Cerita Tiga Batu Ajaib di Batusangkar

Objek wisata sejarah berupa batu ini hanya dapat ditemui di Kota Batu Sangkar Sumatera Barat. Tiga batu ini memiliki sejarah menarik untuk diketahui.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 01 Des 2018, 05:04 WIB
Diterbitkan 01 Des 2018, 05:04 WIB
Menikmati Ragam Atraksi Budaya Minankabau di Pagaruyung Fair 2015
Berbagai lomba dan acara seni budaya khas Sumatra Barat akan digelar pada Pagaruyung Fair 2015.

Liputan6.com, Batusangkar - Sumatera Barat (Sumbar) tak hanya dikenal dari kelezatan rendangnya. Cerita legendanya pun eksis di kalangan masyarakat, salah satunya Batu Malin Kundang. Kisah Malin Kundang dan ibunya dipakai sebagai bahan ajar kepada anak, agar tidak durhaka kepada orang tua. Ternyata selain Batu Malin Kundang ada tiga batu lain yang hanya terdapat di Sumatera Barat.

Beda halnya dari Batu Malin kundang, yang berawal dari kutukan. Tiga batu ini terdapat di Kota Batusangkar, memiliki latar belakang yang menarik.

Batu Basurek

Basurek artinya ditulis, dikatakan Batu Basurek karena di atas batu ini terdapat tulisan. Batu ini ditulis menggunakan tulisan Jawa kuno dengan bahasa Sansekerta. Berukuran lebar 25 cm, tinggi 80 cm dengan ketebalan 10 cm serta berat sekitar 50 kg.

Batu ini pertama kali ditemukan oleh pakar sejarah dari Belanda bernama P.H Van Hengst pada 16 Desember 1880.

Terletak di atas makam Raja Adityawarman, prasasti ini menceritakan kerajaan Pagaruyung di masa Raja Adityawarman. Objek wisata sejarah ini terletak di Desa Kubu Rajo, Nagari Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Batusangkar.

Meski belum diketahui siapa penulis batu tersebut, ukiran ini telah menjelaskan kemakmuran Kerajaan Pagaruyuang di masa lalu.

Namun, prasasti ini tidak memberikan informasi mengenai batasan wilayah kekuasaan Raja Adityawarman. Apakah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung mencakup wilayah seluruh Minangkabau, atau hanya sebatas Batu Sangkar. Jika diteliti lebih dalam, raja-raja dari kerajaan Sumatera Barat bergaris keturunan dari Kerajaan Pagaruyung.

Menurut salah seorang pengunjung makam Raja Adityawarman Dina Aulia, prasasti yang terdapat di atas makam Raja Adityawarman terlihat elok, meskipun kebanyakan orang tidak paham dengan tulisannya.

"Kita enggak tahu cara baca tulisannya, tapi ketika mendengar penjelasan tentang batu ini, timbul rasa ingin mengenal objek wisata sejarah ini lebih dalam," jelas Dina yang baru sekali berkunjung ke makam ini.

Batu Seperti Cangkang Kura-kura, Bisa Meramal

Batu Angkek-angkek

Dalam bahasa Indonesia angkek berarti angkat. Batu angkek-angkek ini terdapat di Nagari Balai Tabuh, Sungayang, Tanah Datar, Batu Sangkar, Sumatera Barat.

Batu Angkek-angkek sekilas terlihat seperti cangkang kura-kura. Berwarna kuning kecokelatan, tepinya sedikit megelupas hitam. Meskipun bentuknya tidak terlalu menarik, batu ini memiliki kesaktian yang diakui banyak kalangan.

Dengan mengangkat benda ini ke atas pangkuan, seseorang dapat mengetahui keinginannya akan terkabul atau tidak. Jika berhasil mengangkatnya, maka keinginan akan terwujud. Sebaliknya jika tidak bisa, maka pupus sudah harapan akan terkabul. Sejarahnya batu ini ditemukan oleh Datuak Bandaro Kayo, saat memasang tonggak rumah. Ketika batu itu ditemukan berbagai keanehan terjadi, mulai dari gempa bumi lokal hingga hujan deras selama 14 hari 14 malam.

