Liputan6.com, Jakarta Ternyata perayaan Natal 2016 di seluruh tanah air berlangsung dengan damai. Tidak diberitakan adanya gangguan apa-apa. Itu pun tidak hanya karena kepolisian menjamin keamanan dengan sangat baik.
Pengamanan oleh kepolisian tentu diperlukan, dan barangkali masih lama akan diperlukan untuk menghadapi ancaman terorisme. Terorisme tidak akan cepat pergi.
Terorisme sudah menemukan titik lemah masyarakat berteknologi tinggi: Serangan acak oleh individu atau kelompok kecil di seribu tempat yang dipilih acak juga. Kecuali sikap was-was di tempat-tempat potensial tak banyak yang dapat dibuat. Soalnya, kaum teroris jangan dicampuradukkan dengan apa yang disebut hardliner, fundamentalis, golongan tidak toleran.
Advertisement
Dengan mereka itu orang dapat berunding, berkomunikasi. Sedangkan kaum teroris termasuk kategori tersendiri yang di luar segala jalur komunikasi. Kiranya masih lama kita harus hidup dengan ancaman terorisme.
Tetapi Natal 2016 memberi kesan kuat bahwa - kecuali karena kemungkinan terorisme tadi - gereja-gereja di tahun 2016 sebenarnya tidak perlu diberi perlindungan. Di mana pun tidak ada kesan bahwa ada kelompok-kelompok masyarakat yang mau mengganggu ibadat Kristiani di malam Natal.
Bisa saja bahwa cukup banyak merasa malu dengan pembubaran suatu perayaan Natal di permulaan Desember, di Bandung, oleh sekelompok orang fanatik.
Tahun ini - tahun lalu juga! - umat Kristiani merasa aman dan terlindung oleh masyarakat dalam merayakan Natal. Apa itu masyarakat Muslim di Jawa, di bagian besar Sumatera, di Lombok dan di banyak pulau lain, apa itu masyarakat Hindu di Bali: mereka mendukung suasana di mana jemaat-jemaat Kristiani dapat merayakan Natal, juga di malam hari, dengan merasa aman.
Sesudah dua bulan keramaian unjuk rasa dan emosi agama bernada tinggi di Ibu Kota, suasana damai Natal 2016 cukup mengesankan.
Kenyataan ini merupakan tanda penting. Yaitu tanda bahwa meski selalu masih ada gesekan, tindakan intoleransi, konflik kecil, bahkan kadang-kadang konflik besar bernada agama, kesediaan dasar Pancasila bahwa kita saling menerima baik, masih utuh.
Modal persatuan bangsa, di mana kita menyambut gembira mereka semua yang "sama-sama Indonesia", betapa pun besar perbedaan agama, etnik dan budaya, ternyata masih utuh. Modal sosial kesediaan untuk saling menerima itu ternyata masih dapat kita andalkan.
Modal kesediaan untuk saling menerima itu amat didukung oleh pesan Natal. Apa umat Kristiani meyakini Yesus yang lahir di Betlehem sebagai Tuhan, atau Yesus diakui oleh mereka yang berkeyakinan berbeda sebagai orang baik, orang milik Tuhan, yang hatinya dekat dengan Tuhan: sosok bayi Yesus mengajar sesuatu.
Ada yang teramat mencolok. Bayi pilihan Tuhan itu tidak lahir dalam istana, ibunya Maria dan Josef, suami Maria, tidak termasuk golongan terpandang. Josef adalah tukang kayu. Mereka begitu miskin sehingga ditolak di penginapan di Betlehem dan bayi Yesus terpaksa ditidurkan dalam palungan tempat makan ternak.
Yesus lahir dalam kemiskinan, kesederhanaan, keterancaman, dan dalam rangkulan kasih Ilahi. Pada bayi Yesus kelihatan bahwa apa yang besar di mata manusia tidak besar pada Allah.
Kekuasaan, kemewahan, kemampuan ekonomis, kebangsawanan - itu semua tidak punya arti apa pun di mata Allah. Kebesaran Allah menyatakan diri dalam kedekatan-Nya dengan orang-orang miskin.
Seperti akan dinyatakan Yesus sendiri: "Berbahagialah hai kamu, yang miskin, karena kamulah yang empunya kerajaan Allah”"(Luk. 6: 20). Maka Mazmur (9: 10) berseru: "Bukan untuk seterusnya orang miskin dilupakan, bukan untuk selamanya hilang harapan orang sengsara".
Tindakan Allah pada malam Natal meluruskan kembali tolak ukur tentang apa yang besar dan apa yang kecil di mata Allah. Segala hal yang mengesankan di dunia, segala macam kehebatan manusia, tak hebat di mata Allah. Allah adalah bersama orang yang miskin dan sederhana.
Ternyata mereka yang pertama kali menerima maklumat perdamaian di malam Natal adalah orang-orang yang termasuk lapisan paling bawah dalam piramida sosial masyarakat Yahudi waktu itu: gembala-gembala yang di malam hari bersama ternak mereka berada di ladang.
Kepada mereka, dan bukan kepada elite di Betlehem atau di Yerusalem, malaikat mempermaklumkan perdamaian Allah.
Ada unsur kunci lagi dalam peristiwa Natal. Suasana yang meliputi tiga manusia miskin di kandang di dekat Betlehem yang ditolak di penginapan bukanlah suasana protes, marah, kebencian dan ancaman pembalasan Tuhan.
Melainkan suasana kasih, kerahiman Ilahi dan perdamaian. Suasana yang memang dapat dirasakan di banyak gereja di mana Natal dirayakan. Tak akan kedengaran kata-kata keras, seruan pembalasan, kutukan terhadap musuh dsb.
Natal diliputi suasana keterharuan, kegembiraan hati, kesediaan untuk mengampuni dan mohon diampuni, keterbukaan yang mau membagi kebaikan kepada siapa pun. Suasana itu terungkap dalam maklumat para malaikat kepada gembala-gembala itu tadi.
Mereka mempermaklumkan kelahiran "Sang Juruselamat". Dalam dunia yang penuh kebencian, nafsu pembalasan, kekerasan dan dendam sekarang dihadirkan keselamatan, kebaikan, "berita kesukaan besar", yang efeknya adalah "damai sejahtera di bumi".
Natal berpesan bahwa di mana pun Yang Ilahi menyatakan Diri, Yang Ilahi menyatakan diri sebagai kekuatan yang menyembuhkan, memperdamaikan, menyelamatkan.
Sikap dasar Yang Ilahi terhadap ciptaannya adalah kerahimannya, belaskasihnya. Maka dari mereka yang mau membuka diri terhadap rahmat Ilahi dituntut kasih, bukan kebencian, pengampunan dan bukan balas dendam. Adalah tanda kekuatan Ilahi bahwa yang jahat tidak dilawan dengan sikap jahat juga, melainkan dengan kasih.
Kasih mengalahkan kejahatan. Budaya Jawa merasakan kekuatan sikap positif itu dalam pepatah: Sing becik, dibeciki, sing ala, dibeciki! (yang baik, ditanggapi dengan kebaikan, yang jahat, ditanggapi dengan kebaikan juga).
Kita boleh menarik suatu kesimpulan: Kalau agama menyatakan diri secara menakutkan, maka orang-orangnya sudah kehilangan jatidiri agama yang mereka akui. Kalau agama bikin takut, orang-orang yang mengatasnamakannya sudah lepas dari sumbernya, yaitu kerahiman Allah.
Agama adalah setia pada diri sendiri apabila kehadiran dapat dirasakan sebagai penyembuh dan rahmat. Itu pun bagi semua, termasuk mereka di luar agama itu. Agama sebagai wahana kasih Ilahi mesti memancarkan daya penyembuh Ilahi di antara manusia.
Alangkah baiknya hidup di antara kita kalau kita bersedia setia pada hakekat agama itu. Itulah yang diperingatkan kepada kita oleh bayi di palungan sederhana dekat Betlehem itu.