Barista Cilik Unjuk Kebolehan di Festival Ngopi Sepuluh Ewu

Tiga barista cilik belajar meracik kopi dari ahli terbaik tanpa mereka merasa tertekan untuk mempelajarinya.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 22 Okt 2017, 17:02 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2017, 17:02 WIB
Barista Cilik Unjuk Kebolehan di Festival Ngopi Sepuluh Ewu
Tiga barista cilik belajar meracik kopi dari ahli terbaik tanpa mereka merasa tertekan untuk mempelajarinya. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Banyuwangi - Minum kopi ternyata juga menjadi tradisi yang hidup di tengah-tengah suku Using Banyuwangi. Tradisi rakyat itu kini diangkat dalam ajang Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang digelar di sepanjang Desa Kemiren, Sabtu malam, 21 Oktober 2017. Bahkan, festival juga menghadirkan aksi barista cilik asli Kemiren.

Warga Desa Kemiren kedatangan ribuan tamu saat berlangsungnya Festival Ngopi Sepuluh Ewu. Mereka disambut hangat di halaman rumah segenap warga desa. Ribuan cangkir kopi dan makanan ringan tradisional disuguhkan secara percuma bagi yang datang.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, tradisi minum kopi warga Using merupakan simbol persaudaraan. Mereka memiliki semboyan Sak Corot Dadi Sakduluran, yaitu 'satu seduh kita bersaudara'. Sudah sepatutnya pemerintah daerah terus melestarikan budaya yang baik ini.

"Festival ini juga menjadi bagian dari upaya menjaga semangat gotong royong. Masyarakat rela menyuguhkan secara gratis kopi dan makanan untuk semua orang yang bahkan belum dikenal. Meski terkesan sederhana, cara ini ampuh untuk merajut persatuan di antara kita," tutur Anas saat membuka festival.

Saat event berlangsung, meja dan kursi kursi tamu yang disiapkan di setiap rumah nyaris tak mampu menampung banyaknya orang yang datang. Antusiasme pengunjung festival ini terus bertambah di setiap tahun penyelenggaraannya.

Tidak hanya antusiasme merasakan tradisi minum kopi saja yang berhasil muncul dari penyelenggaraan even ini. Yang membanggakan dari even ini adalah munculnya bibit-bibit muda penyaji kopi handal atau barista dari Desa Kemiren.

Di festival itu ditampilkan tiga barista cilik. Salah satunya Shavira Putri Windiarti yang malam itu terlihat terampil menyeduh kopi. Gadis berusia 10 tahun itu, dengan hati-hati mengukur takaran bubuk kopinya.

"Kopinya 40 mg, nanti airnya banding sepuluh," katanya sembari melakukan proses pure over.

Putri, sapaan gadis yang masih kelas 6 SDN 1 Mojopanggung itu, kemudian menuangkan air panas ke bubuk kopi yang telah disiapkan di atas alat penyaring kopi, Chimex. Air panasnya disiapkan oleh Muhammad Ridlo Fadil Banan (10), barista cilik lainnya.

"Suhu airnya harus 92 derajat," ucap Fadil, bocah yang masih kelas 4 SDN 1 Mojopanggung Giri itu, seraya menunjukkan suhu air pada papan temperatur di kompor elektroniknya.

Bagi mereka, menyajikan kopi yang baik dan benar bukanlah perkara mudah. Ada takaran dan teknik tertentu untuk bisa menghasilkan secangkir kopi yang nikmat.

Ketiga barista cilik tersebut merupakan binaan dari master kopi dunia asal Banyuwangi, Setiawan Subekti. Mereka dikenalkan dan dilatih tentang bagaimana membuat kopi yang benar.

"Lebih dari tujuh kali pertemuan untuk bisa mengajarkan mereka cara membuat kopi," tutur pemilik Sanggar Genjah Arum itu.

Iwan pun memuturkan bagaimana dia mengajari anak-anak itu menjadi barista. Awalnya, mereka diberi kebebasan bermain dengan kopi dan berbagai peralatannya. Setelah timbul ketertarikan, mulai diajarkan materi, mulai dari yang dasar, seperti takaran kopi dan air, perbandingannya, hingga teknik menuang airnya.

"Untuk menghasilkan cita rasa kopi yang baik, memang semuanya memiliki pengaruh. Tidak bisa sembarangan. Itu yang saya ajarkan dengan cara bermain-main. Jika sejak dini sudah belajar dan lagi sudah menyenanginya, bukan tidak mungkin untuk bisa menjadi barista profesional yang handal," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya