Liputan6.com, Solo - Pemerintah Kota (Pemkot) Solo memutuskan mengubah mosaik yang disebut mirip salib di Jalan Jenderal Sudirman depan Balai Kota Solo. Keputusan itu diambil untuk meredam penolakan yang muncul dari sebagian kalangan masyarakat.
Sebelumnya ratusan orang yang menggelar demo di depan Balai Kota Solo untuk menuntut penghapusan mosaik tersebut. Aksi demo tersebut diikuti massa dari berbagai elemen umat Muslim yang tergabung dalam Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) dan Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS).
Dalam aksinya, mereka membawa berbagai poster yang bertuliskan penolakan mosaik mirip salin dalam penataan koridor Jenderal Sudirman. Selain itu para peserta aksi juga membawa foto mosaik yang disebut menyerupai salib.
Advertisement
Baca Juga
Jubir DSKS, Endro Sudarsono mengatakan keberadaan mosaik yang ada di Tugu Pemandengan itu bentuknya mirip dengan salib. Bahkan, foto yang menunjukkan mosaik dari atas pun menyebar dan viral di media sosial sehingga menyebabkan sejumlah warga pun resah. Pasalnya, bentuk mosaik itu mirip dengan simbol salib.
“Setelah kami pastikan bahwa mosaik itu seperti salib, kami putuskan untuk turun menyampaikan kepada wali kota soal mosaik itu,” kata dia di depan Balai Kota Solo, Jumat, 18 Januari 2019.
Pemkot Solo Responsif
Meski demikian, ia mengaku telah melakukan pertemuan dengan pihak Pemkot Solo yang difasilitasi MUI dan FKUB pada Jumat pagi. Berbagai masukan pun disampaikan kepada pihak Pemkot Solo terkait keberadaan mosaik salib di Jalan Jenderal Sudirman Solo.
“Tadi pagi dalam pertemuan dengan Pemkot, Pak Subari (MUI) meminta supaya dicat dan ternyata sekarang direalisasi dengan dicat,” ujarnya.
Menurut Endro, saat ini yang sudah dicat itu bagian selatan Tugu Pemandengan. Adanya respon yang cepat dari Pemkot Solo, ia pun mengaku kalangan ormas Islam dan sebagian umat Kristiani merasa sedikit terobati. Hanya saja kedepannya, harus ada solusi permanen yang disampaikan ke public terkait mosaik tersebut.
“Minimal ini pemerintah kota sudah merespon dengan mengeblok cat sehingga sudah tidak mirip dengan salib lagi. Kita juga berharap agar perseni dengan baris itu diputus dan ada harapan ujungnya lancip,” tuturnya.
Sementara itu Wakil Wali Kota Solo, Achmad Purnomo mengatakan proyek pembangunan belum jadi sehingga untuk sementara diambil keputusan dengan mengecat supaya kesan yang kelihatan seperti salib itu hilang. Hal tersebut merupakan bagian dari solusi supaya mosaik delapan arah penjuru mata angin itu tidak diartikan bentuknya mirip salib.
“Sebetulnya solusinya sangat mudah dengan mengganti warna cagak merah di selatan itu dan bentuk seperti salib sudah hilang. Dengan diganti warna sudah selesai,” ujarnya.
Advertisement
Desain Belum Bisa Diubah
Dengan pengecatan tersebut, menurut Purnomo, kini wujud mosaik di sekitar Tugu Pemandengan itu bisa diartikan seperti bunga dan delapan arah penjuru mata angin. Persepsi tersebut muncul tergantung dari sudut pandang yang melihatnya.
“Bisa diartikan lain-lain lah setelah dicat. Ini bukan yang prinsip dan mudah sekali dicari jalan keluarnya,” tuturnya.
Sedangkan terkait perubahan desain, ia mengaku belum bisa diputuskan. Pasalnya, proyek pembangunan penataan kawasan tersebut belum selesai. Alhasil langkah yang baru bisa diambil hanya dengan mengubah warna.
“Kalau hanya mengubah warna mungkin sebentar saja dicat selesa. Tetapi kalu mengganti tegelnya belum bisa karena ini proyek yang belum diselesaikan jadi masih menunggu keputusan. Apalagi pengerjaan proyek ini harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku,” tegasnya.
Jaga Kondusifitas Kota Solo
Purnomo mengatakan berdasarkan dari keterangan yang disampaikan pihak perencana bahwa simbol salin itu tidak ada dalam desainnya. Bahkan, ia kembali menegaskan seperti yang perkataan Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo bahwa sebagai wali kota tidak sedikit pun mempunyai rencana gambar dalam perencanaan penataan kawasan itu.
“Jika bentuknya salib, yang marah pertama justru saya karena itu simbol agama saya. Simbol yang seharusnya saya agung-agungkan diinjak-injak bus, kendaran, bahkan kena tletong (kotoran kuda) setiap hari. Justru saya yang nggak terima,” kata dia menirukan ucapan Wali Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo.
Oleh sebab itu, ia pun berharap kepada semuanya untuk mengedepankan musyawarah bersama dan dipikiran bersama jika terdapat persoalan. Jangan sampai gara-gara berbeda pendapat berdampak terhadap terjadinya permusuhan.
“Jangan sampai hal seperti ini yang jalan kelaurga sangat mudah membuat kita berbeda pendapat, bermusuhan dan tidak satu dalam kebersamaan dalam menjaga Kota Solo yang dicintai ini,” harapnya.
Advertisement