Liputan6.com, Banyumas - Dataran rendah, apalagi dekat dengan pantai berarti banjir. Rumah hingga lahan pertanian pun menjadi langganan rendaman.
Bagi manusia, banjir memang merepotkan. Namun, ia masih bisa mengungsi. Pun dengan hewan ternak yang bisa saja turut dievakuasi jika rendaman sudah terlampau tinggi dan membahayakan.
Namun, beda cerita jika tanaman terendam. Padi terendam misalnya, tak mungkin dipindah.
Advertisement
Jika rendaman kurang dari dua hari, barangkali tanaman padi masih bertahan. Akan tetapi, jika rendaman lebih dari tiga hari, tanaman pun mati.
Baca Juga
Celakanya, di dataran rendah, saat turun hujan lebat air sungguh sulit keluar ke muara. Sebab, di beberapa wilayah, permukaan tanah sama dengan permukaan laut.
Bahkan ada titik di mana permukiman penduduk dan sawahnya lebih rendah dari permukaan laut. Salah satunya di desa Nusadadi dan Karanggedang Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah.
Banjir dan terendamnya padi petani sudah menjadi langganan nyaris tiap tahun. Sebab, di desa ini ada 50 hektare sawah yang menyerupai rawa dan merupakan langganan banjir
Untuk mengantisipasi rendaman tanaman padi itu, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah menguji coba teknologi sawah apung.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Banyumas, Widiarso mengatakan uji coba dilakukan di lahan terbatas di sawah sekitar UPTD PUPR Sumpiuh. Banjir dan padi terendam kerap terjadi di wilayah ini.
Cara Pembuatan Sawah Apung
Sistem ini diklaim cocok untuk daerah rendaman, seperti di Karanggedang dan Nusadadi yang merupakan daerah banjir rendaman.
Biasanya, petani di dua desa menanam benih umur tua agar tahan rendaman. Akibatnya, anakan padi tak banyak. Produktifitas tanaman pun rendah.
"Karena melihat di sana banyak genangan, dan memang ada teknologi sawah apung," ucapnya, Jumat, 4 Januari 2019.
Teknik sawah apung secara sederhana adalah menanam sawah pada semacam pot kotak besar yang mengapung. Petakan ini dibuat dengan bahan seadanya.
Petak ukuran tertentu dibuat dengan kerangka bambu utuh. Bambu utuh ini lah yang bisa mengapung.
Lantas, di tengah petak ditaruh semacam jaring untuk menahan dedaunan ringan yang bisa mengapung. Salah satunya eceng gondok yang secara natural memiliki batang yang mengapung di atas permukaan air.
Sebagai media tanam, Di atas dedaunan dan sampah itu diberi lumpur sawah. Dan petak apung ini pun bisa ditanami padi, seperti menanam di sawah pada umumnya.
"Jadi ya, membuat kotakan ukuran tertentu, diberi bahan-bahan, ada tanah. Yang itu, kotakan di lahan itu bisa naik turun mengapung sesuai dengan ketinggian airnya," dia menerangkan.
Lantaran masih dalam tahap uji coba, ia belum bisa memperediksi produktifitas sawah apung. Begitu pun dengan efektifitas sawah apung ini, termasuk jumah biayanya.
Namun, dari studi banding ke Banjarpatroman dan Pangandaran, Jawa Barat, yang telah mengaplikasikan sawah apung ini, hasilnya, cukup baik.
"Banjar dan Pangandaran itu kan identik dengan rendaman. Di sana sudah diaplikasikan," ujarnya.
Jika uji coba sawah apung ini berhasil, Widiarso berencana akan mengaplikasikan di kawasan yang lebih luas. Kemudian, teknologi ini akan diaplikasikan secara massal di wilayah yang rawan rendaman.
"Kita nanti juga lihat respon petani. Apakah akan mengaplikasikan sistem seperti ini apa tidak," dia menambahkan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement