Liputan6.com, Tegal - Sebuah langgar atau musala tua di Kota Tegal, Jawa Tengah, menjadi salah satu saksi bisu penyebaran Islam di wilayah pantai utara (pantura) barat. Langgar Dhuwur yang saat ini dikenal dengan Musala Al-Hikmah itu bahkan dipercaya masyarakat sebagai masjid pertama di Kota Tegal.Langgar Dhuwur diperkirakan didirikan pada Ahad 15 Ramadan Tahun Wawu 1241 Hijriah atau 1821 Masehi. Awalnya, langgar atau surau tersebut merupakan Masjid Persengkongan yang menjadi bagian dari perkembangan Islam di eks-Karesidenan Pekalongan.Berlokasi sekitar 50 meter tak jauh di jalur pantura Tegal, musala yang struktur bangunannya menggunakan kayu jati ini masih berdiri kokoh. Dengan usia hampir 200 tahun, Musala Al-Hikmah ini di beberapa bagian kayu penyangga memang sudah mulai rapuh dan miring.Karena perkembangan zaman, musala yang semula berada di kawasan pelabuhan kini seperti mengalami pergeseran ke gang sempit.Pengamat budaya dan sejarawan pantura, Wijanarto, membenarkan asal muasal penyebaran Islam di pantura eks Karesidenan Pekalongan (Brebes, Batang, Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Batang) diperkirakan bermula dari daerah pelabuhan Tegal, yakni di Pesengkongan, sebelum menyebar ke daerah pedalaman.
Baca Juga
"Karena hal itu bisa terlihat dari keberadaan Langgar Dhuwur (Musala Al-Hikmah) yang diperkirakan telah berdiri sejak dua abad lalu," ucap Wijanarto kepada Liputan6.com, Rabu, 31 Mei 2017. Menurut dia, jejak pembangunan tempat ibadah itu dibuktikan pula oleh prasasti ukiran kayu jati dengan motif bunga melati dan mawar di atas pintu masuk sebagai penanda (candra sengkala) pendirian masjid itu di masa lampau.Adapun konstruksi Langgar Dhuwur itu terbuat dari batu bata, ukuran awal 15x15 meter berbentuk bujur sangkar. Kemudian ada atap terdiri dari dua undakan. Hal inilah membedakan dengan atap-atap masjid kewalian pada umumnya yang memilih bilangan ganjil pada atapnya.Untuk ornamen masjid pun nyaris tidak ada, hanya ada motif di mihrab dan ventilasi pintu masuk masjid bermotif flora. Hal itu, ujar dia, sejalan dengan ajaran Islam tentang adanya larangan gambar atau relief manusia atau binatang di masjid, karena dikhawatirkan bisa menjadi berhala yang kemudian dipuja oleh manusia.
Advertisement
"Beberapa bangunan ini yang dijadikan fasilitas untuk urusan-urusan agama terdapat di dalam perkampungan Pesengkongan menjadi bukti bahwa di sini merupakan pusat penyebaran Islam," katanya.Di dalam Kampung Pesengkongan, di sebelah utara dekat dengan laut saat itu, tepat pada 1830, Langgar Dhuwur berdiri untuk memenuhi kebutuhan beribadat para pelaut Bugis, Madura, Sumatera, dan Kalimantan yang sedang berlabuh.Konstruksi bangunan Masjid Persengkongan ini terbuat dari kayu jati dengan corak bangunan perpaduan rumah panggung Sumatera dengan hanya satu atap mustaka berbentuk stupa. Bentuk bangunan bujur sangkar 10 x10 meter, dinding terbuat dari kayu dengan motif-motif sangat sederhana, hanya berbentuk jeruji kayu pada lantai atas."Karena musala ini difungsikan untuk tempat istirahat pelaut serta dibangun agar bisa mengintip ke lepas pantai untuk melihat kapal yang akan berlabuh atau tambat," kata dia.Sementara, bangunan bawah masjid tertua di Tegal itu digunakan untuk bangunan boro tanpa sekat, yang difungsikan untuk istirahat pelaut.
Perpaduan Unsur Jawa, Melayu, dan Arab
Menurut Wijanarko, keberadaan Langgar Dhuwur di Pesengkongan, Tegal, tak bisa dilepaskan dari beberapa faktor. Pertama, dinamika demografi penduduk di Tegal. Kedua, perkembangan ekonomi yang ditunjang keberadaan Pelabuhan Tegal. Ketiga, mobilitas sosial.Ia menjelaskan, berdasarkan data Algemeen Verslag van Het Residentie Tegal over het Jaar 1847, data penduduk Tegal pada 1846 berjumlah 145.298 dan tahun 1847 naik menjadi 148.809 orang."Itu belum dengan penambahan masyarakat bangsa lain. Tahun 1847 ada 301 orang Eropa, 3.267 orang China, 5 orang, 25 orang Moor dan Arab, 1832 orang Melayu, dan 42 warga budak," tutur pria yang juga sebagai Ketua Dewan Kesenian Brebes itu.Dari demografi itu, lanjut dia, menunjukkan wilayah Tegal menjadi wilayah sasaran penduduk luar yang singgah dan bermukim di Tegal."Pendirian Langgar Dhuwur menunjukkan hal itu. Karena pendirian langgar tersebut tak bisa dilepaskan dari masyarakat muslim Melayu, Gujarat, Benggali India, serta Arab dan Moor," ia menjelaskan.Datangnya bangsa-bangsa tersebut, kata dia, juga dikaitkan dengan ramainya perniagaan maritim melalui Pelabuhan Tegal. Pada mulanya aktivitas terbatas pada nelayan lokal yang menangkap ikan.Perahu-perahu nelayan lokal Tegal dibuat di Desa Pasohor, Batang, Desa Karangwelang, Pekalongan dan Pemalang."Jenisnya perahu mayang, konting, dan jukung. Terbuat dari kayu jati, kepoh atau arbas dan mangga. Selain pelabuhan ikan, Pelabuhan Tegal sejak Mataram Islam dikenal sebagai pelabuhan beras," katanya.
