Liputan6.com, Jakarta - Sebagian masyarakat umum, hakim tingkat banding, hakim kasasi, dan hakim Mahkamah Agung mungkin mengira kasus kerja sama IM2-Indosat adalah kasus tipikor dengan jumlah kerugian negara Rp 1,3 trilliun, seperti putusan pengadilan tingkat pertama.
Mungkin pula mereka ada yang bertanya-tanya kenapa pelaku tipikor ini ngotot banding, kasasi, PK, dan bahkan akan PK di atas PK, kenapa tidak segera bertobat saja mengakui segala dosa dan kesalahan.
Melalui tulisan ini, penulis sekali lagi ingin menjelaskan bahwa kasus ini bukanlah kasus tipikor, melainkan kasus sengketa penafsiran praktik bisnis telekomunikasi. Satu pihak menafsirkan bahwa kerja sama antara IM2 dan Indosat adalah kerja sama penggunaan jaringan seluler untuk jasa akses internet.
Advertisement
Sementara pihak lain menafsirkan, kerja sama antara IM2 dan Indosat adalah kerjasama penggunaan jaringan seluler untuk jasa akses internet (koma), maka PT IM2 menggunakan pita frekuensi Indosat, maka seharusnya membayar BHP-frekuensi seperti yang telah dilakukan oleh Indosat, dst.
Baca Juga
Cerita ringkas dari sengketa penafsiran itu disampaikan sebagai berikut:
Karena para pelanggan PT IM2 meng-akses server-layanan-internet-IM2 melalui jaringan seluler Indosat, lalu disangkakan bahwa PT IM2 sengaja bekerjasama dengan PT Indosat untuk menghindari pembayaran BHP-frekuensi.
Sangkaan itu berkembang lebih jauh dengan menyatakan, PT IM2 tidak berhak memanfaatkan jaringan seluler milik PT Indosat karena tidak memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan seluler dan tidak pernah mengikuti lelang pita frekuensi pada 2006.
Jadi, kerja sama antara PT IM2 yang menyediakan server untuk akses internet dengan PT Indosat yang menyediakan jaringan selulernya agar pelanggan IM2 dapat meng-akses server layanan internet IM2 inilah, yang kemudian dikemas sebagai tindak pidana korupsi dengan sangkaan bahwa kedua perusahaan ini sengaja bekerjasama sehingga PT IM2 tidak membayar BHP-frekuensi.
Padahal, BHP-frekuensi dari jaringan seluler PT Indosat sudah dibayar lunas oleh PT Indosat sebagai pemilik jaringan seluler. PT IM2, yang hanya sebagai salah satu pengguna jaringan seluler Indosat dan bukan penyelenggara jaringan seluler, tentu tidak berkewajiban membayar BHP-frekuensi tersebut.
Praktik bisnis PT IM2 menyediakan server layanan akses internet yang dapat diakses melalui jaringan selulerPT Indosat inilah, yang dalam sidang pengadilan tingkat pertama disimpulkan sebagai perbuatan menggunakan pita frekuensi milik Indosat.
Menteri Komunikasi dan Informatika telah memberi penjelasan resmi bahwa perbuatan PT IM2 adalah menggunakan jaringan bukan menggunakan pita frekuensi. Namun, putusan yang terjadi adalah kesimpulan bahwa karena PT IM2 menggunakan jaringan seluler PT Indosat, berarti PT IM2 telah menggunakan alokasi pita frekuensi PT Indosat.
Kesimpulan berdasar persepsi pribadi dan tidak sesuai dengan keilmuan telekomunikasi inilah, yang dipersoalkan dan berusaha diluruskan oleh banyak kalangan dan komunitas, karena dampaknya akan sangat buruk bagi penyelenggaraan telekomunikasi secara menyeluruh.
Jika dicermati, pada pengadilan tingkat pertama ada lima putusan regulatif serangkai yang berurutan (jika putusan 1 tidak ada, maka yang lain gugur dengan sendirinya), yaitu:
- PT IM2 dianggap menggunakan alokasi pita frekuensi milik PT Indosat.
- PT IM2 dianggap wajib membayar BHP-frekuensi sebesar Rp1,358 T seperti PT Indosat.
- PT IM2 dianggap menghindari kewajiban membayar BHP-frekuensi sebesar Rp1,358 T.
- Maka, Pak Indar Atmanto sebagai Dirut PT IM2 dianggap telah bersalah menanda tangani kerjasama sehingga PT IM2 tidak membayar BHP-frekuensi Rp 1,358 T.
- Maka Pak Indar Atmanto dianggap terbukti melakukan tipikor dan dipenjara 4 tahun, lalu digandakan menjadi 8 tahun.
Jadi pada sidang tipikor dengan terdakwa Pak Indar, PT IM2 sudah diadili dan di-vonis harus membayar Rp 1,3 trilliun meskipun belum menjadi terdakwa.
Jika setelah putusan PK yang ditolak ini nanti, PT IM2 diajukan sebagai terdakwa korporasi, materi apa lagi yang akan disidangkan; dan apakah PT IM2 akan masih ada mengingat IM2 bisa saja tutup/bangkrut karena tidak akan mampu membayar sebesar Rp 1.3 trilliun.
Jika kemudian PT Indosat dan Dirutnya diadili juga sebagai terdakwa korporasi dalam kerjasama ini, vonis tipikor apa yang akan ditimpakan kepada Indosat dan Dirutnya karena telah “dengan sengaja” melakukan kerjasama dengan banyak pihak sehingga jaringan selulernya digunakan oleh banyak mitra usaha (salah satunya adalah PT IM2).
PT Indosat telah membiarkan ratusan mitra usaha dan jutaan pelanggan, menggunakan jaringan selulernya tanpa membayar BHP-frekuensi masing-masing Rp 1,3 trilliun.
Semua mitra usaha PT Indosat, mitra usaha PT Telkomsel, PT XL-axiata, Smartfren, Three, SmartTel, BakrieTel, kesemuanya pasti memanfaatkan jaringan seluler dalam menjalankan bisnisnya.
Ratusan penyelenggara jasa content-provider, puluhan cloud & M2M provider, dan beragam mobile-services yang akan terus berkembang pasti harus bekerjasama dengan penyelenggara jaringan seluler agar jasa yang disediakan dapat diakses oleh pelanggan.
Maka secara keseluruhan, akan ada ribuan mitra usaha dari para penyelenggara jaringan seluler yang bersama-sama menggunakan jaringan seluler dalam menjalankan usahanya.
Apakah ribuan perusahaan penyedia jasa mobile-services ini akan diwajibkan membayar BHP-frekuensi? Jika mengacu kepada putusan MA, demi menghormati putusan hukum, maka Kementerian Kominfo harus menerapkan penafsiran praktik bisnis telekomunikasi yang termuat dalam putusan itu kepada semua penyelenggara jasa yang bekerja sama dengan para penyelenggara jaringan seluler.
Dapat dibayangkan ribuan trilliun harus disiapkan oleh para UKM telekomunikasi untuk membayar BHP-frekuensi sebagai konsekuensi dari kerjasama dengan penyelenggara jaringan seluler.
Jika satu penyelenggara jasa telekomunikasi bekerjasama dengan lima penyelenggara jaringan seluler, maka ia harus membayar 5xBHP-frekuensi. Jumlah dana yang pasti tidak akan mampu terbayar. Jika putusan MA ini benar-benar dijalankan oleh Kementerian Kominfo, maka tidak akan ada lagi UKM telekomunikasi.
Bisnis telekomunikasi hanya akan mampu dijalankan oleh pemilik jaringan seluler. Berakhirlah demokrasi ekonomi. (Sun/Yus)