Potret Perjalanan Tato Masyarakat Iban di Los Tjihapit

Bagi komunitas imasyarakat Iban, tato memiliki makna hakiki yang menggambarkan status sosial, juga memuat perjalanan hidup seseorang.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 11 Sep 2018, 00:00 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2018, 00:00 WIB
Pameran foto Dayak Iban
Pameran foto Dayak Iban di Los Tjihapit. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Tato pada masyarakat Dayak Iban di Kalimantan, bukan sebatas aksesoris tubuh semata. Bagi komunitas ini, tato memiliki makna hakiki yang menggambarkan status sosial, juga memuat perjalanan hidup seseorang.

Hal itulah yang coba dituangkan dalam Pameran Foto Tato Iban di Los Tjihapit, Kota Bandung, Jawa Barat. Foto mengenai tato masyarakat tersebut merupakan karya Fotografer asal Malang, Bonfilio Yosafat (23).

Karya mahasiswa Jurusan Fotografi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut berlangsung sejak Kamis (6/9/2018) lalu dan akan dibuka hingga 6 Oktober mendatang. Berbagai foto dokumentasi pada pameran kali ini terdiri dari bagian spiritual, berburu, keseharian, keluarga dan portrait.

Bonfilio mengungkapkan, pameran foto ini sedianya merupakan hasil ekspedisi yang ia lakukan di Rumah Betang Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Seni rajah tubuh yang dianggap sebagian orang sebagai hal yang tabu, kata dia, kini telah menjadi suatu gaya hidup yang berkembang di dalam masyarakat. Namun, tak banyak yang berani mengungkap bahwa tato sudah lahir dari kebudayaan masyarakat.

"Yang pertama, aku ingin membuktikan bahwa Indonesia itu punya budaya tato. Maksudnya agar ini tidak serta merta menjadi stigma orang kalau ngomongin tato itu kriminal," kata Bonfilio, Sabtu (8/9/2018).

Hasil ekspedisinya pada 2017 lalu di Sungai Utik, banyak masyarakat adat terutama sudah tak bertato.

"Tato di sana hampir punah karena tidak ada regenarasi. Karena dengan bertato ada anggapan tak punya masa depan. Keinginannya sederhana, ingin jadi PNS tapi ketika berato itu tidak boleh. Sehingga mereka memilih untuk tidak bertato," ujarnya.

Selama berada di Sungai Utik, pria yang karib disapa Bonbon bersama rekannya melakukan pengamatan dan perekaman melalui media fotografi dan video. Ia merekam berkenaan dengan aktivitas masyarakat, keadaan alam dan kondisi rumah betang, khususnya perekaman budaya bertato Dayak Iban.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Mencari Keseimbangan

Pameran foto Dayak Iban
Pameran foto Dayak Iban di Los Tjihapit. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Wujud pameran foto ini adalah upayanya dalam menerjemahkan dan menyampaikan realita perkembangan rajah dan kehidupan suku Dayak Iban. Ia menjelaskan perkembangan sejarah tato yang mulai bergeser dari era mengayau, berjalai hingga kini yang modern.

Menurut dia, tato pada suku Dayak Iban pada awalnya dapat menunjukkan status atau kelas sosial seseorang, apakah seorang perantau atau kesatria misalnya. Dalam budaya Suku Dayak Iban sendiri, motif seni rajah memiliki arti yang berbeda-beda, bahkan pembuatan dan peletakannya tak boleh dilakukan sembarangan.

Tujuan pembuatan tato tradisional ini pun beragam, mulai dari penangkal hal buruk hingga penghargaan dan peringatan atas suatu momen.

Seiring waktu, pembuatan tato masyarakat di sana tidak lagi dilatari hal demikian. Semangat mengusung kebudayaan tato Iban adalah konteks yang sedang diperjuangkan masyarakat Iban saat ini. Selain foto, Bonbon juga membuat film dokumenter dan buku foto.

"Jadi ini makanya saya buktikan lewat film, wawancara, rekaman, foto dan buku yang nantinya bisa dilihatkan ke semua orang. Masyarakat apapun, suku apapun yang akhirnya bisa tahu, bisa sama-sama saling mencintai dan menjaga kebudayaan kita," jelasnya.

Sementara kurator pameran, Sandi Jaya Saputra menyebutkan, tato pada masyarakat Iban punya makna yang luar biasa.

"Bila diperhatikan posisi tato dengan motif bunga terong yang berada di pundak, khususnya laki-laki adalah makna keseimbangan dan spiritualitas suku Iban," kata Sandi.

Ia melihat karya Bonfilio menarik secara narasi yang disampaikan. Dari segi proses, kata dia, Bonfilio melakukan riset terlebih dulu sebelum mengeksekusi hal-hal secara teknik fotografi dokumenter.

"Lahirnya dokumenter pada awalnya, fotogeafer ingin menakulkan visual bawa ke kota dan orang lain belum pernah lihat. Lalu secara keseluruhan dilihat proses karyanya cukup mendalam," ungkapnya.

"Menariknya, biasanya fotografer masuk ke suku pedalaman datang dengan gift atau uang. Bonbon datang justru membawa salib. Dengan pendekatan salib jadi cukup menarik di mana dia menempatkan manusia pada tempatnya bukan sebagai objek eksploitasi visual," sambungnya.

Sandi menambahkan, foto dokumentasi Bonfilio pada pameran kali ini terdiri dari bagian spiritual, berburu, keseharian, keluarga dan portrait.

"Apa yang ditampilkan merupakan usaha untuk menyeimbangkan narasi yang dibangun modernitas," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya