbonat ini malah dikembangkan dalam pembuatan tupperware di Irlandia, Amerika dan Belgia. “Itu kan karena semua orang tahu kalau Polikarbonat itu masih aman untuk digunakan," sambung Oka. Memang, dia mengakui, jika BPA itu bisa membuat kromosom berubah.
"Tapi, dalam kasus sudah dijadikan gaslon itu sangat aman dan sudah diteliti baik di Eropa, Amerika, dan negara lainnya. “Jika berbahaya, mereka juga kan seharusnya sudah melarang jauh-jauh sebelumnya," tutur Oka. Oleh karena itu, dia melihat isu-isu BPA ini dihembuskan hanya karena adanya unsur persaingan usaha saja.
"Karena, di semua negara belum terbukti ada kasus migrasi BPA dari kemasan Polikarbonat yang melebihi ambang batas aman yang ditetapkan negaranya. Semua masih di bawah limit," tandas Oka Tan.