Lurik Pedan, Penyambung Hidup Warga Era Perjuangan

Perajin kain lurik yang masih memanfaatkan alat tenun bukan mesin (ATBM) di sentra kerajinan lurik di Pedan, Klaten, kini tinggal sedikit.

oleh Fajar Abrori diperbarui 08 Feb 2018, 15:00 WIB
Diterbitkan 08 Feb 2018, 15:00 WIB
Kerajinan Lurik Klaten
Salah seorang perajin sedang menenun kain lurik dengan oklak di Pedan, Klaten.(liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Klaten - Sempat surut, kini tenun lurik kian dilirik anak-anak muda zaman sekarang. Layaknya batik, lurik dieksplorasi sedemikian rupa untuk bisa menyesuaikan dengan selera orang kekinian. Satu sentra lurik yang masih harum namanya adalah Pedan, Klaten.

Jalan panjang dilalui perajin tenun lurik. Ihwal mula lurik Pedan tak lepas dengan sejarah perjuangan pascakemerdekaan RI. Lurik Pedan dirintis saudagar kaya bernama Hadi Sumarto. Awalnya ia mengenyam bangku kuliah di Textiel Inrichting Bandoeng (Sekolah Tinggi Teknologi Bandung) tahun 1938-1948.

"Setelah tahun itu, mereka membangun industri lurik di Pedan," ujar Raden Rahmat, salah satu perajin lurik yang kini berusia 86 tahun, saat ditemui di kediamannya di Pedan, Klaten, Rabu, 7 Februari 2018.

Namun, nasib nahas harus diterima Hadi Sumarto. Zaman itu adalah masa-masa perjuangan pascakemerdekaan. Ia ingat betul bagaimana orang di Pedan, Klaten, membumihanguskan apa pun yang berbau Belanda. Termasuk salah satunya pabrik gula Pedan yang merupakan kongsian pengusaha Belanda dan raja Solo.

"Karena situasi yang tidak aman, kami warga Pedan mengungsi selama setahun. Dan pabrik dari Pak Hadi Sumarto ya terbengkalai, " ucapnya.

Cikal Bakal Kerajinan Lurik di Pedan

Kerajinan Lurik Klaten
Seroang ibu sedang menenun lurik dengan menggunakan oklak di Pedan, Klaten.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Selama di tempat pengungsian, Hadi Sumarto bersama dengan para pekerjanya memberikan pelajaran kepada warga mengenai cara menenun lurik. Selepas dari masa pengungsian, warga kembali ke kampung halaman. Dan mereka pun ramai-ramai untuk merintis usaha kecil tenun lurik.

"Ayah saya termasuk yang diajari dan kemudian membuka usaha kecil tenun lurik," jelas Rahmat yang dulu juga pernah membuka gerai kerajinan tangan di Bali ini.

Ia mengatakan jika masa keemasan tenun lurik pada tahun 1950-1960-an. Rahmat yang mogok kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia itu pun memilih meninggalkan sekolahnya demi menggarap lurik.

"Pada masa-masa keemasan lurik itu ada sekitar 500 industri rumahan dengan 10.000 tenaga kerjanya. Saya waktu itu juga merasakan bagaimana larisnya kain lurik," ucap Rahmat.

Lurik meredup ketika mulai zaman pemerintahan Soeharto yang mengandalkan modernisasi dan konglomerasi. "Banyak yang kemudian beralih dari lurik alat tenun bukan mesin (ATBM) ke mesin," kata dia.

Perajin Lurik dengan ATBM Kian Susut

Kerajinan Lurik Klaten
Seorang pekerja sedang menata benang yang akan ditenun di Pedan, Klaten.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Walau demikian, masih ada industri kecil alat tenun bukan mesin (ATBM) di Pedan yang bertahan. Namun, itu pun bisa dihitung dengan jari, termasuk pabrik milik Rahmat, Sumber Sandang.

"Pengusaha lurik mungkin tak lebih dari lima. Sementara pengrajinnya juga sudah tua-tua. Anak-anak muda juga enggan menjadi pengrajin lurik, lebih milih cari kerja ke kota, " jelas Rahmat.

Rahmat sendiri saat ini bertahan dengan sekitar 30 oklak (alat untuk menenun) dengan pekerjanya sekitar 30. Meski bertahan dengan cara yang tradisional, Rahmat tetap memiliki pasarnya sendiri.

"Banyak pembeli dari luar negeri. Ada dari Prancis, Jerman, Australia, dan Belanda. Biasanya mereka itu tidak hanya memesan lurik untuk bahan sandang, tetapi juga bagian dari desain interior rumah, " kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya