Liputan6.com, Garut - Jalanan licin setapak yang membasahi pesawahan Kampung Tegalkalapa, Desa Sukasenang, Kecamatan Banyuresmi, Garut, Jawa Barat, tak menghalangi tekad sembilan siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Huda, berjalan mendekati bibir sungai Cimanuk tempat rakit bambu bersandar.
Meskipun debit air sungai naik akibat hujan yang turun petang sebelumnya, namun dengan beralasakan telanjang kaki, mereka tetap naik ke atas rakit yang telah disediakan Rizal (22) untuk melanjutkan sekolah. Sebuah pemandangan mengenaskan akibat tidak adanya akses jembatan di sana.
Dikri (13), salah satu siswa MI Nurul Huda yang selalu menggunakan jasa rakit warga sekitar mengaku, perjalanan menggunakan rakit terpaksa ditempuh untuk memangkas, jauhnya perjalanan menuju sekolah mereka.
Advertisement
“Di Pananggungan sebenarnya ada sekolah, tapi cukup jauh, jadi akhirnya memilih (sekolah) di Nurul Huda,” ujarnya Senin (28/1/2019).
Upaya potong kompas yang ditempuh Dikri bukan tanpa alasan, meskipun cukup berbahaya karena harus menggunakan rakit setiap hari. Namun cepatnya waktu yang ia tempuh hanya sekitar 10 menit, membuat resiko itu diambil.
“Kalau lewat jalan minimal 30 menit, ongkosnya pun mahal, minimal Rp 15 ribu sekali jalan,” papar dia.
Baca Juga
Bahkan kondisi itu bisa lebih buruk dengan bolos sekolah, saat rakit yang biasa mereka gunakan rusak atau terbawa arus sungai hingga beberapa meter dari lokasi semula. Saat hujan tiba, selain basah kuup membasahi baju mereka, juga debit air sungai besar siap menghampiri sungai Cimanuk, hingga akhirnya menggunakan jalur lain yang jaraknya bisa tiga kali lipat lebih jauh.
“Tapi gak masalah yang penting bisa sekolah. Saya berharap ada jembatan biar enggak muter jauh kalau sungainya lagi besar,” pinta dia berharap pemerintah segera memberikan perhatian.
Kondisi serupa dialami Muhammad Dafa (11), rekan seperjuangan Dikri menambahkan, selain lebih efektif dari segi waktu dan jarak, juga ongkos yang diminta penyedia jasa rakit, terbilang murah meriah. “Sebenarnya tidak dipatok, tapi biasanya bayar Rp 1000,” ungkap dia sambil tersenyum dengan polosnya.
Akibat tidak adanya akses yang menghubungkan dua kecamatan itu, tak jarang ia bersama rekan sejawatnya, terpaksa meliburkan sekolah saat tukang rakit memilih libur, akibat debit air yang cukup besar.
“Pernah saat mau nyebrang, rakitnya terbawa sungai, akhirnya bolos menunggu rakitnya dibenerin, kalau lewat Copong minimal habis Rp 30 ribu untuk ongkos bolak balik itu,” papar dia.
Dengan kondisi itu, ia berharap pemerintah segera turun tangan membangun jembatan penghubung Kampung Pananggungan dan Kampung Tegalkalapa itu. “Kebutuhan warga terhadap jembatan sangat besar sekali,” ujar siswa kelas 5 MI Nurul Huda itu.
Pmerintah Diminta Segara Turun Tangan
Ketiadaan jembatan penghubung itu, membuat warga kedua desa itu meradang. Odin, Ketua RT 1 RW 4, Kampung Tegalkalapa, Desa Sukasenang, Kecamatan Banyuresmi mengungkapkan kekhawatiran sekaligus kekesalannya, akibat tidak adanya perhatian dari pemerintah.
“Bayangkan saat mau sekolah, mereka terlebih dahulu harus menyebrangi sungai cukup besar, dan hanya menggunakan rakit bambu sangat sederhana,” ungkap dia.
Fasilitas rakit bambu sederhana yang tersedia, memang satu-satu akses sekaligus fasilitas yang digunakan warga di kedua desa untuk melaksanakan aktifitasnya. Menyebarangi sungai selebar 30 meter itu, dianggap jalan pintas, dibanding akses jalan darat. “Ini (rakit) cukup beresiko dan berbahaya bagi kesemalatan jiwa,” ujar dia mengingatkan.
Khusus pelajar ujar dia, mereka terpaksa melintasi sungai dengan rakit, akibat dekatnya jarak dengan sekolah yang mereka tuju selama ini. “Jaraknya cukup dekat, paling sekitar 500 meter, sedangkan jika menggunakan jalur lain, minimal ongkos Rp 30 ribu pulang pergi,” papar dia.
Keluhan serupa disampaikan Kepala Desa Sukasenang Iwan Ridwan. Menurutnya, kehadiran jembatan yang bisa menghubungkan dua desa di dua kecamatan itu, sangat bermanfaat bagi masyarakat. Selain lebih singkat, juga lebih murah.
“Sangat berbahaya jika harus tiap hari menggunakan rakit, terlebih akhir-akhir ini debit air kerap naik dan deras dari hulu sungai Cimanuk akibat hujan,” ujar dia.
Namun meskipun demikian, sambil menunggu adanya perhatian pemerintah daerah Garut, ia pun tak segan mengajak dan meminta pihak lain untuk memberikan bantuannya, sehingga kehadiran jembatan bisa dirasakan masyarakat.
“Kami pun selalu mengintruksikan kepada warga sekitar agar saling mengawasi setiap warga yang melintas, untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan,” kata dia.
Advertisement