Liputan6.com, Jakarta - Kendati merupakan jalan arteri, perkembangan Jalan Jenderal Gatot Subroto masih kalah dibandingkan dengan Jalan Jenderal Sudirman.
Padahal, jalan yang membentang sepanjang 6,7 kilometer dari Patung Pancoran sampai Pejompongan, Bendungan Hilir, ini memiliki infrastruktur yang prima, termasuk jalur busway dan jalan tol dalam kota.
Julis Warouw, Direktur PT Sintesis Kreasi Utama, menuturkan kawasan Gatot Subroto seperti berlian yang belum diasah.
"Jalan Gatot Subroto merupakan jalan arteri yang termasuk jalan nasional. Di sini banyak terdapat intitusi negara. Infrastruktur di sini lebih baik dibanding kawasan Sudirman, tetapi perkembangannya masih tertinggal," ujar Julius.
Beberapa pengembang, ia mengatakan, mulai melihat potensi Gatot Subroto dan membangun kawasan ini, seperti St Regis dan Mangkuluhur City.
"Kawasan Gatot Subroto akan menjadi alternaltif bagi kawasan CBD yang mulai kehabisan lahan, yang membuat harga lahan di kawasan tersebut meroket," tutur Julius seperti dikutip dari laman www.rumah.com, Jumat (30/10/2015).
Beberapa Kelemahan
Senada dengan apa yang dikatakan Julius, Head of Research Savills PCI mengatakan bilangan Gatot Subroto banyak dilirik karena harga laham yang lebih murah ketimbang Sudirman. Berada di pusat kota, kawasan ini cocok dijadikan lokasi pengembangan kantor, apartemen dan midex-use development.
"Akan tetapi, kawasan Gatot Subroto juga memiliki kelemahan. Daerah ini adalah kawasan yang macet juga jalur 3 in 1. Selain itu, akses untuk memutar ke seberang jalan jauh, sementara infrastruktur untuk pejalan kaki yang ingin menggunakan jembatan penyeberangan masih minim," ujar Anton.
Berbicara seputar kemacetan di Gatot Subroto, Julius mengatakan, hal itu disebabkan penumpukan di titik-titik tertentu. Dia optimistis seiring dengan penambahan infrastruktur jalan dan transportasi, kemacetan bisa terurai.
"Dengan rampungnya fly over kuningan, jalur LRT (light rail transit), dan munculnya sentra-sentara bisnis baru di Gatot Subroto, saya yakin kemacetan akan terurai," kata dia.
"Apalagi saat ini mulai banyak eksekutif yang memilih transportasi publik yang dinilai lebih efisien," ujar Anton.
Di sisi harga, kawasan Gatot Subroto adalah sebuah anomali. Jika biasanya harga jual lahan lebih tinggi dari nilai jual objek pajak (NJOP), maka di Gatot Subroto berlaku sebaliknya.
Berdasarkan data 2014, NJOP di kawasan Gatot Subroto dipatok Rp 59 juta per meter persegi, sementara harga jualnya hanya Rp 35 juta-Rp 40 juta per meter persegi.
Anton mengatakan angka NJOP yang ditentukan pemerintah daerah lebih tinggi dari harga transaksi karena permintaan tidak setinggi yang diperkirakan pemerintah.
Sedangkan di sisi lain, Julius menilai penetapan harga NJOP yang tinggi di Jalan Gatot Subroto karena pemerintah daerah melihat potensi wilayah tersebut. Dia juga optimistis pemerintah akan berbuat sesuatu untuk mengembangkan kawasan tersebut.
Setidaknya ada delapan proyek baru yang tengah dikembangkan di Jalan Gatot Subroto dari 16 proyek yang direncanakan. Ingin tahu apa saja proyek baru tersebut? Selengkapnya cek di www.rumah.com. (Ahm/Ndw)**