Begini Cara Toyota Indonesia Hadapi Keperkasaan Dolar

Nilai tukar rupiah terhadap dolar nyaris menyentuh angka Rp 15 ribu. Bahkan, hingga Rabu (5/9/2018), 1 dolar AS tembus di angka Rp 14.976, dan menjadi titik paling rendah sejak krisis moneter 1998 silam.

oleh Arief Aszhari diperbarui 05 Sep 2018, 18:33 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2018, 18:33 WIB
20151117-Mengintip Proses Perakitan All New Kijang Innova di Pabrik Toyota TMMIN-Karawang
Foto yang diambil pada 16 November 2015 memperlihatkan pekerja tengah merakit mobil All News Kijang Innova di Pabrik TMMIN Karawang. Mobil baru tersebut akan memberi warna baru pada perkembangan pasar MPV dalam negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar nyaris menyentuh angka Rp 15 ribu. Bahkan, hingga Rabu (5/9/2018), 1 dolar AS tembus di angka Rp 14.976, dan menjadi titik paling rendah sejak krisis moneter 1998 silam.

Dengan masih tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar, pastinya berpengaruh terhadap industri otomotif Tanah Air secara keseluruhan. Lalu, dengan kondisi saat ini, bagaimana cara salah satu raksasa otomotif dalam negeri, Toyota untuk tahan biaya produksi kendaraannya di dalam negeri?

Dijelaskan Edward Otto Kanter, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), menguatnya dolar terhadap rupiah untuk jangka pendek memang belum bisa dirasakan secara langsung.

Namun, untuk jangka menengah dan panjang, pihaknya harus memikirkan secara detail keseluruhannya.

"Paling berpengaruh? (tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar) ya 15 persen itu tadi (bahan baku impor). Kita memang tidak hanya menunggu situasi, kita juga coba melakukan efisiensi aktivitas produksi," jelas Edward saat ditemui di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (5/9/2018).

 

Saksikan Juga Video Pilihan di Bawah Ini:

Selanjutnya

Sementara itu, untuk material kendaraan Toyota yang memang masih diimpor sekitar 15 persen. Jadi, mau tidak mau dengan tingginya nilai tukar rupiah terhadap dolar cukup berpengaruh terhadap cost production atau biaya produksi.

"Ya kalau material impor, ya naik dong. Di-cover sama aktifitas tadi, dengan lebih mudah kerja, berarti lebih cepat kerjanya kalau di operasi. Kita coba teknologi ramah lingkungan, sekaligus lebih efisien energinya," tegas Edward.

Sedangkan berbicara cara lain, yaitu dengan pergantian material yang masih diimpor, contohnya baja. "Makanya, kita kembangin steel dengan Krakatau Steel, jadi bisa dipakai (produksi kendaraan Toyota)," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya