Negara Belanda Memiliki Anak-anak Paling Bahagia, Kenapa Bisa?

Laporan UNICEF yang diterbitkan tahun lalu mengatakan, anak-anak di Belanda memiliki tingkat kesejahteraan tertinggi.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Des 2021, 08:00 WIB
Diterbitkan 01 Des 2021, 08:00 WIB
Ilustrasi anak
Ilustrasi anak belajar di kelas (Photo by stem.T4L on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Menurut sebuah penelitian, anak-anak di Belanda termasuk yang paling bahagia di dunia. Di balik hal itu, ternyata ada peran orang tua yang akhirnya bisa membuat sang anak merasa paling bahagia di antara milyaran anak lainnya.

Laporan UNICEF yang diterbitkan tahun lalu mengatakan, anak-anak di Belanda memiliki tingkat kesejahteraan tertinggi. Badan Anak dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun telah menganalisis data di hampir 41 negara yang berpenghasilan tinggi.

Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui negara mana yang memiliki anak-anak paling bahagia. Adapun indikatornya menilai berdasarkan kesejahteraan mental, fisik, dan pengembangan keterampilan akademik, dan sosial anak-anak.

Kemudian hasil penelitian menunjukkan bahwa Negeri Kincir Angin itulah yang berada di urutan pertama dibanding negara berpenghasilan tinggi lainnya. Diikuti Denmark dan Norwegia. Sementara untuk Chili, Bulgaria, dan AS justru berada di dasar klasemen.

Di samping itu, Organisation for Economic Co-operation and Development’s 2020 Better Life index mengatakan bahwa Belanda juga berhasil mencetak skor di atas rata-rata pada sejumlah bidang. Di dalamnya termasuk pendapatan, pendidikan, perumahan, dan status kesehatan.

Melansir laman CNBC, Rabu (1/12/2021), penulis “The Working Parent’s Survival Guide” Anita Cleare mengatakan, penting untuk memahami peran faktor sosial ekonomi dalam memengaruhi kebahagiaan anak-anak.

Dia menjelaskan, jika seorang anak memiliki kebutuhan tertentu yang terpenuhi, yang mungkin lebih terjadi di negara yang makmur, ada peluang lebih besar untuk mencapai kebahagiaan.

Pola asuh yang tegas, mampu menetapkan batas yang jelas dengan banyak cinta dan kehangatan. Secara konsisten itu terbukti berkorelasi dengan hasil positif bagi anak-anak.

Selain itu, Cleare juga mengatakan bahwa rasa malu bisa sangat merusak anak-anak. Sementara bagi orang Belanda, di sana mereka bisa lebih terbuka untuk berani mengutarakan hal-hal yang mungkin dianggap tidak nyaman. Itulah yang membuat Belanda lebih dibanding negara lain.

Di samping itu, laporan UNICEF juga menggarisbawahi bahwa tidak semua anak yang tinggal di negara kaya memiliki masa kanak-kanak yang baik.

“Bahkan negara-negara dengan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan yang baik masih jauh dari memenuhi target yang ditetapkan dalam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan,” tulis UNICEF dalam laporan tersebut.

Dalam mengatasi kekurangan tersebut, UNICEF mendorong negara-negara berpenghasilan tinggi untuk coba berdiskusi dengan anak-anak tentang bagaimana dapat meningkatkan kehidupannya.

Selain itu, juga memastikan bahwa kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan tersebut terintegrasi dengan baik.

Seiring hal itu, UNICEF menyarankan agar negara-negara mampu mempercepat dalam upaya pemenuhan tujuan pembangunan berkelanjutan. Misalnya mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pola asuh anak.

 

 

Sekolah yang non-kompetitif

Ilustrasi Orang Tua dan Anak. Unsplash/Alexander Dummer
Ilustrasi Orang Tua dan Anak. Unsplash/Alexander Dummer

Cleare mengatakan, Belanda memiliki reputasi yang cukup baik. Sebab di negara tersebut masyarakatnya begitu menghargai keragaman dan sangat inklusif.

Pendekatan pengasuhan seperti ini penting, tuturnya. Mengingat betapa banyak tekanan yang dihadapi anak-anak saat ini. Baik secara akademis maupun sosial.

“Jadi saya pikir tumbuh dalam budaya di mana hadiah unik setiap orang dirayakan, dan anak-anak merasa seperti mereka bisa menjadi apa yang mereka inginkan, dan mereka tidak dihakimi, kemungkinan akan membuat persahabatan lebih positif, budaya bermain lebih positif, dan akan membantu tingkat kebahagiaan anak-anak,” katanya.

Bahkan menurut penelitian UNICEF tersebut menunjukkan bahwa 81 persen remaja di Belanda yang berusia 15 tahunan juga merasa dapat berteman dengan mudah. Persentase tersebut menjadi salah satu peringkat tertinggi di antara 41 negara lain yang masuk dalam penelitian.

Ternyata hal ini juga disebabkan dari kegiatan sekolah yang non-kompetitif. Pendiri organisasi pengembagan keterampilan Good Play Guide Amanda Gummer yang mengungkapkan.

Gummer mengatakan, sekolah di Belanda tidak kompetitif, ada fokus untuk mengembangkan semangat belajar. Bahkan dia juga sering menyampaikan kepada para orang tua di Belanda, “Nilai ujian bukanlah segalanya dan akhir dari segalanya.”

Dia mengatakan, anak-anak harus mencoba fokus pada pengembangan rasa ingin tahu.Selain Belanda, kata Gummer, ada pula pelajaran yang bisa dipetik dari negara lain. Pelajaran tersebut dianggap menjadi teladan untuk meningkatkan kesejahteraan anak.

Misalnya di Norwegia, negara yang berada di urutan ketiga dalam daftar UNICEF. Gummer mengatakan bahwa ada “budaya kebersamaan” di sana.

“Membantu orang lain sangat bagus untuk kesehatan mental Anda, jadi pikirkan bagaimana seluruh keluarga Anda dapat berkontribusi pada masyarakat,” jelasnya.

Dengan arti lain, Gummer menyarankan bahwa menjadi sukarelawan adalah salah satu cara untuk menumbuhkan rasa kebersamaan ini.

 

Reporter: Aprilia Wahyu Melati

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya