Liputan6.com, Banjarnegara - Dataran Tinggi Dieng tak hanya dikenal dengan keindahan dan keunikan alamnya. Beragam produk pertaniannya pun memiliki ciri khas yang tak ditemui di wilayah lain.
Sebut saja carica (karika), sejenis pepaya yang kerap diolah menjadi manisan atau minuman segar. Ada lagi purwaceng, tumbuhan yang dipercaya memunculkan efek viagra dan diyakini hanya tumbuh baik di Dieng yang berada di ketinggian rata-rata kisaran 2.000 mdpl.
Saking spesifiknya lokasi, kentang yang sebenarnya juga lazim ditanam di daerah lain menjadi komoditas unggulan ketika ditanam di Dieng. Kemudian, kentang jenis ini dikenal sebagai kentang Dieng.
Advertisement
Baca Juga
Secara ringkas, kentang Dieng berukuran lebih besar dibanding kentang wilayah lain. Daging berwarna kuning keemasan. Rasa dan tekstur umbinya juga lembut dan manis. Beberapa karakter unggul ini membuat kentang Dieng berharga lebih mahal dibanding kentang biasa.
Akan tetapi, itu dulu. Kini, harga kentang Dieng semakin jatuh. Harga kentang Dieng yang normalnya di atas Rp 10 ribu per kilogram dari petani, kini turun lebih dari separuhnya dan hanya dihargai Rp 4.800 per kilogram. Mudasir menduga, kentang impor menyebabkan harga anjlok.
“Februari malah Rp 4.500. Kemarin ada teman yang panen, harganya ada yang Rp 5.000 dan ada yang Rp 4.800,” kata Ketua Asosiasi Petani Kentang Dieng, Muhammad Mudasir, Minggu, 25 Maret 2019.
Dia mengatakan, harga kentang Dieng terus jatuh sejak empat bulan terahir. Secara berangsur, harga kentang Dieng turun mulai dari Rp 7.000 per kilogram dan terus turun dalam empat bulan terakhir. Petani pun semakin terpuruk.
Pasalnya, harga ekonomis atau BEP kentang Dieng mestinya lebih dari Rp 7.000 per kilogram. Sebab, harga pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja terus menanjak.
Biaya Tanam Semakin Mencekik
Modal penanaman per hektare kentang semakin tinggi. Saat ini, tiap hektare tanaman kentang membutuhkan antara Rp 90 – 110 juta. Melonjaknya biaya terutama pada biaya obat-obatan atau pestisida yang kini semakin tinggi.
“Angka minimal untuk kembali modal itu untuk di sini harus Rp 7.000 per kilogram. Kalau kurang dari Rp 7.000 itu petani jelas-jelas pasti rugi,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, dari luasan lahan satu hektare itu, dalam kondisi optimal petani bisa memanen sebanyak 12-18 ton kentang. Namun, dalam kondisi curah hujan tinggi seperti sekarang, jarang ada lahan yang bisa panen normal.
Seringkali petani hanya menghasilkan antara 9-10 ton kentang. Hal itu dipengaruhi tingginya serangan hama dan penyakit pada musim hujan, seperti busuk daun dan batang.
Untuk mengantisipasi harga yang semakin jatuh, sebagian petani merotasi tanaman kentang menjadi kubis dan wortel. Namun, lantaran banyak petani daerah lain yang juga menanam wortel dan kubis, harganya rendah dan tidak terlalu menguntungkan.
“Sama, wortel dan kubis harganya rendah juga. Karena biasanya panennya bersamaan,” dia menuturkan.
Mudasir mengungkapkan, pada 6 Maret 2019 lalu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian menawarkan program penanaman bawang putih kepada petani kentang Dieng. Rotasi tanaman ke bawang putih itu dilakukan menyusul jatuhnya harga kentang.
Advertisement
Program Tanam Bawang Putih
Namun demikian, petani tak langsung mengiyakan. Hingga saat ini petani masih mempertimbangkan tawaran ini. Pasalnya, bawang putih belum terbukti mampu tumbuh baik di kawasan Dieng.
Dalam pertemuan itu, perwakilan kementerian tersebut menyampaikan, pemerintah saat ini memiliki program penanaman bawang putih. Pemerintah menawari para petani Dieng yang berminat merotasi tanamannya dengan bawang putih.
Menurut dia, tak mudah untuk mengubah budaya pertanian masyarakat yang selama ini telah bergantung dari usaha pertanian kentang. Terlebih, tanaman bawang putih belum teruji keberhasilannya ketika ditanam di dataran tinggi Dieng.
Petani juga belum mengetahui nilai ekonomis tanaman itu jika dibandingkan dengan tanaman kentang. Jika dipaksakan menanam, maka boleh dibilang petani berspekulasi karena belum mengetahui cocok dan tidaknya tanaman bawang putih di Dieng,
Mudasir mengaku pernah mencoba menanam bibit bawang putih sebanyak 10 kilogram yang didapatkannya dari teman. Setelah dirawat selama berbulan-bulan, ia pada akhirnya harus menelan kekecewaan. Hingga usia lima bulan, tanaman itu ternyata tak kunjung berbuah.
"Ada teman yang pernah menanam, saya dikasih. Malah saya tunggu hampir tujuh bulan,” ucapnya.
Mudasir mengemukakan, gagal berbuahnya bawang putih belum tentu lantaran tak cocok dengan tanah atau iklim Dieng. Ia justru meragukan kualitas bibit bawah putih. Ia menduga bibit itu adalah sisa bantuan atau impor.
Sebab, ada pula petani lain yang cukup berhasil ketika menanam bawang putih dengan bibit varietas lokal. Setidaknya ada tiga varietas yang pernah ditanam dengan produksi cukup baik, yakni bawang putih Lumbu Ijo, Lumbu Kuning dan Tawangmangu Baru.
“Ya, kalau pemerintah mau membuat program usahakan bibitnya dari tiga jenis itu,” dia menegaskan.
Saksikan video pilihan berikut ini: