Partai Gerindra membantah keras pernyataan PDIP yang menyebutkan salah satu penyebab kekalahan pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto pada Pilpres 2009 lalu karena Prabowo tak maksimal menggelontorkan dana pemenangan pemilu. Padahal Prabowo tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp 1,7 triliun.
"Saya kira itu tidak benar. Kita memang sudah sama-sama berjuang pada waktu itu," kata anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Marthin Hutabarat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (14/11/2013).
Marthin menuturkan dirinya mengetahui proses pemenangan Pilpres 2009 lalu sejak dari awal koalisi. Ia juga selalu mengikuti rapat bersama tim pemenangan Megawati-Prabowo.
Menurutnya, kekalahan pasangan Mega-Pro akibat popularitas pesaingnya yakni SBY-Boediono sangat tinggi. Apalagi, SBY merupakan calon presiden incumbent yang diuntungkan pemberitaan setiap hari.
"Memang saat itu harus diakui, popularitas SBY saat itu sangat tinggi. Salah satu bukti adalah Partai Demokrat meningkat sampai 20 persen. Sedangkan partai-partai yang lain turun jauh," jelas Marthin.
"Jadi PDIP pun hanya 14 persen Golkar juga sama. Sedangkan Demokrat di atas 20 persen. SBY itu presiden incumbent, setiap hari di televisi dan selalu diliput orang, pidato-pidatonya, bagaimana juga kegiatannya," tuturnya.
Akibatnya, lanjut Marthin harapan orang pada waktu itu sangat tinggi kepada SBY, sehingga ada pemikiran bahwa siapa pun yang dipasangkan oleh SBY pasti akan terpilih. "Itu adalah fakta pada tahun 2009," jelasnya.
Karena itu, anggota Komisi III DPR ini mengatakan pasangan Mega-Pro dalam Pilpres lalu bukan akibat Prabowo tak mau mengeluarkan uang. Menurutnya tuduhan itu sangat mengada-ada.
"Jadi kalau dilihat dari kacamata, itu terlalu mengada-ada, terlalu berlebihan. Memang harus diakui, sangat berat waktu itu mengalahkan figur SBY dalam pemilihan presiden," tukas Marthin. (Adi/Sss)
"Saya kira itu tidak benar. Kita memang sudah sama-sama berjuang pada waktu itu," kata anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Marthin Hutabarat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (14/11/2013).
Marthin menuturkan dirinya mengetahui proses pemenangan Pilpres 2009 lalu sejak dari awal koalisi. Ia juga selalu mengikuti rapat bersama tim pemenangan Megawati-Prabowo.
Menurutnya, kekalahan pasangan Mega-Pro akibat popularitas pesaingnya yakni SBY-Boediono sangat tinggi. Apalagi, SBY merupakan calon presiden incumbent yang diuntungkan pemberitaan setiap hari.
"Memang saat itu harus diakui, popularitas SBY saat itu sangat tinggi. Salah satu bukti adalah Partai Demokrat meningkat sampai 20 persen. Sedangkan partai-partai yang lain turun jauh," jelas Marthin.
"Jadi PDIP pun hanya 14 persen Golkar juga sama. Sedangkan Demokrat di atas 20 persen. SBY itu presiden incumbent, setiap hari di televisi dan selalu diliput orang, pidato-pidatonya, bagaimana juga kegiatannya," tuturnya.
Akibatnya, lanjut Marthin harapan orang pada waktu itu sangat tinggi kepada SBY, sehingga ada pemikiran bahwa siapa pun yang dipasangkan oleh SBY pasti akan terpilih. "Itu adalah fakta pada tahun 2009," jelasnya.
Karena itu, anggota Komisi III DPR ini mengatakan pasangan Mega-Pro dalam Pilpres lalu bukan akibat Prabowo tak mau mengeluarkan uang. Menurutnya tuduhan itu sangat mengada-ada.
"Jadi kalau dilihat dari kacamata, itu terlalu mengada-ada, terlalu berlebihan. Memang harus diakui, sangat berat waktu itu mengalahkan figur SBY dalam pemilihan presiden," tukas Marthin. (Adi/Sss)