Liputan6.com, Bantul - Nini Thowong atau Nini Thowok hanyalah sebuah boneka. Ia terbuat dari gayung yang dibedaki menggunakan kapur dan dirias menggunakan jelaga. Rambutnya dari tanaman dan bebungaan. Namun siapa sangka jika boneka ini bisa bergerak menyeramkan.
Ya, Nini Thowong sejatinya hanyalah sebuah hiburan tradisional masyarakat Jawa, khususnya dari Pundong Bantul. Ia menjadi fenomenal karena permainan yang di masa lalu ini merupakan mainan anak-anak, ternyata bernilai mistis.
"Ayo mupu bocah bajang, rambute abang-abang (Ayo mengadopsi anak bajang yang rambutnya merah)," inilah mantera sekaligus tembang yang dinyanyikan para pemainnya.
Advertisement
Baca Juga
Seorang ibu berkain batik motif parang dan berkebaya kemudian berjalan, keluar sambil menggendong boneka Nini Thowong ini. Seorang lelaki bersurjan dan juga mengenakan kain batik di bagian bawah menyambutnya.
Sesaat ia memegang dada boneka yang terus bergerak dalam pegangan ibu-ibu tadi. Sementara di sekitarnya, rombongan ibu-ibu terus mengulang-ulang tembang yang berlaku sebagai mantera itu.
Mengapa boneka yang bisa menari ini dinamakan Nini Thowong?
Menurut Hartono Hangno, peneliti budaya Jawa dari Yayasan Cahaya Nusantara (YANTA), Yogyakarta, muka boneka yang putih (thowong) akibat gayung itu dibedaki dengan kapur sirih. Ia juga disebut "Nini" karena jenis kelaminnya perempuan.
"Kalau berdasar cerita lisan, sejarahnya konon ada seorang gadis yang jahat. Akibat kejahatannya ia menemu karma dan jadilah Nini Thowong," kata Hangno.
Simak video Tarian Nini Thowong berikut ini:
Â
Rambut dari Tanaman Kuburan
Permainan atau tarian Nini Thowong, hidup subur di daerah Gurdo, Panjangrejo, Pundong, Bantul. Pada awal kelahirannya, tarian Nini Thowong berfungsi sosial dan religius magis. Berfungsi sosial karena mampu mengumpulkan anak-anak desa bermain bersama.
"Yang menjadi paradoks, dalam cerita lisan disebutkan sang gadis itu jahat. Tapi ketika menjadi Nini Thowong, boneka yang sudah kesurupan lelembut itu konon bisa menunjukkan obat bagi yang sakit, dan bila dituruti si sakit dapat sembuh. Ini salah satu fungsi sosialnya," kata Hangno.
Memang begitu boneka ini bergerak tak terkendali, maka tembang atau mantera yang ditembangkan akan diubah. Dipimpin seorang peserta, maka mantera dirapal.
"Bagekna, bagekna, mbok roro lagi teka. Bagekna, bagekna mbok roro lagi teka. (Sambutlah, sambutlah mbok roro sudah datang, sambutlah, sambutlah mbok roro sudah datang)," tembang ini akan terus dinyanyikan ritmis sehingga suasana menjadi horor.
Anak-anak kecil yang menonton biasanya akan beringsut agak menjauh. Seorang lelaki bersurjan akan menyalakan lilin dan juga hio. Entah apa yang diucapkan, namun boneka Nini Thowong ini menjadi lebih "jinak". Secara fisik, bentuk Nini Thowong disusun dari siwur (gayung dari batok kelapa), enjet (kapur sirih), angus (jelaga dari kuali) untuk menggambar wajah. Barang keseharian di kampung itu disusun menyerupai bentuk manusia.
Lalu dipakaikan kebaya, sarung dan diberi daun-daun sebagai rambut yang berasal dari kuburan. Biasanya daun puring dan bunga asoka warna merah. Setelah siap, boneka tersebut dibawa ke tempat angker dan diberi sesajen yang bertujuan untuk memanggil ada lelembut yang masuk.
Â
Advertisement
Gamelan Mega Mendung
Pada zaman dahulu, Nini Thowong dimainkan pada saat mongso ketiga (musim kemarau) di bawah bulan purnama. Tetapi pada zaman sekarang Nini Thowong dimainkan pada saat acara-acara tertentu dan pada malam minggu.
"Kalau permainan sekarang, bentuk muka sudah dimodifikasi dengan gabungan antara topeng dan siwur (gayung)," kata Hangno.
Nini Thowong dimainkan oleh perempuan, sedangkan yang membawa dan mengangkut dari tempat kediamannya adalah seorang laki-laki. Permainan ini diiringi oleh gejug lesung dan gamelan Mega Mendung. Pada zaman dulu diiringi tembang dengan bawa (solis) macapat yang mistis. Namun sekarang sudah bermimikri dengan iringan lagu-lagu Jawa Kontemporer.
Menurut Hangno, permainan Nini Thowong bukanlah bentuk mempermainkan lelembut. Sebaliknya, justru mengajak para penghuni alam lain itu bergembira bersama. Sebab dalam budaya Jawa tak mengenal kosa kata menyakiti atau mengganggu sesama ciptaan Tuhan penghuni semesta.
"Di Jawa, istilah musuh saja sebenarnya tak ada. Kalaupun sekarang ada itu adalah kata serapan. Itulah sebabnya manusia dan semua makhluk ciptaan Tuhan bisa hidup berdampingan, bergembira bersama," kata Hangno.
Daya tarik Nini Thowong adalah tarian dari boneka itu. Gesture maupun arah geraknya akan ritmis menyesuaikan lagu yang ditembangkan para pemainnya.