Pada 1 Mei 1859, Pelabuhan Tegal oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dijadikan sebagai pelabuhan bebas bersama 15 pelabuhan kecil lainnya di Jawa dan tiga di luar Jawa."Pelabuhan Tegal menjadi pelabuhan ekspor umum dan impor terbatas. Artinya, pelabuhan ditetapkan untuk melayani pelayaran internasional (scheepvaart)," tutur dia.Beberapa barang komoditas yang diekspor dari Pelabuhan Tegal antara lain gula, beras, padi, teh, ikan asin, gambir, lada, kapas, kemenyan, kain tradisional, dan kopi."Makanya, mereka pedagang-pedagang muslim mengunjungi Pelabuhan Tegal dan mendirikan masjid sebagai transit. Daerah yang dipilih adalah Pesengkongan inilah yang dekat dengan pelabuhan dan tepi Jalan Groote Postweg dan Daendels (pantura)," dia membeberkan.
Advertisement
Penyatuan Keberagaman Budaya Islam
Di sisi lain, sang arsitektur masjid tertua di Tegal itu menggambarkan penyatuan tiga unsur Jawa, Melayu, dan Arab."Langgar Dhuwur itu juga menjadi cikal bakal perkampungan yang nantinya dibedakan berdasarkan etnis dan agama. Seberang Pesengkongan adalah Kampung Pecinan dan sebelah selatannya adalah Pekauman," kata Wijanarto.Musala Pesengkongan itu juga mengimplementasikan penyatuan dalam keberagaman dalam budaya Islam. Sekaligus menjadi bukti soal kejayaan perniagaan laut dan diaspora masyarakat muslim Arab, India, dan Melayu ke Nusantara khususnya di Tegal. Selain masyarakat Eropa dan China.Menurut dia, Pesengkongan juga dikenal sebagai kaum encik (dihuni melayu Islam), dulu ada kampung Kabugisan dan Kameduran dihuni etnis pendatang dari Madura (letaknya di Slerok) Kampung Pekauman dihuni orang Arab (kompleks Hadad hingga ke Kraton) hingga Kampung Koja yang masyarakat Bengali atau Gujarat."Ini membuktikan bahwa pendatang banyak bermukim di Tegal karena faktor magnet ekonomi," ia menjelaskan.Selain itu, juga adanya Kantor Urusan Agama Islam untuk kepentingan urusan dakwah, pernikahan, dan perceraian. Tak hanya itu, bangunan ini juga untuk mengurusi haji dan tempat isolasi sebelum pemberangkatan haji.Sebelum berangkat ke Tanah Suci, imbuh Wijanarto, jemaah berkumpul di Langgar Dhuwur untuk melakukan manasik dan pembekalan dari Syekh Zaenal Kadir yang juga menjadi pendamping selama di Tanah Suci. Mereka diinapkan selama sepekan. Pada masa itu, calon anggota jemaah haji yang berangkat ke Mekah, Arab Saudi, tak lebih dari 20 orang."Pada zaman dahulu memang pemberangkatan haji dilakukan dengan kapal laut yang diberangkatkan oleh swasta (partikelir) melalui Pelabuhan Tegal (1830). Belanda memang tidak mengadakan urusan haji karena mereka takut sepulang dari tanah Mekah, banyak pribumi yang kemudian memberontak," ia mengungkapkan.Kemudian ciri khas kebudayaan Arab pada Langgar Dhuwur ini terlihat dari ornamen pada dinding. Bentuknya, berupa pahatan garis-garis dan motif kerucut segi lima. Sedangkan kebudayaan Melayu diwakili lubang ventilasi pada pintu dan jendela.Di bagian dalam langgar yang terletak di Pesengkongan, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, ini terdapat tiang dari kayu jati.
Langgar seluas 80 meter persegi yang berdiri di atas lahan seluas 172 meter persegi itu belum pernah dipugar. Kini, bangunan yang masuk bangunan cagar budaya tersebut mengalami pengeroposan di beberapa tempat.Bagi masyarakat yang ingin merasakan ibadah di musala tertua di Tegal ini bisa mengarahkan kendaraan dari Jalur pantura menuju Jalan Gajahmada kemudian berbelok ke Jalan S Parman.Meski warga masih menyebut tempat ibadah ini sebagai Langgar Dhuwur, nama tempat ini telah diubah menjadi Musala Al-Hikmah.