Liputan6.com, Brebes - Segala yang terjadi dalam hidup memang misteri Ilahi. Sehingga tak ada seorang pun yang bisa tahu bagaimana proses perjalan hidup, apakah bernasib baik ataupun kurang baik.
Begitu juga yang dialami, Puteri (31) warga Kersana Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Lahir di lingkungan ekonomi menengah bawah membuatnya terpaksa menjalani kerasnya hidup sejak berusia belasan tahun. Mulai dari menikah pada usia dini (14 tahun), hingga menjadi korban perdagangan anak, dan bermuara menjadi penderita HIV/AIDS.
Kendati demikian, Puteri hingga kini masih bersemangat menjalani hidup bersama seorang puteri yang masih berusia lima tahun dan suaminya.
Advertisement
Baca Juga
Perjalanan kelam Puteri ini dilakukanya karena memang kondisi saat itu yang tak memungkinkan untuk dihindari.
"Karena dulu ekonomi keluarga tidak mampu. Akhirnya saya dinikahkan dengan orang tua pada usia baru menginjak 14 tahun. Tapi, singkat cerita suami saya dulu tak bertanggungjawab dan saya dijual ke orang di Batam jadi Wanita Penjajak Seks (WPS) Rp 5 juta," ucap Puteri saat berbincang-bincang dengan Liputan6.com belum lama ini di Kabupaten Brebes.
Ia menikah tahun 2000 karena dijodohkan dengan seorang pria berusia 19 tahun yang masih tetangganya sendiri. Kedua orang ini menikah tanpa ada persiapan fisik dan mental sama sekali. Untuk makan sehari-hari mereka hanya mengandalkan uluran bantuan orangtua.
Baru dua bulan menikah, pasangan muda-mudi itu sering cekcok karena urusan ekonomi keluarga. Sang suami menyarankan agar Puteri bekerja sebagai pelayan warteg di Jakarta agar bisa mendapatkan penghasilan. Sementara suami bekerja serabutan di kampung.
"Jadi awalnya saya dijanjikan kerja di warteg di Jakarta. Tapi kok jadinya dikirim ke Batam di sebuah tempat hiburan. Saya bingung dan terus menangis, dan akhirnya saya hanya bisa pasrah saja saat itu," ungkap dia.
Proses Lepas dari Dunia Prostitusi
Sejak saat itu, bertahun-tahun, setiap hari dia dipaksa melayani para hidung belang. Dia tidak menyangka akan menjadi PSK di Batam. Saat menjadi PSK itu, Puteri sempat berkenalan dengan seorang pelanggan yang dianggapnya baik hati.
Karena sering bertemu, Puteri mulai berani mengungkapkan keinginannya agar cepat keluar dari tempat maksiat tersebut. Hanya saja, keinginan itu tidak bisa terlaksana karena terhalang biaya tebusan kepada mucikari.
Agar bisa keluar dari rumah bordir, Puteri harus mengganti uang sebesar Rp 10 juta, atau dua kali lipat dari harga yang pernah dibayar mucikari kepada suaminya.
"Saat saya cerita, tanpa disangka dia mau bantu. Dia (pelanggan) ini mau mengeluarkan uang Rp 10 juta untuk menebus agar bisa pulang ke kampung di Brebes," jelasnya.
Setelah pulang ke kampung halamannya di Brebes, bukan diterima dengan baik, Puteri malah mengalami penolakan dari keluarganya termasuk orangtuanya sendiri.
"Setelah bebas itu saya sempat pulang kampung dan menceritakan apa yang sebenarnya. Tetapi keluarga enggak nerima dan saya diusir dari rumah. Karena saya ini dianggap perempuan kotor dan enggak baik," jelas dia.
Merasa diasingkan keluarga, Puteri pun tidak punya pilihan lain untuk bisa bertahan hidup kecuali harus kembali ke dunia prostitusi. Dia pun memutuskan pergi ke Jambi atas saran seorang teman. Hari-harinya kembali diisi dengan melayani para pria hidung belang.
Menjadi PSK kembali sebenarnya bukan pilihan dari Puteri. Ia hanya kebingungan dan khawatir bagaimana dirinya bisa bertahan hidup seorang diri. Perang batin yang dialaminya selama menjalani PSK menuntunnya untuk pulang ke kampung dengan risiko apa pun.
"Setelah ke Jambi, beberapa bulan berselang saya memberanikan pulang ke Brebes," kata dia.
Selama hidup di kampung dia bertemu Tarjo (nama samaran), pria yang mau menerima Puteri apa adanya.
Sebagai mantan PSK, wanita ini mengaku berbahagia menjalani kehidupan baru sebagai istri yang sah. Kebahagiaan pasangan ini makin lengkap, setelah dikaruniai anak perempuan. Ia pun merasa sudah lengkap kebahagiaan sebagai seorang wanita.
Advertisement
Terungkap HIV Karena Anak Jatuh Sakit
Awal mula terdeteksi mengidap HIV saat anaknya, sebut saja Rina, sering jatuh sakit. Saat usianya 14 bulan, beberapa kali Rina dirawat di sebuah rumah sakit di Brebes.
Petugas RS kemudian melakukan pemeriksaan secara menyeluruh karena sakit yang diderita Rina ini tak kunjung sembuh. Dari tes laboratorium ini disimpulkan bahwa Rina menderita HIV.
Pemeriksaan dilanjutkan dengan tes darah kedua orangtua Rina, yakni Puteri dan Tarjo, suaminya. Hasil pemeriksaan lanjutan, Puteri positif HIV sedangkan Tarjo negatif. Kini kehidupan keluarganya dalam pengawasan Pemkab Brebes.
"Saya adalah korban perkawinan anak, sehingga sampai terjerumus ke dunia prostitusi. Anak saya kena HIV karena ulah saya sendiri," ucapnya sembari meneteskan air mata.
Untuk mencegah terjadinya perkawinan anak, Puteri kerap kali dihadirkan dalam sebuah kampanye bertema Stop Perkawinan Anak digelar di Kabupaten Brebes beberapa waktu lalu.
Kegiatan ini digagas oleh Dinas Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DP3KB) Kabupaten Brebes. Acara ini diikuti oleh para pelajar dari tingkat SD sampai SMA dan para santri.
Untuk memberikan gambaran tentang dampak negatif perkawinan anak kepada peserta, Puteri menceritakan semua pengalamannya di hadapan peserta. Dia berpesan, remaja di Brebes untuk tidak mengikuti jejaknya.
Perkawinan anak itu banyak dampak negatifnya. Dirinya mengidap HIV, secara tidak langsung karena menikah di usia muda.
Kabid Perlindungan Anak dan Perempuan DP3KB Brebes, Rini Pujiastuti mengatakan, remaja harus waspada terhadap hal hal yang bisa menjerumuskan mereka ke perkawinan usia anak. Misalnya harus menghindari pergaulan bebas dan penyalahgunaan narkoba.
"Karena hal itu merupakan awal mula bisa terinfeksi penyakit HIV," ucap Rini Pujiastuti.
Penderita HIV/AIDS di Brebes Terus Meningkat
Penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Brebes tak hanya menyerang orang dewasa, lima pelajar di kota bawang ini bahkan positif mengidap HIV/AIDS. Mereka semuanya laki-laki. Namun, yang paling memprihatinkan, penderita adalah kaum gay atau penyuka sesama jenis.
"Mereka kebetulan berasal dari wilayah Brebes Selatan, pelajar tingkat SMA sederajat. Ini harus menjadi pelajaran," ucap Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Brebes, Tohani saat sosialisasi penanggulangan HIV/AIDS di kalangan pelajar, kemarin.
Dia menyebutkan, selain di wilayah Brebes Selatan, penderita HIV/AIDS di kalangan pelajar juga ada di wilayah tengah dan wilayah Pantura Brebes. Namun, data itu tidak bisa disebutkan.
"Yang banyak itu di wilayah Brebes Selatan. Ada dari Tonjong, Bantarkawung, Bumiayu dan lainnya. Mereka adalah pelajar SMA sederajat. Untuk prosentase penderita di HIV/AIDS dari LSL mencapai 30 persen dari jumlah penderita," ia menambahkan.
Ia menjelaskan, pihaknya terus melakukan berbagai penyuluhan dan sosialisasi di beberapa sekolah di Kabupaten Brebes terkait bahaya penyakit HIV/AIDS. Pasalnya, kondisi ini dianggap sangat memprihatinkan karena penderita masih berada di usia pelajar.
"Sosialisasi yang kami lakukan di sekolah-sekolah dengan pembentukan Pelajar Peduli AIDS (PPA) hangat efektif bagi mereka. Kami akan menggencarkan sosialisasi ini mengingat penderita HIV/AIDS di Brebes cukup banyak," jelasnya.
Dia menyebutkan, PPA mencatat hingga saat ini sebanyak 612 masyarakat Brebes positif terkena HIV/AIDS. Jumlah tahun 2016 lalu, sedikitnya 125 penderita dilaporkan telah meninggal dunia.
Sementara, di 2017 ini sedikitnya ada 149 orang positif terkena HIV/AIDS. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 132 orang. Jumlah ini akan terus meningkat, jika para penderita tidak bersedia berobat.
"Untuk penularan dari penyakit ini ialah melalui 3 cairan. Yang pertama, cairan sperma dari penderita, cairan darah, dan cairan susu ibu. Kalau ibunya positif menderita HIV/AIDS bayi tidak boleh minum ASI, harus pake susu formula," beber dia.
Untuk penularan melalui cairan darah, penularan bisa melalui jarum suntik narkoba yang dipakai ramai-ramai. Dan jika si pendonor sudah terlanjur donor darah, maka darah tersebut harus dites. Jika ada yang positif, maka darah tersebut harus dimusnahkan.
"Kalau pendonor positif harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan untuk ditangani lebih lanjut," dia memungkasi.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement