Liputan6.com, Jambi - Suatu hari di pertengahan 2017, Andi menyisir lebatnya dedaunan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Sesekali kepalanya mendongak ke atas mengamati tingginya pepohonan tua. Suasana tampak sepi, hanya terdengar kicauan burung-burung kecil berbaur dengan suara belalang atau jangkrik hutan.
"Hutan kini kian sepi. Waktu dulu, pagi begini biasanya banyak suara burung rangkong," ucap pria yang sudah belasan tahun bertugas sebagai penjaga hutan alias polisi kehutanan (Polhut) di Jambi itu.
Sembari menyisir jalan, Andi yang gemar mengabadikan kehidupan hutan melalui foto atau video dengan kamera ponsel itu sesekali bercerita akan pengalamannya sebagai petugas penjaga hutan. Menurutnya, seperti daerah lain di Pulau Sumatera, sejumlah hutan di Jambi menjadi salah satu habitat burung, salah satunya rangkong gading. Mulai dari Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang ada di sisi timur, Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) hingga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di sisi barat.
Advertisement
Baca Juga
Kondisi burung rangkong gading kian memprihatinkan dan terancam punah karena maraknya perburuan dan penyelundupan. "Apalagi populasi rangkong berbeda dengan burung biasanya. Butuh waktu lama untuk dia bertelur dan beranak," ucap Andi.
Berdasarkan catatan Ditjen Penegakan Hukum Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebanyak 1.398 paruh rangkong gading berhasil disita di Indonesia. Kemudian lebih dari 2.000 paruh rangkong gading yang diselundupkan ke Cina, Amerika, dan Malaysia berhasil disita dalam kurun waktu empat tahun, antara 2012 hingga 2016.
"Angka-angka ini tercatat terus mengalami peningkatan selama kurun waktu tiga tahun terakhir," ujar Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Wiratno dalam keterangan pers tentang Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) rangkong gading di Jakarta, Kamis 23 November 2017.
Menurut dia, kondisi itu sangat mengkhawatirkan bagi keberlangsungan populasi rangkong gading di alam yang secara khusus tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Apalagi burung rangkong termasuk jenis burung yang tidak mudah dikembangbiakkan di penangkaran karena memiliki karakter khusus.
Wiratno menjelaskan, burung rangkong gading membutuhkan waktu berbiak sekitar 180 hari atau enam bulan untuk menghasilkan satu anak. Masa reproduksi rangkong gading tersebut relatif lebih lama dibanding jenis rangkong lainnya di Asia. Betina biasanya akan mengurung diri di dalam lubang sarang selama bertelur.
Selama masa bersarang, bulu sang betina akan meluruh (moulting) yang nantinya akan berfungsi sebagai alas sekaligus menjaga kehangatan telur. Kondisi ini menjadikan sang betina tidak dapat terbang sampai sang anak siap keluar sarang. Sehingga, betina mengandalkan sang jantan untuk menghantarkan makanan. Maka dari itu, dapat dikatakan dengan membunuh satu ekor jantan rangkong gading, sama dengan membunuh satu keluarga rangkong gading di alam.
"Sehingga, jika rangkong gading terus menerus diburu di alam, tidak lama lagi burung ini akan menyandang status punah," ucap Wiratno.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Konservasi Rangkong Gading
Maraknya perburuan liar menyiratkan status perlindungan burung rangkong gading di tingkat nasional dan internasional masih belum efektif untuk melindungi satwa berparuh besar itu dari kepunahan. Untuk itu, KLHK dengan menggandeng berbagai peneliti dan organisasi pemerhati lingkungan menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) rangkong gading.
"SRAK ini menjadi bagian implementasi Resolusi CITES CoP17 (Resolusi Conf. 17.11) tentang konservasi dan perdagangan ilegal rangkong gading," ujar Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Bambang Dahono.
Ia menjelaskan, dalam proses penyusunan SRAK rangkong gading tersebut, KLHK selaku otoritas pengelola CITES, bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku otoritas ilmiah CITES, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Burung Indonesia, Fauna dan Flora Internasional (FFI), Rangkong Indonesia, Yayasan WWF Indonesia, Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS-IP), dan Zoological Society of London (ZSL).
Lebih lanjut ia mengatakan, masa berlaku dari SRAK rangkong gading adalah 10 tahun dengan cakupan lima aspek, yakni aspek penelitian dan monitoring, aspek kebijakan dan penegakkan hukum, aspek kerja sama dan kemitraan. Kemudian aspek komunikasi dan penyadartahuan serta aspek pendanaan.
"Kami berharap SRAK juga dapat berfungsi sebagai payung pengaturan nasional untuk setiap upaya yang berkaitan dengan kelima aspek SRAK tersebut. Sehingga memungkinkan adanya kolaborasi dan kerja nyata," ucap Bambang.
Advertisement
Burung Asli Indonesia
Burung rangkong gading yang memiliki nama latin Rhinoplax vigil merupakan salah satu spesies asli Indonesia. Burung pemakan biji-bijian dan buah-buahan ini masuk daftar apendiks I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau terancam punah dan dilarang untuk diperdagangkan.
CITIES adalah konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa langka. Konvensi ini bertujuan untuk menjamin tumbuhan dan satwa liar dalam perdagangan internasional tidak dieksploitasi secara berlebihan sehingga merusak populasinya di alam.
Burung ini juga masuk dalam daftar satwa dilindungi menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Sebagai burung asli Indonesia, rangkong gading juga memiliki nilai budaya yang tinggi. Khususnya bagi masyarakat Kalimantan Barat. Oleh masyarakat asli Kalimantan Barat, burung rangkong gading adalah burung istimewa dan kebanggaan daerah.
Dalam adat Suku Dayak Kalimantan, burung rangkong dipercaya sebagai tingang, tajak atau tajay yang merupakan sebuah simbol "alam atas" yakni alam kedewataan. Bahkan di Kalimantan Barat, rupa burung rangkong gading juga tampil dalam berbagai ukiran yang merepresentasikan keberanian dan keagungan Suku Dayak Kalimantan.