Angka Pernikahan Anak di Gunungkidul Masih Tinggi, Ini Penyebabnya

Sayangnya, angka yang sempat turun selama dua tahun berturut-turut itu kembali meningkat pada tahun lalu.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 09 Jul 2019, 07:00 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2019, 07:00 WIB
Pernikahan Anak
Angka pernikahan anak di Gunungkidul yang relatif masih tinggi mendorong sekelompok mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UAJY untuk menggelar acara bertajuk Srawung di Balai Desa Karangduwet, Paliyan, Gunungkidul, (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Angka pernikahan anak di Gunungkidul yang relatif masih tinggi mendorong sekelompok mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) menggelar acara bertajuk Srawung di Balai Desa Karangduwet, Paliyan, Gunungkidul, Sabtu (6/7/2019).

Kegiatan ini merupakan lanjutan dari kampanye pencegahan pernikahan anak lewat metode pengajian yang digelar pada dua minggu sebelumnya.

Srawung dikemas dalam bentuk talkshow yang mengangkat tema Ngobrolin Dampak Pernikahan Anak dan Solusi Pencegahan. Acara ini menghadirkan sejumlah pembicara, yakni, dokter RS Bedah Adelia dan Puskesmas Banguntapan 2 Aprlia Dwi Iriani, pengusaha muda Yogyakarta Damar Bayu, dan terapis hipnomotivasi Dhimas Badut.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Pengadilan Agama (PA) Gunungkidul, dispensasi pernikahan anak yang dikeluarkan pada 2015 sebanyak 109, kemudian menurun pada 2016 dan 2017 menjadi 85 dan 67. Sayangnya, angka yang sempat turun selama dua tahun berturut-turut itu kembali meningkat pada tahun lalu, yakni sebanyak 79 dispensasi pernikahan anak.

"Dari riset awal kami, ada tiga faktor yang menyebabkan kasus pernikahan anak di Gunungkidul tinggi, yakni agama, budaya, dan ekonomi," ujar Adam Qodar, ketua panitia Srawung.

Faktor agama membuat orangtua beranggapan lebih baik menikahkan anaknya ketimbang si anak berpacaran yang mendekati perbuatan zina. Padahal, si anak belum siap dari segi mental, emosional, psikis, dan ekonomi.

Aspek budaya juga ikut menyumbangkan angka pernikahan anak. Budaya yang dimaksud adalah budaya pergaulan bebas yang tidak hanya terjadi di kota besar, melainkan juga sampai ke pelosok desa. Sedangkan, faktor ekonomi berkaitan dengan tingkat kesejahteraan orangtua.

"Kemiskinan membuat orangtua seolah ikut mendukung pernikahan anak supaya tidak menjadi beban keluarga," ucapnya.

 


Risiko Kehamilan dalam Pernikahan Anak

Pernikahan Anak
Angka pernikahan anak di Gunungkidul yang relatif masih tinggi mendorong sekelompok mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UAJY untuk menggelar acara bertajuk Srawung di Balai Desa Karangduwet, Paliyan, Gunungkidul, (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Menurut April, hamil pada usia sangat muda meningkatkan risiko yang mengancam kesehatan perempuan dan bayinya. Sebab, tubuh perempuan belum siap untuk hamil dan melahirkan.

Ia mengungkapkan perempuan pada usia anak masih tumbuh dan berkembang, sehingga kehamilan justru menghambat tumbuh kembangnya.

Setidaknya, ada empat risiko kehamilan yang kerap muncul karena pernikahan anak, yakni anemia, bayi lahir prematur, tekanan darah tinggi, dan kematian ibu saat melahirkan.

"Dampak lain dari pernikahan anak yakni menyebabkan terganggunya kesehatan psikis atau mental perempuan karena perempuan muda rentan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mereka tidak memiliki pengetahuan bagaimana caranya terbebas dari kekerasan itu," kata April.

Pernikahan anak rentan KDRT karena mereka belum siap secara mental untuk menghadapi persoalan yang muncul. Damar membagikan pengalamannya kepada para peserta acara. Ia adalah pebisnis yang sudah memiliki 15 cabang penjualan es teler di Yogyakarta dan luar daerah.

Menurut Damar, banyak hal positif dan produktif yang bisa dilakukan saat usia muda, misalnya merintis usaha.

"Melalui dunia entrepreneur, anak akan lebih sibuk dengan usaha yang dibangun dan bisa meminimalkan pemikiran untuk ikut pergaulan bebas yang tidak bermanfaat," dia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya