Liputan6.com, Yogyakarta - Kehadiran rasa manis yang dominan dalam masakan Jawa memiliki akar sejarah yang terkait dengan kebijakan kolonial Belanda pada abad ke-19. Kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1831 tidak hanya mengubah lanskap pertanian Jawa, tetapi juga membentuk karakteristik kuliner yang bertahan hingga saat ini.
Mengutip dari berbagai sumber, krisis keuangan yang melanda pemerintah Hindia Belanda pasca perang Diponegoro menjadi titik balik dalam sejarah kuliner Jawa. Van Den Bosch, yang saat itu menghadapi permasalahan keuangan, mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan petani di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta menanam tebu secara masif untuk kepentingan ekspor.
Selama sembilan tahun masa tanam paksa, lahan pertanian di Jawa didominasi oleh tanaman tebu. Kondisi ini secara tidak langsung memaksa masyarakat lokal untuk beradaptasi dengan ketersediaan bahan baku yang ada.
Advertisement
Baca Juga
Gula, sebagai hasil olahan tebu, menjadi bahan yang mudah didapat dan akhirnya terintegrasi ke dalam pola masak masyarakat Jawa. Berbagai hidangan tradisional Jawa mulai mengadopsi penggunaan gula sebagai bahan utama.
Nasi gandul, yang merupakan makanan khas Pati, menggunakan kuah manis sebagai ciri khasnya. Selat solo, hidangan warisan kolonial, juga mengedepankan perpaduan rasa manis dalam bumbu-bumbunya.
Bahkan soto, yang dikenal sebagai sup tradisional, di wilayah Jawa sering ditambahkan kecap manis untuk memperkaya rasanya. Transformasi kuliner ini tidak terbatas pada makanan utama saja.
Minuman tradisional Jawa seperti wedang ronde, wedang uwuh, dan berbagai jenis jamu juga menggunakan gula sebagai komponen penting. Penggunaan gula dalam minuman tradisional ini bahkan banyak yang meyakini memiliki fungsi medis dalam pengobatan tradisional Jawa.
Pola konsumsi yang terbentuk selama era tanam paksa ini kemudian mengakar kuat dalam budaya Jawa. Generasi ke generasi mewarisi preferensi rasa manis ini melalui resep-resep yang diturunkan dalam keluarga.
Penulis: Ade Yofi Faidzun