Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang memuat soal pengaturan desain kemasan menimbulkan penolakan keras dari industri.
Usulan kewajiban penerapan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektronik itu muncul tanpa dasar hukum yang jelas. Hal tersebut seperti disampaikan Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Suryadi Sasmita.
Baca Juga
Pasalnya, lanjut Suryadi, Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan maupun aturan turunannya di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sama sekali tidak mengamanahkan pengaturan terkait desain dan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektronik.
Advertisement
"Secara kolektif pemangku kepentingan sektor tembakau telah menolak usulan aturan kemasan polos. Karena memang secara historis Indonesia pernah melakukan gugatan kepada World Trade Organization (WTO) pada 2015 dan itu menjadi satu pertimbangan," ujar Suryadi melalui keterangan tertulis, Kamis (5/9/2024).
Dia menilai, kebijakan kemasan polos pun menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap merek dagang produk tembakau.
Berdasarkan draf tersebut, kata Suryadi, standar desain kemasan produk rokok baik produk konvensional maupun elektronik akan disamakan baik secara warna, desain, maupun font tulisannya.
"Pemilihan warna pantone 448 C sebagai warna yang harus digunakan seluruh produsen ini dirumuskan tanpa berkonsultasi dengan industri. Padahal, salah satu penelitian menyebutkan warna cokelat lumpur tua ini sebagai warna terjelek di dunia yang dapat berdampak negatif terhadap industri," jelas dia.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menambahkan, penyeragaman dari sisi warna dan desain pada kemasan rokok dikhawatirkan mendorong penyebaran rokok ilegal.
Bisa Merugikan Banyak Pihak
Benny menilai, hal tersebut hanya akan merugikan semua pihak, melukai industri lebih jauh, dan di sisi lain penerimaan cukai negara juga akan ikut merosot tajam.
Selain itu, kata dia, tujuan pengendalian konsumsi produk tembakau yang dicita-citakan oleh Kementerian Kesehatan juga tidak tercapai.
"Ketika rokok legal diatur secara eksesif, nanti rokok ilegal yang akan makin bertebaran di pasaran. Rokok ilegal kan tidak pakai kemasan apa pun, tidak peduli aturan apa pun. Secara umum, makin ketatnya regulasi di sektor ini akan makin berat bagi industri tembakau yang kinerjanya juga sedang tidak baik," ucap Benny.
Ia pun mengingatkan, cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) merupakan penyumbang terbesar penerimaan cukai di Indonesia.
"Hingga Juli 2024, penerimaan cukai rokok tercatat sebesar Rp111,3 triliun," tandas Benny.
Advertisement
Desai Kemasan Polos
Kemudian, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budiman turut menyuarakan soal desain kemasan polos. Menurutnya, pasal ini tidak masuk akal dan tidak seharusnya ada di dalam aturan.
"Adanya kemasan polos sama saja membiarkan konsumen jadi buta, yang akhirnya malah akan menguntungkan produk ilegal. Makanya kami petani AMTI, petani tembakau, petani cengkeh, para pekerja ini ya menolak aturan kemasan polos," kata Budiman.
"Plain packaging itu tidak ada mereknya, padahal produk-produk kami legal, bukan ilegal. Ini tadi dikatakan, bisa marak rokok-rokok yang ilegal, karena mereka kan tidak bayar cukai, tidak bayar pajak. Nah, ini yang mestinya dipikirkan, kita dari hulu hingga hilir ini ya menolak kemasan polos itu. Ini kan sekarang diatur sekian persen, harus ada peringatan kesehatan. Ini kita menolak pengaturan itu," tegas Budiman.
Dorongan penolakan aturan soal desain kemasan polos ini perlu disampaikan secara langsung kepada Kemenkes. Saat ini, Kemenkes pun membuka peluang bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memberi masukan dalam perumusan RPMK.
Melalui kanal resminya yang bisa diakses melalui https://partisipasisehat.kemkes.go.id/naskah/detail?param=usulan-tertulis, seluruh pihak bisa menyampaikan masukan agar pasal mengenai desain kemasan polos dicabut dari RPMK.