Melihat kejadian alam seperti ini warga kampung mengadakan musyawarah. Ketika rapat berlangsung, masyarakat dikejutkan dengan suara yang tiba-tiba terdengar, dari lubang tempat pemasangan tonggak rumah Datuak Bandaro Kayo.

Suara itu mengatakan ada sebuah batu di dalam lubang tonggak rumah, batu itu bernama Batu Pandapatan. Suara itu juga berpesan untuk menjaga batu tersebut dengan baik.

Setelah delapan keturunan berlalu, batu Angkek-angkek kini masih menyimpan teka-teki. Sebelum mengangkat batu ini ke atas pangkuan, ada beberapa hal yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu berwudhu, membaca niat dan berdoa. Batu peramal itu kini disimpan di Rumah Gadang Datuak Bandaro Kayo. Pengunjung tidak dipungut biaya untuk masuk dan mengangkat batu tersebut. Hanya saja wajib memberi suvenir yang disediakan, seharga 10 ribu Rupiah.

Salah seorang pemuda Kabupaten Tanah Datar, Robi Ilham, menuturkan bahwa di masa kecilnya, ia pernah mendengar cerita tentang batu ajaib ini. Batu Angkek-angkek bisa mengetahui, terkabul atau tidaknya keinginan seseorang. "Jika berhasil mengangkat batunya, maka keinginan kita akan terkabul. Kata orang begitu," ujar Robi.

Batu Menjadi Korban Perkelahian

Batu Batikam

Batu batikam artinya batu yang ditusuk, objek wisata sejarah ini terdapat di Jorong Dusun Tuo, Nagari Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Batusangkar, Sumatera Barat. Menurut ceritanya batu ini ditikam oleh dua laki-laki bersaudara, yaitu Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan.

Ke dua datuak ini terlahir dari rahim ibu yang sama namun ayah mereka berbeda. Ayah dari Datuak Parpatiah Nan Sabatang merupakan seorang yang cerdas dan berbudi tinggi. Sedangkan ayah dari Datuak Katumanggungan adalah orang kaya raya.

Memilki ayah dengan latar belakang berbeda menjadikan mereka memiliki nilai pandang tersendiri atas perkara yang terjadi.

Memandang status masyarakat misalnya, Datuak Parpatih berpendapat bahwa masayarakat diatur secara demokrasi. "Duduk sama rendah, bediri sama tinggi". Kesetaraan tidak ada perbedaan kasta antara anggota kerajaan dan masyarakat biasa.

Sedangkan Datuak Katumanggungan berpandangan rakyat lebih baik diatur sesuai strata. Berjenjang sama naik, bertangga sama turun. Menurut aturan dan aturan sewajarnya.

Karena selisih paham inilah dua bersaudara Datuak Parpatih Nansabatang dan Datuak Katumanggungan berdebat, karena takut saling melukai mereka melampiaskan kemarahan dengan menusukkan keris ke sebuah batu dari arah berlawanan, hingga batu itu berlubang. Batu itulah yang sampai kini dikenal sebagai Batu Batikam.

Hingga saat ini, peristiwa perkelahian Datuak Parpatih Nansabatang dengan saudaranya Datuak Katumanggungan menjadi teladan bagi masyarakat sekitar. Salah seorang warga Batusangkar Elwardi mengatakan, ia selalu menceritakan kisah dua saudara ini kepada anak-anaknya.

Walaupun tengah berselisih paham, mereka tetap tak ingin melukai saudaranya. "Mereka melampiaskan kemarahannya pada benda lain, agar saudaranya tidak terluka dan amarahnya pun bisa reda," ujar bapak kelahiran 1967 ini.

"Walau kita sedang berselesih paham dengan saudara, tapi harus ingat kita tidak boleh menyakitinya," kata Elwardi kepada anak-anaknya. (Miftahul Jannah)

Saksikan video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya