Liputan6.com, Yogyakarta - Dosen UGM meluncurkan dua penemuan untuk menghadapi bencana alam yang sewaktu-waktu bisa terjadi di tanah air. Pertama, aplikasi mobile Gotro yang menginformasikan kondisi posko pengungsi korban bencana. Kedua, sistem peringatan dini longsor bernama Sipendil.
Gotro merupakan kependekan dari Gotong Royong. Sesuai namanya terobosan baru sistem informasi kebencanaan ini memberikan beragam keterangan pengungsi, meliputi usia, jenis kelamin, kondisi, dan jumlah pengungsi. Aplikasi ini juga berisi informasi seperti kebutuhan logistik, tenaga kesehatan dan psikologi, serta donasi.
"Selama ini informasi pengungsi belum tersampaikan dengan baik karena kebanyakan hanya fokus kepada korban," ujar Anggri Setiawan, ketua tim pengembang Gotro, di kantor Humas UGM akhir pekan lalu.
Advertisement
Baca Juga
Gotro dikembangkan dengan tiga sub sistem, yakni Gotro Relawan, Admin, dan Masyarakat. Cara kerja aplikasi ini berawal dari pemutakhiran laporan kondisi posko bencana dari relawan melalui aplikasi Gotro Relawan. Sistem admin memverifikasi laporan itu, sedangkan masyarakat yang mengunduh aplikasi ini bisa memperoleh notifikasi dan jenis bantuan yang dikirim.
Gotro juga memiliki tiga menu utama, yakni informasi bencana, posko, dan donasi.
"Masyarakat bisa mengakses informasi itu dan memberi bantuan sesuai kebutuhan, kami sudah bekerja sama dengan jasa pengiriman untuk memfasilitasi jasa antar bantuan," ucap Anggri.
Kehadiran Gotro dapat melengkapi aplikasi kebencanaan yang sudah ada, terutama untuk mendukung manajemen tanggap darurat berbasis masyarakat yang lebih efektif dan efisien. Menurut Anggri, kebutuhan para pengungsi sangat dinamis dan logistik yang tersedia belum mengakomodasi keperluan korban bencana.
Gotro telah dirilis dalam Pertemuan Imiah Tahunan Ikatan Ahli Bencana ke-5 di Padang pada awal Mei lalu. Pada acara yang dihadiri Presiden Jokowi itu, Gotro mengukuhkan diri menjadi aplikasi mobile kebencanaan pertama terkait kondisi posko pengungsi.
Aplikasi Gotro bisa diunduh secara gratis lewat Google Play Store. Ia berharap aplikasi ini bisa membantu posko pengungsian yang luput dari pemberitaan media massa supaya pendistribusian logistik bagi pengungsi korban [bencana]( 3506863 "") berlangsung efektif.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Â
Sipendil Memanfaatkan Ambang Batas Hujan
Sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) bencana tanah longsor bernama Sipendil bekerja berdasarkan ambang batas hujan. Alat ini dikembangkan oleh sekelompok peneliti Fakultas Geografi UGM.
Rangkaian alat ini berupa komponen sederhana yang mudah diperoleh di toko elektronik dan bahan bangunan. Dua komponen utama adalah pipa penampung air hujan dan box controller. Pada box controller terdapat sejumlah komponen seperti kran pelimpah, lampu LED, threshold controller, dan power.
Dalam penggunaan sistem peringatan dini ini, tabung harus kosong setiap pagi hari dengan membuka kran pelimpah dan mencatat volume air yang tertampung.
"Catatan ini bermanfaat sebagai penentu nilai ambang batas hujan untuk longsor," ujar Nugroho Christianto, dosen Fakultas Geografi UGM.
Ide pembuatan alat ini berawal pada 2013 ketika masyarakat Sitieng, Kejajar, dan Wonosobo merasa khawatir terancam tanah longsor. Kini, lebih dari 40 titik di Temanggung, Wonosobo, dan Banjarnegara sudah terpasang Sipendil.
Â
Advertisement
Cara Kerja Mudah Dipahami
Cara kerja Sipendil mudah dipahami. Apabila curah hujan yang tertampung pada tabung penampungan melewati ambang batas, maka alarm atau sirine berbunyi sebagai peringatan kepada warga setempat.
Pengaturan nilai ambang batas dilakukan melalui threshold controller dan Sipendil bisa diset pada ambang batas 55, 60, 65, 70, 75, dan 80 milimeter. Sistem peringatan dini ini juga dilengkapi lampu LED yang menyala ketika curah hujan melebihi ambang batas.
"Lampu LED ini akan menyala saat curah hujan melebihi ambang batas sehingga masyarakat dengan gangguan pendengaran bisa mengetahui jika ada peringatan," ucap Nugroho.
Sipendil tidak bekerja sendiri sebab sistem ini juga membutuhkan data pendukung rekam jejak kejadian longsor dan curah hujan yang pernah terjadi di satu wilayah. Data itu akan menghasilkan korelasi antara curah hujan dan longsor sebagai penentu ambang batas kemampuan tanah untuk merespons curah hujan maksimal.
Itulah sebabnya Sipendil terdiri dari rentang ukuran ambang batas hujan yang bisa diset dan disesuaikan kondisi di satu wilayah.
Nugroho juga menyatakan alat ini bukan penentu keputusan utama. Kebijakan atau langkah yang ditempuh selanjutnya bergantung kepada pemegang kebijakan di wilayah itu.
"Misal setelah alarm berbunyi apa yang akan dilakukan, menyuruh mengungsi atau mengecek lebih dulu, terserah pemenang kebijakan di wilayah itu," tuturnya.
Sipendil telah diproduksi massal dan dipasarkan dengan harga Rp 1,5 juta per unit. Tim peneliti juga membuka layanan bagi masyarakat yang menginginkan bimbingan untuk mengembangkan alat ini.