Liputan6.com, Jakarta - Maraknya penggunaan kembali kentongan bambu di pedesaan dan dijadikan simbol perubahan. Pakar komunikasi politik, Hendri Satrio menilai bahwa kentongan menjadi pertanda kegelisahan masyarakat terkait kondisi politik saat ini.
Dalam postingan di akun twitter-nya, Hensat menulis "Jika kata bungkam saatnya bunyi melawan #kentongan". Menurutnya, bahwa masyarakat saat ini semakin gelisah meski belum banyak yang bersuara.
“Ini silent majority yang pasti akan bangun dengan trigger situasi saat ini, reformasi dan demokrasi dalam ancaman. Nepotisme tidak malu-malu munculkan wujudnya,” ujarnya, Senin (6/11/2023).
Advertisement
Tak heran jika masyarakat di pedesaan yang gelisah menemukan simbol bersuara, yakni kentongan bambu, yang mereka pukul sewaktu-waktu untuk menyuarakan aspirasinya atas kondisi negara.
Menurutnya tsunami perubahan tinggal menemukan momentumnya, “sekarang kan simbolnya sudah ketemu, yakni kentongan bambu. Ini bahaya nih kalau masyarakat untuk bersuara saja sampai harus menggunakan simbol dan berbisik-bisik,” ujarnya.
Keputusan MK, naiknya putra sulung presiden Jokowi menjadi cawapres disaat bapaknya berkuasa membuat kegelisahan masyarakat semakin tinggi.
“Dan yang berkuasa harus waspada dengan hal ini,” katanya.
Simbol Perubahan
Secara terpisah, ketua Majelis Nasional Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) Untoro Hariadi mengatakan kentongan merupakan alat komunikasi. Begitu mendengar bunyi kentongan, warga menangkap adanya pesan yang ingin disampaikan secara luas.
“Kentongan menjadi simbol gerakan perubahan dan ada pesan kuat yang disampaikan dengan berbagai jenis ketukan. Misal, kentongan dengan ketukan 5-7 memiliki makna saat pilkada DKI Anies meraih perolehan suara 57 persen. Oleh karena itu pola bunyi ini akan terus digunakan kedepannya sebagai simbol gerakan perubahan,” tutupnya.
Advertisement