Terdakwa Kasus Suap Gubernur Bengkulu Ajukan Justice Collaborator

Justice collaborator adalah tersangka korupsi yang bertekad membantu penyidik untuk membongkar kasus.

oleh Yuliardi Hardjo Putro diperbarui 21 Okt 2017, 01:00 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2017, 01:00 WIB
Terdakwa Kasus Suap Gubernur Bengkulu Ajukan Justice Collaborator
Rico DiTan Sari, trdakwa kasus suap yang melibatkan gubernur Bengkulu non Aktif Ridwan Mukti mengajukan diri untuk menjadi Justice Collaborator (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)

Liputan6.com, Bengkulu - Salah seorang terdakwa kasus suap yang melibatkan Gubernur Bengkulu nonaktif Ridwan Mukti mengajukan diri untuk menjadi justice collaborator (JC) kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Kota Bengkulu.

Melalui kuasa hukumnya Rico Dian Sari menyampaikan permohonan itu dalam persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim, Admiral SH., MH.

Kuasa Hukum Rico, Ariel Mukhtar mengatakan, permohonan tersebut dilontarkan dalam persidangan di PN Bengkulu pada Kamis, 19 Oktober 2017 kemarin. Secara resmi permohonan tersebut diminta kepada majelis hakim dan para jaksa penuntut umum KPK.

"Sudah kita sampaikan dan kami berharap dikabulkan," ungkap Akil.

Syarat dan ketentuan untuk menjadi JC itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama dalam tindak pidana tertentu.

Pemohon JC harus mengakui perbuatan, mengungkap keterlibatan pelaku lain, bersikap kooperatif serta memberikan keterangan dan barang bukti yang signifikan dan relevan.

JPU KPK untuk kasus ini, Haerudin mengatakan, pihaknya akan melihat terlebih dahulu kebenaran dan keseriusan terdakwa untuk menjadi JC. Sebab pertimbangan untuk seorang terdakwa dijadikan JC sangat ketat dan harus melalui penilaian yang matang.

"Bisa saja menjadi JC, tapi kita lihat perkembangan dan penialain yang mendalan," ujar Haerudin.

Sidang Lanjutan Ridwan Mukti Hadirkan 4 Saksi

Gubernur Bengkulu nonaktif, Ridwan Mukti menjalani sidang lanjutan di PN Tipikor Bengkulu. Sebanyak empat orang saksi dihadirkan dalam persidangan yang dipimpin hakim Admiral bersama bersama hakim anggota Gabriel Sialagan dan Nich Namara.

Keempat saksi itu adalah para kontraktor pemenang proyek pembangunan jalan di Bengkulu. Terdiri atas Rahmani Saefullah, Tessa Arizal, Ahmad Irfansyah dan Haryanto alias Lolak. Mereka masuk dalam surat dakwaan karena melakukan pertemuan dengan terdakwa Ridwan Mukti dan istrinya Lily Martiani Maddari di beberapa lokasi yang diduga terkait pemberian honor proyek.

JPU KPK Haerudin mengatakan, keempat orang saksi itu dihadirkan untuk memberikan kesaksian terkait honor proyek yang menjerat terdakwa yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) tim penindakan KPK pada tanggal 20 Juni 2017 lalu. Keterangan yang dilontarkan para saksi itu untuk memperkuat dakwaan yang sudah dibacakan oleh JPU dalam persidangan minggu lalu.

"Pekan depan kita akan hadirkan 4 orang saksi lain dari unsur Aparatur Sipil Negara atau PNS," jelas Haerudin.

Pihaknya juga sudah mengajukan beberapa alat bukti untuk memperkuat dakwaan terkait peran Ridwan Mukti dan istrinya dalam mengatur skenario penyuapan. Di antaranya uang tunai sebesar Rp 1 Miliar yang disita saat OTT, bukti dokumen dan beberapa rekaman CCTV dan bukti rekaman lain.

"Peran masing masing terdakwa sudah jelas dan akan diperkuat dengan kesaksian yang kami hadirkan," kata Haerudin.

Ridwan Mukti duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Kota Bengkulu bersama istrinya Lily Martiani Maddari sebagai terdakwa. Sidang perdana dengan perkara Nomor: 45/PID.SUS.TPK/2017/PN BGL yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Admiral bersama hakim anggota Siallagan dan Nich Namara berlangsung singkat tidak lebih dari satu jam saja.

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum KPK yang diketuai jaksa Khaerudin, Ridwan bersama istrinya didakwa pasal berlapis Pasal 12 huruf (a) UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.

Saksikan video pilihan berikut ini!

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya