Liputan6.com, Aceh - Majelis hakim akhirnya mengabulkan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh terhadap gubernur. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk PLTA Tampur-I kini berpeluang batal.
Majelis hakim PTUN Banda Aceh mengabulkan gugatan atas penerbitan IPPKH tersebut pada Rabu (28/8/2019). Walhi Aceh mengajukannya pada 11 Maret 2019.
Pengajuan gugatan berawal penolakan megaproyek pembangkit listrik yang dipegang PT Kamirzu itu. Selain berdampak bagi ekologi dan ekosistem, IPPKH PLTA Tampur-I dinilai cacat administrasi.
Advertisement
Perusahaan tersebut merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) dengan luas lahan lebih kurang 4.407 hektare. Izin PLTA berkapasitas 443 megawatt, itu mencakup wilayah administrasi Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur.
Riak penolakan mulai tampak setelah gubernur Aceh Zaini Abdullah menerbitkan surat keputusan pada 09 Juni 2017. Sempat muncul petisi dengan platform "Batalkan Proyek PLTA Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa” yang ditandatangani 144.000 orang.
Zaini dinilai telah melampaui kewenangannya saat menerbitkan izin. Secara aturan, gubernur hanya memiliki otoritas terbatas, yakni boleh memberi izin pembangunan untuk fasilitas umum yang bersifat nonkomersial dengan luas paling banter 5 hektare.
Perusahaan payung pun tidak menyelesaikan tata batas areal IPPKH serta merelokasi Desa Lesten, Gayo Lues. Secara otomatis, izin dinyatakan tidak berlaku jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Dari segi yuridis, IPPKH PLTA Tampur-I dinilai cacat. Alasannya, terdapat izin pemakaian kayu, pemasukan, dan penggunaan peralatan, dalam IPPKH tersebut.
Ketiga izin tersebut semestinya terpisah bukan berada dalam satu paket. Peruntukan dan pembentukannya pun memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri.
Penerbitan IPPKH itu juga tidak mendapat rekomendasi dari bupati Aceh Timur. Selain itu, terdapat kesamaan antara tanggal dan tahun surat rekomendasi permohonan izin dengan surat izin yang diterbitkan—ini menjadi indikasi adanya unsur ketelodoran.
Area IPPKH PLTA Tampur-I sendiri merupakan kawasan yang berada di zona patahan aktif, serta sangat berisiko apabila terjadi gempa bumi berskala VII-XII Modified Mercally Intensity. Potensi suboptimasi bisa saja terjadi jika bendungan raksasa setinggi hampir 200 meter retak lalu jebol.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)
Kawasan pembangunan megaproyek PLTA Tampur-I masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). KEL merupakan patron inti yang merupakan penyangga kehidupan dunia dari efek perubahan iklim global.
KEL juga menjadi kawasan yang menjadi koridor satwa yang dilindungi. Pemburu akan terpancing untuk masuk jika akses menuju kawasan hutan primer itu dibuka dan dirambah oleh pembangunan.
Sebelum melempar gugatan, Walhi Aceh pernah mengajukan keberatan kepada gubernur, namun tidak digubris. Begitu pun dengan ajuan banding administrasi dari lembaga itu.
Bekerja sama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Walhi Aceh menggandeng sembilan orang pengacara lalu melayangkan gugatan. Walhasil, amar putusan hakim pada 28 Agustus lalu menyatakan bahwa IPPKH PLTA Tampur-I tidak sah.
Hakim mewajibkan tergugat mencabut objek sengketa, serta membayar biaya perkara secara tanggung renteng. Tinggal menunggu, apakah pihak yang merasa keberatan akan mengajukan banding atau tidak.
"Putusan ini adalah kemenangan rakyat. Terciptanya lingkungan yang sehat serta pemenuhan hak atas lingkungan adalah bentuk keadilan hukum yang kami peroleh hari ini," ujar Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, dalam keterangan resminya yang diterima Liputan6.com, Jumat (30/8/2019).
Advertisement