Liputan6.com, Jakarta - Perayaan Hari Antikorupsi Sedunia yang jatuh pada Sabtu, 9 Desember 2017, mengingatkan akan fakta bahwa perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia masih panjang. Bahkan menurut Peter Carey, peneliti Perang Jawa dan Pangeran Diponegoro asal Universitas Oxford, Inggris, korupsi menjadi salah satu pemicu utama Perang Jawa, meskipun sama sekali tidak dibahas di buku pelajaran sekolah Indonesia saat ini.
Penulis buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (2015) ini menyebut isu korupsi dan cara menanganinya tidak banyak mengalami perubahan selama hampir 200 tahun sejak Diponegoro menampar Patih Yogya Danurejo IV di hadapan sentana (keluarga Sultan) di Keraton Yogyakarta, pada sekitar 1817.
Bahkan, dia berpendapat, Indonesia belum mengalami perubahan paradigma yang signifikan dari zaman feodal Jawa hingga zaman reformasi kini.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Pandangannya itu dia kemukakan dalam buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Era Daendels sampai Era Reformasi (2017) yang diterbitkan Komunitas Bambu. Menurut Peter Carey, peletak dasar penanganan antikorupsi di Indonesia sesungguhnya adalah Daendels. Kok bisa?
Peter Carey menyebut masa pemerintahan Marsekal Herman William Daendels sebagai gubernur jenderal di Jawa (1808-1811) sebagai titik balik dalam sejarah Indonesia modern. Sebab, Daendels bukan saja meletakkan dasar bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (1818-1942) dan Indonesia pasca-1945 yang tersentralisasi, tetapi juga mengubah hubungan antara pemerintah kolonial di Batavia dengan para raja-raja independen di Pulau Jawa untuk selamanya.
Secara garis besar, ada tiga warisan Daendels untuk Indonesia. Apa saja?
1. Peletak Dasar Gaya Berbusana Baru
Pemerintahan Daendels di Jawa sesungguhnya memiliki karakter militer. Hal ini terlihat dari banyaknya waktu yang ia curahkan untuk masalah-masalah militer, terutama gaya busana yang dipromosikan oleh Daendels. Tidak seperti para mantan Gubernur Jenderal VOC yang mengenakan busana elite kebangsawanan, pakaian formal Daendels adalah seragam marsekalnya.
Sejarawan Onghokham menyebut Daendels memberikan pangkat militer pada setiap pejabat, baik orang Eropa maupun orang Jawa. Dan setelahnya, Daendels memulai tradisi dinas kolonial Belanda dan elite pribumi Jawa dan Sunda pasca-Perang Jawa (1825-1830), yaitu para pejabat mengenakan seragam untuk menandai status mereka sebagai pejabat pemerintah. Warisan Daendels ini berlanjut hingga saat ini bagi para pejabat pemerintah, yakni pegawai negeri sipil (PNS) atau gubernur.
Dalam sebuah potret diri Daendels yang dilukis secara cermat oleh Raden Saleh, tampak ada tanda pangkat berupa medali dan tanda kehormatan, serta bintang berujung delapan dan selempang sutera biru Orde Kerajaan Belanda dari Louis Napoleon dalam seragam Daendels.
Selain itu, Daendels juga memperkenalkan penghargaan pangkat militer tinggi dan penggunaan seragam militer bagi para bangsawan militer dan Jawa. Daendels melakukannya untuk mengikat para pangeran independen dalam rezimnya. Juga sebagai penghargaan murah untuk menghargai kesetiaan dan jasa.
Advertisement
2. Pelopor Antikorupsi
Dalam tugasnya di Jawa, Herman Willem Daendels diperintahkan menjaga pertahanan Pulau Jawa dan mempertimbangkan kekuasaan keraton-keraton Jawa sebagai ancaman yang ditakuti. Daendels pun membuat struktur baru, yakni sentralisasi, sebagai dasar hubungan antara keraton-keraton tersebut dengan pemerintah pusat di Batavia. Perlahan-lahan, Daendels mulai membangun hubungan langsung dengan para residen di keraton Jawa tengah-selatan.
Daendels menghapus pemerintahan Pantai Timur Laut Jawa pada 1808, yang diniatkannya sebagai langkah awal memberantas tindakan korupsi dan penyelewengan kekuasaan di Pulau Jawa. Sebab sebelumnya, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa memiliki kekuasaan yang lebih banyak dibanding pemerintah pusat di Batavia.
Langkah lain, Daendels juga melarang para bupati dan pejabat mengeluarkan uang bekti alias suap, yang pada masa sebelumnya diberikan saat mereka dilantik sebagai pejabat. Apabila itu dilakukan demi jabatan, maka pejabat tersebut bisa dipecat.
Daendels juga mengeluarkan maklumat yang memberikan para residen keistimewaan yang lebih sesuai dengan posisi baru mereka sebagai perwakilan gubernur jenderal dan pemerintah kerajaan Raja Louis di Den Haag, Belanda.
Para residen diberikan gelar duta dengan seragam baru dan hak membawa payung kenegaraan berwarna biru dan emas bertakhtahkan lambang Kerajaan Belanda. Pada acara-acara resmi, residen tidak harus membuka topi ketika mendekati raja.
Sebaliknya, sang raja harus berdiri menyambut residen dan langsung menyediakan tempat di sebelah kirinya. Ini menandakan bahwa residen duduk tepat setingkat dengan raja.
Mereka bahkan tak harus menghentikan kereta kudanya jika berpapasan dengan kereta kuda raja.
Carey menyebut tindakan Daendels ini “menyentuh tepat di jantung hati orang Jawa” karena residen tidak diperlakukan sebagai pelayan raja. Namun, hal ini meyakitkan hati sultan karena Daendels dianggap menyetarakan residen dengan sultan keraton.
3. Pembuka Kemajuan Melalui Jalan Raya Pos
Perubahan gaya busana, bahasa, dan politik yang dijalankan Daendels mungkin tak seterkenal warisannya yang satu ini: Jalan Raya Pos (Grote Postweg). Membentang membelah pegunungan antara Bogor dan Cianjur di Pulau Jawa, Jalan Raya Pos menjadi dasar bagi jalan trans-Jawa di masa selanjutnya.
Pengangkatan Daendels dilakukan dalam kondisi genting saat pamor VOC mulai merosot, sementara kedudukan para penguasa pribumi semakin meningkat. Maka, Jalan Raya Pos merupakan solusi alternatifnya.
Jalan ini bukan saja memungkinkan perpindahan pasukan lewat darat, dan dengan demikian menghindari blokade Inggris terhadap pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa. Peter Carey menyatakan Jalan Raya Pos secara garis besar juga berfungsi sebagai tulang punggung strategis bagi sistem pertahanan seluruh pulau.
Menurut Carey, keberadaan Jalan Raya Pos menandai dimulainya Jawa modern yang terintegrasi dengan sistem transportasi yang membentang dari barat ke timur, serta bukan seperti sebelumnya dari utara ke selatan mengikuti sungai-sungai besar yang menghubungkan pesisir dan pedalaman.
Gagasan kosmologis Jawa yang berorientasi pada sungai dan gunung pun berubah drastis akibat dibukanya Jalan Raya Pos. Salah satunya adalah, orang-orang Cina tidak lagi membuka kelenteng-kelenteng baru mereka di tepi sungai, tetapi di pinggir Jalan Raya Pos. Mereka menganggap Jalan Raya Pos sebagai "napas kehidupan" yang baru. Perubahan yang sama terjadi dengan "istana" dan kantor para bupati pesisir yang dibangun pada pertengahan abad ke-19.
Meski menelan jumlah korban yang sangat banyak, Jalan Raya Pos, seperti namanya, membuka jalur transportasi dengan lebih cepat. Jalur Batavia-Semarang yang tadinya harus ditempuh selama dua minggu, pada saat itu dapat ditempuh hanya tiga-empat hari saja.
Jalan Raya Pos memang memperpendek jarak fisik. Namun, Daendels sering dikritik karena rupanya warisannya ini memperlebar jarak sosial antara para tuan kolonial dengan pribumi non-elite. Sebab ternyata, hanya orang-orang dengan kedudukan istimewa dan izin khusus sajalah yang diizinkan melintas di Jalan Raya Pos pada masa itu.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement