Sunda Wiwitan Cigugur Menginspirasi Bung Karno soal Pluralisme?

Setelah Kiai Muhammad Rais, dua tokoh besar Sunda Wiwitan adalah Pangeran Tedja Buana dan Pangeran Djati Kusuma.

oleh Panji Prayitno diperbarui 28 Agu 2017, 12:01 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2017, 12:01 WIB
Tolak Eksekusi Cagar Budaya, Kaum Sunda Wiwitan Tidur di Jalan
Kesaksian dari para sesepuh Sunda Wiwitan di Kuningan disebut tidak dicatat dalam pengadilan karena agama mereka tak diakui negara. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Liputan6.com, Kuningan - Peran Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan, kawasan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dalam menjaga kelestarian alam masih dipegang teguh hingga generasi ketiga mereka.

Bahkan, sejak dibangkitkannya kembali Sunda Wiwitan oleh Kiai Muhammad Rais atau lebih dikenal dengan Pangeran Sadewa Madrais Alibasa, kaum Sunda Wiwitan turut berperang. Bahkan, ia salah satu tokoh kebangkitan kebangsaan melalui gerakan kebudayaan.

Usai berjuang melawan Belanda dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tokoh kaum Sunda Wiwitan diberikan kepada turunannya, yakni Pangeran Tedja Buana pada 1948. Setelah Pangeran Tedja Buana, penokohan Sunda Wiwitan Cigugur jatuh kepada Pangeran Djati Kusuma.

Filolog Cirebon Opan Rachman Hasyim menuturkan, peran kedua tokoh besar Sunda Wiwitan Cigugur menjaga tradisi dari leluhur sangat baik. Bahkan, keduanya juga cukup berpengaruh terhadap pembangunan Indonesia maupun Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

"Keduanya konsisten dan komitmen membawa pesan damai yang saat ini dikenal dengan pluralisme. Damai saling menjaga lingkungan dan alam di sekitar yang sudah memberi hidup manusia," ucap pria yang akrab disapa Opan, Minggu, 27 Agustus 2017.

Usai berperang melawan Belanda melalui gerakan kebudayaan, Pangeran Tedja Buana juga turut berperan dalam membangun Indonesia. Tedja Buana merupakan sosok yang pintar dan selalu membawa misi pluralisme.

Bahkan, menurut Opan, pemikiran dan sikap Tedja tentang pluralisme juga menginspirasi Sukarno atau Bung Karno untuk memperkuat Bhinneka Tunggal Ika. Melalui gerakan kebudayaan dan sosial masyarakat, Tedja Buana berhasil membawa kaum Sunda Wiwitan Cigugur hidup rukun dan damai.

"Meskipun saat itu pada masa Sukarno, Sunda Wiwitan dianggap salah satu aliran kepercayaan dan dilarang oleh Sukarno. Hingga akhirnya Tedja Buana pun masuk Kristen karena saat itu agama Kristen masuk," ujar Opan.

Masuk pada penokohan Pangeran Djati Kusuma, ajaran kaum Sunda Wiwitan Cigugur semakin kuat dengan pluralismenya. Baik Tedja Buana maupun Djati Kusuma memiliki komitmen yang sama, yaitu menjaga kerukunan antara masyarakat dan umat beragama.

"Dengan ajaran saling menjaga dan melestarikan lingkungan bagaimana perlakuan kita terhadap alam yang menjadi sumber penghidupan manusia. Banyak positifnya," kata Opan.

Pluralisme ala Sunda Wiwitan

Tolak Eksekusi Cagar Budaya, Kaum Sunda Wiwitan Tidur di Jalan
Kesaksian dari para sesepuh Sunda Wiwitan di Kuningan disebut tidak dicatat dalam pengadilan karena agama mereka tak diakui negara. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Opan menambahkan, peran Djati Kusuma dengan pemikiran dan gerakan pluralisme untuk menjaga dari potensi adanya konflik horizontal. Hal ini ditambah oleh gerakan pelestarian adat dan budaya Sunda Wiwitan yang selalu diterapkan di masyarakat.

Gerakan Djati Kusuma dengan pluralismenya mampu memotivasi kepala daerah untuk tetap hidup rukun dan damai. Bahkan, pengaruh Sunda Wiwitan dalam pola hidup sosial masyarakat juga sampai ke pemerintahan lebih tinggi.

"Mereka sekarang membentuk semacam komunitas yang memelihara adat kuningan yang sumbernya dari tradisi orang Sunda terdahulu. Seperti upacara adat Seren Taun atau upacara adat pertanian," ujar dia.

Hanya saja, Opan menyayangkan adanya persoalan yang terjadi di internal kaum Sunda Wiwitan. Padahal, permasalahan aturan yang berujung kepada eksekusi lahan adat warisan leluhur tidak perlu terjadi.

"Aturan negara dan aturan adat sebetulnya tidak harus dipertentangkan, walaupun kita hidup di lingkungan adat, maka nanti akan susah berinteraksi dengan yang lain," katanya.

Persoalan eksekusi lahan yang terjadi pada kaum Sunda Wiwitan belum lama ini disinyalir ada pengaruh dari luar. "Dulu kan Belanda yang suka adu domba. Kalau terjadi di internal kaum Sunda Wiwitan berarti kan ada yang tidak beres," tutur dia.

Permasalahan yang ada di internal Sunda Wiwitan Cigugur secara tidak sadar mengikis komitmen para tokoh besar Sunda Wiwitan yang menjunjung tinggi pluralisme dan kedamaian. Dia pun mensinyalir, ada persoalan sebelumnya di internal keluarga maupun keturunan Sunda Wiwitan.

"Tedja Buana dan Djati Kusuma, orang yang menghargai pluralisme keberagaman, apalagi dalam satu keluarga. Ketika ada konflik keluarga berarti kan komitmen yang dulunya sudah tidak dipakai lagi," sebut dia.

Walaupun secara hak waris atau adat sama-sama benar, mungkin ada konflik di internal keluarga. "Saya juga kurang tahu yang begitu," Opan memungkasi.

Sebelumnya, masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan menyatakan diri akan terus berjuang mempertahankan tanah adat yang ada di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang akan dieksekusi Pengadilan Negeri (PN) Kuningan.

Eksekusi lahan adat tersebut karena proses gugatan hukum yang dilayangkan Djaka Rumantaka sudah inkrah. Gugatan tersebut terkait dengan lahan seluas 224 meter persegi di Blok Mayasih, RT 29 RW 10, Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Penggugat merasa lahan tersebut merupakan lahan warisan dari ibunya bernama Ratu Siti Djenar Alibassa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya