Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak pada 9 Desember 2020 adalah Pilkada yang melahirkan kedaulatan rakyat. Untuk melahirkan kedaulatan rakyat, kita tidak boleh berubah dari kesepakatan bahwa seluruh agenda Pilkada adalah dalam rangka menguatkan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Pilkada bukan untuk membelah NKRI, menguatkan liberalisme, menguatkan kedaerahan, atau menjalankan ketentuan yang bertentangan dengan prinsip dasar bahwa Pilkada itu rezim Pemilu, Pemilu rezim reformasi," tegas Hidayat Nur Wahid, yang biasa disapa HNW, selaku narasumber acara diskusi dalam rangka Press Gathering Pimpinan MPR bekerjasama dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen di Ballroom Crowne Plaza, Bandung, Sabtu sore (7/11/2020). Dalam diskusi itu HNW hadir secara virtual.
Baca Juga
Lebih lanjut HNW menerangkan, untuk melaksanakan Pilkada yang tidak bertentangan prinsip dasar itu, Pimpinan MPR mengusulkan kepada KPU agar membuat ketentuan yang mencantumkan NKRI di dalam visi dan misi calon kepala daerah. Tujuannya agar apa yang dilaksanakan atau dijalankan oleh kepala daerah tidak keluar dari Empat Pilar MPR. “Kalau Empat Pilar sudah dijalan berarti tidak keluar dari NKRI,” kata HNW dalam diskusi yang bertema: ‘Visi Misi NKRI Bagi Calon Kepala Daerah’ tersebut.
Advertisement
Hanya saja Pilkada Serentak 2020 tinggal menghitung hari, atau hari efektif menuju pelaksanaan Pilkada 9 Desember kurang dari satu bulan. Mungkin visi misi NKRI belum tercermin dalam visi misi calon kepala daerah untuk sekarang ini. Maka, Hidayat Nur Wahid berharap, pada Pemilu yang akan datang masalah ini betul-betul diakomodasi, sehingga menjadi rujukan dalam menyusun visi misi calon kepala daerah. Dengan demikian, tidak ada kepala daerah yang mengampanyekan trisila atau ekasila, karena yang kita sepakati adalah Pancasila.
Dr. H.M. Ali Taher Parasong yang juga narasumber dalam diskusi itu berpendapat, visi besar Pilkada tidak boleh bergeser dari alinea kedua dan alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Visi besar Indonesia itu ada di alinea kedua. Bunyinya: “Dan, perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”
“Jangan lupa itu visi Indonesia,” ujar anggota MPR dari Fraksi PAN ini. Jadi, Pilkada di Papua, di Aceh atau di mana pun dari Miangas sampai Rote itu hanya soal konfigurasi politik kedaerahan. “Tetapi visi besar NKRI-nya sesuai visi konstitusi,” katanya.
Sedangkan misinya ada pada alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, bunyinya: ‘Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.’
Jadi, menurut Ali Taher, tujuan visi misi ini adalah untuk membangunkan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, happines for all. Kebahagiaan untuk semua, tidak boleh orang per orang, tidak boleh kelompok per kelompok, tapi kebersamaan. “Di situlah sebenarnya tugas pemimpin. Siapapun yang terpilih bertugas untuk menggeser air mata kemiskinan menjadi air mata kebahagiaan,” ujarnya.
Sementara H. Johan Rosihan, anggota MPR fraksi PKS, menyatakan bahwa Pilkada adalah penerjemahan dari sila keempat dari Pancasila, yaitu: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi, menurut Johan, rakyat dalam memilih pemimpin harus dengan cara-cara yang hikmat dan bijak. Oleh karenanya, Johan mengaku, setiap kali melaksanakan kegiatan sosialisasi Empat Pilar MPR atau dengar pendapat dengan masyarakat selalu mengimbau, dalam pelaksanaan Pilkada agar menghadirkan nilai-nilai Pancasila. “Karena di dalam Pilkada ada nilai-nilai Pancasila, terutama sila keempat,” katanya.
Tapi, sebagai satu kesatuan nilai maka sila keempat dari Pancasila tidak bisa dipisahkan dengan sila-sila lainnya. Karenanya, dalam pelaksanaan Pilkada yang hikmat dan bijaksana, harus tetap melahirkan nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, yang ujungnya nanti melahirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Karenanya, saya selalu sampaikan kepada teman-teman, calon kepala daerah, mari lahirkan atau hadirkan Pancasila dalam Pilkada,” ujar Johan.
Ini penting, kata Johan, karena dengan memasukan nilai ketuhanan dalam Pilkada maka tidak ada lagi orang yang menghalalkan segala cara, karena merasa ada Tuhan yang memantau. Ketika memasukkan nilai kemanusiaan maka tidak ada lagi calon yang menistakan kemanusiaan seseorang dengan uang Rp 100 ribu. Begitu pula dengan memasukkan nilai persatuan maka tidak ada lagi calo, apalagi tim sukses, yang saling bully, saling olok, atau saling menjatuhkan (black campaign) hanya untuk meraih kemenangan.
“Ketika pelaksanaan Pilkada melahirkan nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, dengan cara hikmat dan bijak, kita berharap pemimpin yang lahir itu bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.