Liputan6.com, Cilacap - LSM Migrant Care menengarai Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau PJTKI nakal mulai menggunakan Bursa Kerja Khusus (BKK) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk menjaring buruh migran bergaji murah.
Lulusan baru SMK atau SMA itu ditempatkan bukan sesuai dengan keahliannya. Seringkali, penempatan kerja juga tak sesuai dengan kontrak yang ditandatangani buruh migran saat pra penempatan. Lulusan sekolah kejuruan disasar mafia perdagangan manusia lantaran memiliki spesifikasi keahlian yang baik tetapi minim pengalaman.
Koordinator Migrant Care wilayah Kebumen, Syaipul Anas mengatakan, penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tak sesuai kontrak dengan gaji murah itu bisa disebut sebagai perdagangan manusia. Penggunaan BKK sekolah itu juga disebut sebagai modus baru.
Advertisement
Baca Juga
Ia menjelaskan, dalam praktiknya, Bursa Kerja Khusus (BKK) sekolah bekerja sama dengan PPTKIS. Lantas, PPTKIS tersebut menjanjikan kepada BKK yang dikelola sekolah untuk menyalurkan lulusan ke pasar kerja luar negeri.
Namun, kata Anas, banyak kasus ditemui, lulusan SMK tak ditempatkan sesuai dengan pekerjaannya. Mereka justru bekerja di luar keahlian spesifiknya, antara lain sebagai kuli bangunan dan buruh perkebunan.
"Cilacap ini sebenarnya juga banyak kasus-kasus buruh migran yang berkategori human trafficking. Nah, sekarang modusnya itu, yang sedang ramai itu, lewat BKK, Bursa Kerja Khusus. Lewat anak-anak sekolah, SMA dan SMK," Anas menjelaskan, Sabtu, 11 November 2017.
Menurut Anas, pekerjaan yang tak sesuai dengan kontrak kerja telah masuk dalam kategori perdagangan manusia. Sebab, ada unsur penipuan. Unsur perdagangan yang kedua adalah eksploitasi tenaga kerja manusia tanpa jelas kompensasinya.
Kasus di Cilacap
Kasus terakhir di Cilacap, Sebanyak 47 orang lulusan SMK yang memiliki keahlian otomotif dan listrik disalurkan ke Malaysia. Namun, setelah sampai ke negara tujuan, puluhan lulusan SMK itu tak bekerja sesuai dengan kontrak yang ditandatangani di awal. Mereka justru bekerja di sebuah perusahaan penyuplai sarang walet.
Para buruh migran membersihkan sarang walet dengan jam kerja yang tak terukur dan tanpa patokan waktu yang jelas. Pekerja migran itu bekerja mulai pukul 09.00 pagi hingga 02.00 dini hari. Itu terjadi nyaris tiap hari.
Kemudian, pada bulan ketiga, beberapa di antara 47 orang itu berhasil kabur dan menemui perwakilan Indonesia di Malaysia dan Migrant Care. Kasus yang didampingi oleh Migrant Care ini kemudian ditangani oleh Kementerian Tenaga Kerja, Kemenlu, BNP2TKI dan Mabes Polri.
"Ada beberapa yang berhasil kabur dan melapor ke KJRI. Sekarang mereka sudah pulang ke tanah air," kata Anas.
Dia mengimbau agar pengelola BKK di sekolah tak asal percaya dengan PPTKIS yang belum memiliki rekam jejak yang jelas. Ia pun meminta agar BKK memastikan bahwa PPTKIS yang bekerja sama merupakan perusahaan legal dan memiliki rekam jejak yang baik.
Advertisement