Liputan6.com, Bandung Ketersediaan cahaya matahari menjadi faktor penting untuk memproduksi batik, terutama kain yang menggunakan zat warna indigosol. Namun di Indonesia, ketersediaan sinar matahari sering terganggu hujan bahkan awan. Perubahan intensitas matahari ini sangat memengaruhi kualitas warna indigosol.
Adapun corak suatu batik dibentuk dengan memberi malam atau lilin pada kain yang mengikuti pola tertentu. Kain yang telah diberi malam, dicelupkan ke dalam larutan zat warna. Bagian kain yang tidak terkena lilin akan menyerap larutan warna tersebut.
Selanjutnya kain akan dilorod (direndam dalam air panas), sehingga malam akan melarut, dan muncul corak dari pewarna yang tertinggal pada kain. Proses pemberian malam, pencelupan zat warna, pelorodan ini dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan motif batik dengan berbagai warna.
Advertisement
Baca Juga
Pada praktiknya, ada dua jenis pewarna yang umum dipakai, yaitu naftol dan indigosol. Naftol cenderung berwarna gelap dan tegas, sementara indigosol berwarna cerah dan lembut. Karenanya, warna indigosol ini disukai oleh konsumen Eropa untuk busana musim panas. Namun dibanding naftol, proses pewarnaan dengan indigosol sedikit lebih rumit karena memerlukan reaksi fotokimia.
Secara tradisional, pewarnaan indigosol dilakukan dalam tiga tahap, yaitu merendam kain pada larutan indigosol, menjemur kain di bawah sinar matahari yang cukup terik, kemudian merendam kain di larutan asam.
Untuk itu, seorang pakar Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB), Eko Mursito Budi, mencoba mengaplikasikan penggunaan teknologi pengganti sinar matahari pada pembuatan kain batik tradisional Indonesia agar batik dapat diproduksi di mana dan kapan saja, dan dengan kualitas yang konsisten.
Kuncinya adalah memahami proses aktivasi pewarna indigosol yang tergantung pada foton atau partikel elementer cahaya. Alat ini kemudian disebut mesin batik fotonik.
Simak video pilihan berikut ini:
Tahapan Membuat Mesin Fotonik
Dilansir laman resmi ITB, perjuangan Eko untuk menciptakan mesin fotonik batik tidaklah mudah. Ia yang sebelumnya pernah sukses menciptakan Angklung Robot (Klungbot) ini, harus mempertimbangkan banyak hal untuk mengintegrasikan semua komponen pada mesin fotonik tersebut.
Sesuai dengan arahan Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB, produk inovasi bisa digolongkan dalam 9 Technology Readiness Level (TRL). Tahap 1-3 adalah riset dasar, tahap 4-6 adalah riset hilir, sementara tahap 7-9 sudah masuk industrialisasi.
Di saat awal, mesin batik fotonik ini masih berada pada TRL 4 karena sains yang diperlukan untuk aktivasi indigosol belum diketahui. Sementara itu target penelitian adalah mencapai TRL 7, yaitu purwarupa yang sudah mampu bekerja pada skala industri.
Untuk itulah, penelitian mesin batik fotonik ini dilakukan dalam beberapa tahap dengan dibantu oleh para mahasiswa dan teknisi di Teknik Fisika ITB.
Riset pertamanya tentang mesin fotonik batik dimulai di tahun 2015. Dengan dana sebesar 40 juta rupiah yang ia dapatkan dari LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat) ITB, maka mesin fotonik batik generasi pertama berhasil diciptakannya.
Mesin fotonik batik generasi pertama ini menurutnya masih tergolong manual, karena membutuhkan bantuan manusia untuk menggerakkan kain batik agar masuk ke dalam mesin.
"Kesiapan mesin generasi pertama ini masih tergolong dalam TRL (Technology Readiness Level) Level 4, artinya pada level ini kita sudah menguji bahwa teori sainsnya sudah bekerja. Kita juga sudah bisa menentukan foton pengaktivasi indigosol itu adalah sinar ultra-violet (UV), sehingga bisa terjadi reaksi photochemical,” ujar Eko.
2016 lalu, Eko dibantu oleh mahasiswanya bernama Nabella Adjani dan Pedrick Pratama, setelah keduanya berhasil mendapatkan dana 125 juta rupiah untuk pengembangan mesin fotonik batik dari LPIK (Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan) ITB. Fokus riset adalah mencari formula proses penyinaran ultra-violet untuk berbagai warna indigosol.
Lagi-lagi tim Eko berhasil membuktikan dengan suksesnya mesin fotonik batik generasi kedua yang sudah mencapai TRL 6. Mesin ini sudah dapat melakukan aktivasi indigosol secara otomatis, namun masih skala kecil.
Dengan mengubah-ubah intensitas, serta menggunakan panjang gelombang cahaya yang berbeda, dan waktu proses aktivasi, maka sistem ini berhasil menghasilkan warna batik yang diinginkan.
Pengembangan karya mesin fotonik batik inilah yang kemudian mengantarkan tim mahasiswanya meraih medali perak pada lomba Program Kreativitas Mahasiswa 2016 yang diadakan oleh Kemenristekdikti.
Advertisement
Siapkan Mesin Fotonik untuk Industri Batik
Eko tetap bersemangat melanjutkan riset mesin fotoniknya. Setelah sukses dengan purwarupa kedua, selanjutnya ia dibantu oleh Harris Suwignyo, Amron Naibaho dan Nugroho Hari Wibowo yang juga merupakan mahasiswanya di Teknik Fisika.
Kali ini, Eko dan tim mahasiswanya berhasil mengembangkan sistem fotonik batik yang dapat menggerakkan kain ke dalam mesin secara otomatis menggunakan conveyor. Keberhasilannya ini meningkatkan level kesiapan produksi ke TRL level 7.
Mesin fotonik batik ciptaannya ini, sekarang sudah digunakan oleh PT. Batik Komar yang berlokasi di daerah Bandung. Batik Komar merupakan salah satu produsen batik terbesar yang sudah melakukan ekspor batik hingga ke negara-negara di benua Eropa.
"Karya inovasi mesin fotonik ini tidak lagi hanya dipamerkan, bahkan saat ini sudah digunakan oleh PT. Batik Komar dalam memproduksi batik. Sebagai bukti, untuk musim panas 2018, PT Batik Komar telah mengekspor 3.000 kain batik indigosol ke Eropa, di mana sebagian diproses dengan mesin batik fotonik," ungkapnya.
Cita-cita selanjutnya dari tim Batik Fotonik adalah menaikkan mesin batik Fotonik mencapai TRL 9. Untuk itu Eko Mursito tengah bekerjasama dengan tim dari Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB untuk komersialisasinya, serta tim dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) untuk desain mesin yang lebih ergonomis dan tepat fungsi.
"Semoga upaya ini menjadi salah satu produk teknopreneur nyata dari ITB," harap Eko.