FBI Selamatkan 84 Anak Korban Perdagangan Manusia

Dari laporan yang berhasil dihimpun, para pelaku kejahatan ini rencananya akan menjual anak-anak tersebut kepada para pedofil.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 20 Okt 2017, 18:40 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2017, 18:40 WIB
Ilustrasi FBI
Ilustrasi FBI (Eric Risberg/AP)

Liputan6.com, New York - Biro Investigasi Federal (FBI) berhasil menyelamatkan sedikitnya 84 orang anak yang hampir saja menjadi korban perdagangan manusia. Bahkan, salah satu dari korban ada yang berusia tiga bulan.

Dikutip dari laman Telegraph.co.uk, Jumat (20/10/2017), selain berhasil meloloskan ke-84 anak, pihaknya juga mengamankan 120 orang yang dicurigai terlibat dalam upaya perdaganan manusia tersebut.

Dari laporan yang berhasil dihimpun, para pelaku kejahatan ini rencananya akan menjual anak-anak tersebut kepada para pedofil lewat situs iklan yang sudah mereka buat secara online.

Untuk meloloskan keseluruhan korban, agen FBI membutuhkan waktu sekitar tujuh hari. Lewat Operasi Cross Country XI, anggota FBI menelusuri beberapa tempat yang diduga kuat sebagai praktik pedagangan manusia.

Beberapa tempat tersebut mulai dari hotel, kasino dan pusat pemberhentian truk pengangkut barang. Selain itu, timnya juga menjelajahi sudut-sudut kota.

"Kenyataan yang menyedihkan adalah, kegiatan ini berlangsung setiap saat. Hal semacam ini tentu harus dihentikan dengan operasi-operasi semacam ini," ujar Staca Shehan Direktur Eksekutif Divisi Analisa.

"Modusnya tetap sama, namun yang berubah hanyalah lokasi dan cara mereka menjual anak-anak tersebut," tambahnya.

Korban yang berhasil diselamatkan oleh FBI memiliki usia rata-rata sekitar 15 tahun. Namun, salah satu dari ke-84 korban yang berhasil diselamatkan adalah bayi berusia tiga bulan dan anak perempuan berusia lima tahun.

Kedua anak ini dapat diselamatkan usai seorang agen FBI yang menyamar menjadi pembeli dan menawar dengan harga US$ 600 atau setara dengan Rp 8,1 juta.

Tak hanya di Amerika Serikat, operasi semacam ini juga akan digelar di beberapa negara lain seperti Kanada, Inggris, Thailand, Kamboja, dan Filipina.

AS Sebut China Negara Terburuk Perdagangan Manusia, Indonesia?

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat merilis hasil kajian tahunan yang membahas isu perdagangan manusia di dunia. Rilis itu mengkaji tentang negara yang diklaim oleh AS memiliki aktivitas perdagangan manusia terburuk di mancanegara.

Rilis tahunan itu bernama 'Trafficking in Persons Report (TIP) 2017, US State Department'. Sejumlah negara yang masuk dalam kategori kualitas terburuk menurut rilis tersebut di antaranya meliputi China, Rusia, Suriah, dan Iran. Demikian seperti yang turut diwartakan oleh CNN.

Kemlu AS mengklaim TIP sebagai 'laporan paling komprehensif mengenai upaya yang dilakukan pemerintah berbagai negara terkait isu anti-perdagangan manusia'.

Salah satu hasil kajian TIP adalah pengkategorisasian -- berdasarkan tingkatan tinggi-rendahnya -- berbagai negara berdasarkan upaya mereka untuk mengeliminasi fenomena perdagangan manusia.

Pengkategorisasian itu mengacu pada ketentuan yang diatur dalam 'Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children', yang merupakan suplemen untuk Convention against Transnational Organised Crime buatan PBB pada 2000.

Di Tier 1 atau tingkatan pertama merupakan kategori negara yang memiliki upaya terbaik untuk menghapuskan perdagangan manusia. Sedangkan Tier 3 merupakan yang terburuk.

Menurut laporan itu, jika sejumlah negara di Tier 3 terus memaksimalkan upaya penghapusan human trafficking, mereka layak untuk naik ke tingkatan yang lebih tinggi, ke 'Tier 2 Watch List', Tier 2, hingga ke Tier 1.

Sebaliknya, jika sejumlah negara di Tier 1 mengendurkan upaya penghapusan human trafficking --dan diikuti peningkatan kuantitas kasus perdagangan manusia, maka status mereka akan turun ke level yang lebih rendah.

Sementara itu, ada sejumlah kategori khusus, yakni 'Tier 2 Watch List' dan 'Special Case'.

'Tier 2 Watch List' digunakan untuk memperingatkan negara yang telah berada di Tier 2 selama bertahun-tahun, namun tidak melakukan upaya yang cukup maksimal dalam rangka penghapusan human trafficking.

Jika dalam waktu dua tahun sebuah negara masih menyandang status 'Tier 2 Watch List', maka yang bersangkutan akan diturunkan ke level Tier 3.

Sedangkan 'Special Case' digunakan untuk menyebut negara dengan kasus khusus, yakni Libya, Somalia, dan Yaman.

Menurut laporan TIP, "China tidak memenuhi ketentuan standar minimum maupun melakukan upaya yang signifikan untuk menghapuskan fenomena perdagangan manusia. Maka, negara itu yang semula berada di Tier 2, diturunkan menjadi Tier 3, tingkatan terendah."

Berdasarkan laporan TIP 2017, China dan sejumlah warga negaranya, terlibat dalam aktivitas seputar perdagangan manusia dan perbudakan moderen. Aktivitas itu meliputi, jual-beli manusia (anak, perempuan, dan laki-laki), tenaga kerja paksa, perdagangan dan eksploitasi manusia untuk kepentingan seksual, serta sistem kerja paksa yang disponsori pemerintah.

Saat memberikan pidato ulasan terkait TIP pada Selasa 28 Juni 2017 di Washington DC, Menteri Luar Negeri Rex Tillerson menilai bahwa China tidak melakukan upaya serius untuk menghentikan trafficking.

"China masuk ke Tier 3 karena tidak mengambil langkah serius untuk menghapus perdagangan manusia. Termasuk, isu pekerja paksa Korea Utara yang berada di Tiongkok," ujar Menlu Tillerson.

Menlu AS itu juga berharap agar seluruh pihak, termasuk korban dan penyintas perdagangan manusia, mampu berpartisipasi dalam melawan kejahatan tersebut.

"Harapan kami adalah agar abad ini adalah masa terakhir untuk fenomena perdagangan manusia. Itu adalah salah satu komitmen kami," tambah Tillerson.

Salah satu penasihat Gedung Putih, Ivanka Trump, sependapat dengan komitmen Tillerson. Anak Presiden AS Donald Trump itu menjelaskan bahwa, "penghapusan perdagangan manusia adalah prioritas pemerintahan Trump."

Sementara itu, pihak Kemlu China merespons TIP. Meski menolak hasil kajian Kemlu AS, namun pemerintah Tiongkok tetap bertekad untuk menghapuskan perdagangan manusia.

"Kami menolak penilaian AS terhadap negara lain yang dibuat berdasarkan pertimbangan hukum domestik mereka. Akan tetapi, kami bertekad untuk melawan trafficking dan bekerjasama dengan negara lain untuk isu tersebut," jelas juru bicara Kemlu China, Lu Kang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya