Liputan6.com, Bengkulu Pagi masih gelap saat Eti Kartika (35) bergegas menuju tepi jalan raya depan rumahnya di Kampung Bogor, Kecamatan Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu.
Bunyi klakson truk yang berhenti memaksa Eti untuk melompat sigap dengan caping pelindung kepala dan beberapa lembar kain yang diikat menjadi satu dan dililit ke belakang badannya seperti membawa ransel.
Eti bersama puluhan perempuan pemetik teh yang tergabung dalam kelompok tiga, diantar ke Tangsi II untuk memulai pekerjaan memetik daun teh di Perkebunan milik PT Sarana Mukti Kepahiang.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Senda gurau dan saling lempar obrolan terjadi ketika mereka diturunkan pada salah satu jalan setapak sambil mempersiapkan peralatan kerja.
Beberapa dari mereka malah sempat berdandan memakai bedak dan pemerah bibir. Eti bersama Emilia, salah seorang pemetik yang sudah belasan tahun melakoni pekerjaan ini, lalu berjalan beriringan menuju blok kebun teh yang sudah siap dipetik. Sementara, pemetik lain juga berjalan sambil berpencar menuju titik pemetikan.
Senyum ceria sambil bersenandung Eti dan rekan rekannya memetik helai demi helai daun teh dengan cekatan sambil memasukkannya ke dalam kain yang diselempangkan ke belakang punggungnya.
Setelah dirasa berat, dia lalu mengganti kain penampung daun teh dan mulai menggunakan alat potong seperti gunting yang dimodifikasi dengan penampung berbahan plastik.
"Petikan pertama ini kami dibayar seribu per kilogram, karena kualitasnya baik," ucap Eti kepada Liputan6.com di Kabawetan, Kepahiang, Rabu, 26 Juli 2017.
Untuk daun teh dengan potongan menggunakan gunting, mereka hanya dibayar Rp 750 per kilogram. Dalam satu hari para pemetik teh ini bekerja mulai pukul 06.00 hingga 11.00 WIB, untuk turun ke lokasi penjemputan untuk ditimbang hasil oleh mandor perkebunan yang menunggu dengan kendaraan angkut.
Setelah beristirahat dan makan siang selama satu jam, mereka kembali lagi ke atas bukit untuk kembali memotong daun teh di lokasi yang sama, tapi untuk daun yang lebih tua.
Dalam satu hari, setiap pemetik teh mampu menghasilkan 50 hingga 80 kilogram daun teh. Sistem pembayaran yang diterapkan oleh pihak perusahaan adalah setiap hari Sabtu sore.
Satu orang bisa mengantongi uang sebesar Rp 350 hingga 500 ribu dalam sepekan. Kebanyakan suami mereka juga bekerja di perkebunan kawasan Kepahiang, Bengkulu, tapi di bagian pengolahan hasil, pembibitan hingga sopir perusahaan. Suami Eti sendiri dipekerjakan sebagai operator mesin penggiling di pabrik.
"Setiap hari sepanjang tahun hanya seperti ini yang kami kerjakan, tetapi setiap hari juga ada cerita menarik disela sela pekerjaan kami, ini yang membuat kami selalu tersenyum ceria," kata Eti yang sudah memiliki 2 anak itu sambil melanjutkan pekerjaannya.
Saksikan video menarik di bawah ini: