Kata Ulama dan Psikolog soal Maraknya Pencabulan oleh Ayah Kandung di Garut

Stres akibat beban berat hidup menyebabkan orang tua, menyebabkan kelakukan mereka terhadap anak kandungnya berada di luar norma yang berlaku.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 18 Jul 2019, 16:00 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2019, 16:00 WIB
Salah satu pelaku pencabulan nampak lesu, setelah kasusnya diungkap jajaran reskrim polres Garut
Salah satu pelaku pencabulan nampak lesu, setelah kasusnya diungkap jajaran reskrim polres Garut (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut Terungkapnya tiga kasus pencabulan dalam dua pekan terakhir yang dilakukan ayah kandung terhadap putri kandung dan anak tiri di Garut, Jawa Barat, cukup meresahkan semua pihak. Ayah yang seharusnya menjadi anutan, justru menjadi aktor antagonis dalam kasus amoral tersebut.

Seperti diketahui dalam kurun waktu dua pekan terakhir, tiga kasus pencabulan ayah kandung terhadap anak gadisnya mencuat di Garut. Dimulai kasus UR (42) warga Kecamatan Malangbong, Garut, Jawa Barat, yang mencabuli NA (15), buah hatinya hingga melahirkan seorang bayi.

Kemudian, YS (44), kuli bangunan asal Kecamatan Malangbong yang menggauli anaknya hingga hamil tujuh bulan, hingga terbaru AR (32), tega mencabuli Bunga (13), nama samaran, anak tirinya hingga hamil 4 bulan.

Psikolog Klinis Tara de Thouars mengatakan, fenomena terungkapnya kasus inces atau perlakuan cabul karena hubungan sedarah di beberapa daerah, lebih disebabkan persoalan mental.

"Bukan merupakan kasus degradasi moral secara umum, tetapi ini merupakan mental atau jiwa yang bermasalah," ujarnya, Kamis (18/7/2019).

Menurut Tara, kasus inces sebagian besar diakibatkan tekanan atau stres, tanpa kekuatan mental yang memadai.

Akibatnya, saat berada dalam tekanan, misalnya kemiskinan, tekanan pekerjaan, hingga ketidakpuasan hidup lainnya, perilaku seseorang cenderung irasional. "Tidak menggunakan akal sehatnya," kata dia.

Kedua, minimnya empati atau nurani seorang ayah terhadap buah hatinya, sehingga tanpa sebab melakukan perbuatan tak bermoral itu. "Hal itu menunjukkan kemampuan pengendalian diri juga yang buruk," ujarnya.

Meskipun demikian, ada juga faktor lain yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan pencabulan itu. "Mungkin juga adanya trauma di masa lalu untuk pelaku sehingga perilakunya dan cara berpikirnya tidak normal," ujarnya.

Untuk menekan hal itu, ia berharap pemerintah secara berkala melakukan penyuluhan mengenai moralitas, baik dari segi agama, moral, dan psikologi, sehingga memunculkan jiwa yang sehat.

"Perlu adanya intervensi untuk menciptakan keluarga-keluarga yang lebih sehat dan bahagia," pinta dia.

Selain itu, bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, dibutuhkan pembekalan keterampilan, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan bagi mereka.

"Pembekalan mengenai pentingnya berolahraga, soft skill atau hard skill sangat bermanfaat bagi mereka," ujarnya.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Dampak Video Porno

Rektor UNiversitas Garut (Uniga) Abdusy Syakur Amin
Rektor UNiversitas Garut (Uniga) Abdusy Syakur Amin (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Rektor Universitas Garut Abdusy Syakur Amin menilai, meningkatnya kasus pencabulan sedarah atau inces di Garut, laiknya fenomena gunung es yang tengah berlangsung di masyarakat. "Harus ada perhatian serius dari pemerintah,” kata dia.

Menurutnya, kajian pemerintah mengenai ancaman kasus inces masih rendah. Saat ini, kasus asusila yang dilakukan salah seorang anggota keluarga, masih dianggap tabu bagi mayoritas masyarakat.

"Inilah yang harus segera dipecahkan oleh pemerintah, supaya kejadian seperti ini tidak terus muncul," dia berharap.

Syakur menilai, maraknya konten porno menjadi salah satu penyebab terjadinya praktik asusila di masyarakat. "Masalah ekonomi juga bisa jadi pemicunya, jadi kesejahteran masyarakat harus diperhatikan juga oleh pemerintah,” kata dia.

Untuk itu, dibutuhkan gencarnya sosialisasi, serta penyuluhan yang masif terhadap warga, agar mampu menimbulkan sikap empati di antara mereka. "Jadi ketika ada kejadian bisa langsung diantisipasi atau dilaporkan," kata dia.

 


Gagal Faham

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut KH Sirojul Munir
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut KH Sirojul Munir (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut KH Sirodjul Munir mengatakan, munculnya kasus pencabulan sedarah atau inces di Garut menggugah perhatian seluruh masyarakat.

"Ini tindakan keji dan menjijikkan, tindakan penzinahan juga apalagi dilakukan kepada anak kandung itu sudah melanggar berbagai norma," kata dia.

Penanganan kasus itu, ujar dia, membutuhkan perhatian semua pihak, sehingga memberikan solusi jangka panjang bagi masyarakat.

Bahkan, dalam kasus pencabulan yang dilakukan UR (42) warga Kecamatan Malangbong, Garut, Jawa Barat, yang mencabuli NA (15), buah hatinya hingga melahirkan seorang bayi, memunculkan fenomena baru.

Saat itu, pelaku UR berdalih, bahwa tindakan pencabulan yang dilakukannya diperbolehkan menurut syariah dengan merujuk pada surat Al Muminun ayat 5 dan 6.

"Kami akan tabayun dulu kepada pelaku perihal pernyataan itu. Karena kami melihat pemahaman pelaku dalam ayat itu salah dan juga ada pergeseran makna ayat juga," kata dia.

Dalam kedua ayat itu ujar Munir, memang ditemukan adanya istilah budak, tetapi bukan ditujukan kepada anak sendiri. "Budak di situ bukan anak kandung melainkan orang lain yang waktu itu bisa dibeli," ujarnya.

Bahkan, jika pelaku bersikukuh mempertahankan pendapatnya mengenai tafsir ayat itu, lembaganya akan memperkarakan dengan pasal penistaan agama. "Hukumannya sekitar 2 tahunan," kata dia.

Dengan terungkapnya sejumlah kasus inces di Garut saat ini, lembaganya meminta kepolisian lebih tegas memberikan hukuman bagi pelaku. "Hukumannya harus berat kepada para pelaku inses ini agar jera," pinta dia.

 

 


Upaya Pemerintah

Ketua P2TP2A Garut Diah Kurniasari Gunawan, mendampingi Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna dalam penangakan salah satu pelaku pencabulan di Garut
Ketua P2TP2A Garut Diah Kurniasari Gunawan, mendampingi Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna dalam penangakan salah satu pelaku pencabulan di Garut (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Terungkapnya tiga kasus pencabulan terhadap anak di bawah umum, mendapatkan perhatian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut. Lembaga itu langsung menerjunkan tim untuk memberikan pelayanan kepada para korban.

"Untuk sementara korban ditempatkan di rumah aman P2TP2A dan berada dalam perlindungan lembaga," ujar Ketua P2TP2A Garut Diah Kurniasari Gunawan.

Tidak hanya memberikan pendampingan, tetapi P2TP2A juga melakukan pemeriksaan medis seperti visum, kondisi kandungan serta kondisi psikologis korban. "Kami pun akan membantu kepolisian mengungkap kasus itu," ujar dia.

Bahkan, mengingat usia kandungan yang telah memasuki bulan ke lima, lembaganya bakal memberikan pendampingian hingga korban melahirkan dan setelahnya. "Setelah itu, bermusyawarah dengan keluarga dan aparat kepolisian terkait nasib sang jabang bayi ke depannya," kata dia.

Melihat status pelajar yang masih disandang korban, lembaganya meminta Dinas Pendidikan untuk tetap memberikan hak pendidikan bagi korban. "Kita akan bantu semua secara cuma-cuma alias gratis," kata dia.

Kasatreskrim Polres Garut AKP Maradona Mappaseng mengakui, kasus pencabulan yang melibatkan ayah kandung termasuk ayah tiri di kabupaten Garut, mengalami peningkatan dibanding tahun lalu.

"Tahun lalu hanya satu, sekarang tahun berjalan sudah dua," kata dia dalam pesan singkatnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya