Liputan6.com, Makassar - Selama tahun 2019, ada beberapa kasus dugaan korupsi yang terjadi di Sulsel cukup menyita perhatian masyarakat.
Tingginya respon masyarakat terhadap beberapa kasus dugaan korupsi yang dimaksud, tak hanya karena faktor besarnya kerugian negara yang ditimbulkan, melainkan dalam kasus tersebut, mengungkap adanya keterlibatan para tokoh yang terbilang cukup dikenal masyarakat Sulsel.
Seperti kasus dugaan korupsi yang cukup menghebohkan pada awal tahun 2019 yakni, kasus dugaan korupsi penyewaan aset negara yang menjerat mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Sulsel (PWI Sulsel), Zulkifli Gani Ottoh.
Advertisement
Belum lepas ingatan masyarakat terkait kasus yang menjerat mantan Ketua PWI itu, tiba-tiba pada bulan berikutnya, tepatnya Februari 2019, kembali muncul kasus dugaan suap proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) senilai Rp49 miliar di Kabupaten Bulukumba. Kasus tersebut dikabarkan melibatkan Bupati Bulukumba, A M Sukri Sappewali.
Baca Juga
Kemudian pada pertengahan tahun, masyarakat Sulsel kembali dihebohkan dengan munculnya kasus yang mirip. Namun, kali ini kasus dugaan suap DAK senilai Rp40 miliar itu dikabarkan melibatkan Wali Kota Pare-Pare, Taufan Pawe.
Besarnya perhatian masyarakat terhadap kasus dugaan suap yang dikabarkan melibatkan peran Wali Kota Pare-Pare itu, kemudian sempat meredam setelah pihak Kejaksaan dikabarkan telah menangkap seorang pengusaha ternama di Sulsel yakni Soedirjo Aliman alias Jentang.
Ia merupakan buronan kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara yang berlokasi di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar atau tepatnya lokasi pembangunan proyek nasional Makassar New Port.
Kemudian pada akhir November 2019, masyarakat Sulsel kembali dihebohkan dengan berita pernyataan seorang anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding yang mengungkap adanya peran tunggal seorang pengusaha ternama di Sulsel dalam mengatur pelaksanaan tender sejumlah kegiatan pengadaan alat kesehatan (Alkes) di Sulsel.
Oknum pengusaha yang bernama Imelda Obey itu, kata Sarifuddin, melakukan mufakat jahat dengan oknum di institusi kejaksaan untuk mengintimidasi sejumlah kepala daerah di Sulsel yang akan melaksanakan tender pengadaan alkes.
Untuk jelasnya, berikut rangkuman rentetan kasus dugaan korupsi yang cukup mendapat perhatian besar masyarakat Sulsel sepanjang tahun 2019.
Kasus Dugaan Korupsi yang Jerat Mantan Ketua PWI Sulsel
Pengadilan Negeri Tipikor Makassar telah menjatuhkan vonis bebas terhadap mantan Ketua PWI Sulsel, Zulkifli Gani Ottoh (Zugito) dalam perkara dugaan korupsi penyewaan aset Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Meski demikian, putusan kasus dugaan korupsi yang menjeratnya belum dinyatakan berkekuatan hukum tetap alias inkrah. Pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) kembali melawan dengan mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan hingga saat ini masih berproses.
Kasus yang menjerat komisaris salah satu perusahaan media ternama di Makassar ini, sempat menyita perhatian masyarakat Sulsel, karena meski berkas perkaranya telah lama berstatus rampung alias P21, tetapi perkaranya belum juga diteruskan ke persidangan.
Sebulan lebih usai dinyatakan rampung (P21), penyidik Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel belum juga menyerahkan penanganan perkara dugaan korupsi yang menjerat mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Sulawesi Selatan (PWI Sulsel), Zulkifli Gani Ottoh alias Zugito ke kejaksaan.
Kepala Subdit 3 Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kompol Yudha Wirajati saat itu mengatakan hal tersebut dikarenakan belum adanya kesiapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menerima pelimpahan tahap dua perkara yang menjerat Zugito itu.
Ia berdalih pada dasarnya penyidik siap kapan saja untuk menyerahkan tersangka dan barang bukti (tahap dua) ke kejaksaan selama Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah siap menerima pelimpahan.
"Jadi tidak ada kendala di kita. Sampai saat ini kami menunggu kesiapan jaksa saja," kata Yudha via pesan singkat, Senin 14 Januari 2019.
Terpisah, Peneliti Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Anggareksa menilai ada kesan kesengajaan dilakukan penyidik Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel untuk memperlambat pelimpahan tahap dua perkara dugaan korupsi yang menjerat Zugito tersebut.
"Indikasinya ada pembiaran. Tersangka Zugito malah dibiarkan melenggang bebas belum ditahan," kata Angga sapaan akrab Anggareksa itu.
Padahal, beber Angga, sebelumnya Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono menegaskan akan menahan tersangka sebelum dilimpahkan ke kejaksaan.
"Kata Pak Dir kan bahwa pihaknya akan menahan semua tersangka korupsi termasuk Zugito. Tapi kenyataannya hanya tong kosong nyaring bunyinya," ungkap Angga.
Ia menilai sikap penyidik Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel dalam penanganan kasus tersebut sudah memperlihatkan gelagat aneh. Bahkan, kata Angga, terkesan sangat tidak profesional.
"Kami harap Kapolda Sulsel memberikan sangsi tegas terhadap penyidiknya yang jelas sangat tidak profesional tersebut," ujar Angga.
Kejati Sulsel Beri Tenggat Waktu Polisi 10 Hari
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) saat itu memberikan tenggat waktu kepada Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel selama 10 hari untuk menyerahkan perkara dugaan korupsi yang menjerat mantan Ketua PWI Sulsel, Zulkifli Gani Ottoh alias Zugito yang telah dinyatakan rampung (P21).
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang saat itu dijabat oleh Tarmizi mengatakan sesuai petunjuk teknis yang ada, penyidikan perkara-perkara korupsi dari Kepolisian yang telah dinyatakan rampung (P21) diberi waktu 30 hari untuk segera dilimpahkan ke Kejaksaan.
"Kalau kasus terkait PWI itu kan baru dua minggu pasca dinyatakan P21. Sehingga masih ada waktu," kata Tarmizi dalam konferensi persnya di Aula Kejati Sulsel dalam rangka menyambut hari anti korupsi internasional waktu itu. Tepatnya, Jumat 7 Desember 2018.
Ia mengatakan penegasan akan dilakukan pihaknya, ketika tenggang waktu yang diberikan sesuai petunjuk teknis juga belum terealisasi, yakni menyurati penyidik kepolisian (P21.a) agar segera menyerahkan tersangka dan barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Tapi hingga saat ini jaksa penuntut masih terus berkordinasi dengan penyidik kepolisian atur jadwal pelimpahan tahap dua kasus tersebut," ujar Tarmizi.
Dalam kasus yang diduga merugikan negara tersebut, Zugito diduga mengomersialkan aset Pemprov Sulsel berupa gedung yang terletak di Jalan AP Pettarani No 31, Makassar tanpa mengantongi izin dari Pemprov Sulsel selaku pemilik aset.
Selain itu, hasil uang sewa atas aset tersebut diduga tak disetorkannya ke kas daerah Pemprov Sulsel. Sehingga atas perbuatannya dinilai bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17/2007 tentang pedoman teknis pengelolaan barang milik daerah.
Adapun hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel, ditemukan terjadi kerugian negara sebesar Rp 1.634.306.366.
Atas perbuatannya, Zugito disangkakan Pasal 2 ayat 1 Subsider Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Advertisement
Kasus Dugaan Suap DAK di Bulukumba dan Enrekang
Kedua kasus dugaan suap yang dikabarkan melibatkan Kepala Daerah ini, hingga saat ini belum juga menetapkan status tersangka. Meski penanganan kedua kasus tersebut telah lama ditingkatkan ke tahap penyidikan karena dinilai memenuhi alat bukti permulaan yang cukup setelah melalui proses gelar perkara.
Perkembangan terakhir, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Firdaus Dewilmar mengintruksikan anggotanya segera merampungkan penyidikan seluruh kasus dugaan korupsi yang merupakan tunggakan era Kajati Sulsel, Tarmizi itu.
"Kasus DAK Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Enrekang itu, saya sudah minta segera dituntaskan," kata Firdaus di Kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Selasa 17 September 2019.
Ia mengaku telah sepakat melakukan penyidikan bersama dengan pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat guna membantu percepatan penuntasan kasus-kasus tunggakan yang dimaksud.
Seperti, kata dia, terkait kasus dugaan suap DAK (Dana Alokasi Khusus) senilai Rp49 miliar di Kabupaten Bulukumba, pihaknya menggandeng Kejari Bulukumba melakukan penyidikan bersama. Demikian juga dengan upaya penuntasan kasus dugaan korupsi DAK senilai Rp39 miliar di Kabupaten Enrekang, penyidik Kejati Sulsel akan bersama dengan Kejari Enrekang.
"Ada yang diperiksa di sini (Kejati Sulsel) dan ada juga diperiksa di sana (Kejari setempat). Kita lihat bobotnya, kalau berat itu dikerja di sini (Kejati Sulsel)," jelas Firdaus.
Ia menargetkan penetapan tersangka dalam kasus-kasus tunggakan tersebut sesegera mungkin dilakukan.
"Jadi sekarang ini, penyidik sedang mengebut penyidikan untuk penetapan tersangka. Pokoknya tunggakan kasus tiga sampai empat bulan terakhir harus segera tuntas," tegas Firdaus.
Kronologi Dugaan Suap DAK Rp49 M Kabupaten Bulukumba
Sejak kasus dugaan suap proyek DAK Kabupaten Bulukumba tersebut telah ditingkatkan statusnya ke tahap penyidikan, tim Penyidik Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sulsel telah memeriksa sejumlah saksi-saksi yang terkait.
Saksi-saksi tersebut yakni saksi pelapor Andi Ichwan, Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Kabupaten Bulukumba A Zulkifli Indra Jaya, Sekretaris Daerah (Setda) Bulukumba, Andi Bau Amal, dan Rosmawaty Zasil selaku Kepala Sub Bagian Persuratan dan Tata Usaha pada Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Bulukumba serta Bupati Bulukumba, A.M Sukri Sappewali.
Kasus ini sebelumnya ditangani tiga bulan oleh Bidang Intelijen Kejati Sulsel dan kemudian penangannya diserahkan penuh ke bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sulsel.
Kasus yang dikabarkan melibatkan Bupati Bulukumba A.M Andi Sukri Sappewali itu, dilaporkan resmi oleh Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa (PPM) Sulsel.
Mereka pun terhitung beberapa kali berunjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel menagih kejelasan penanganan kasus yang mereka laporkan tersebut.
Ahmad Yani, yang bertindak sebagai koordinator aksi Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa (PPM) Sulsel mengatakan unjuk rasa yang dilakukan pihaknya semata untuk mempertanyakan sejauh mana tindak lanjut kasus dugaan suap dalam mendapatkan proyek irigasi senilai Rp49 miliar yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yang telah dilaporkan pihaknya sejak dua bulan lalu.
"Kejati seharusnya mengambil langkah tegas untuk mengupas persoalan tersebut hingga ke akar-akarnya. Apalagi kesaksian seorang oknum Aparat Sipil Negara (ASN) yang membeberkan keterlibatannya dalam menyuap proyek asal Pemerintah Pusat tersebut menjadi viral di media sosial, facebook," kata Yani dalam orasinya kala itu.
Menurutnya, pengakuan oknum ASN Dinas Pendidikan Kabupaten Bulukumba di media sosial itu sangat jelas. Di mana oknum yang bersangkutan dengan terang-terangan mengaku telah menyuap untuk memuluskan upaya Kabupaten Bulukumba mendapatkan proyek yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp 49 miliar.
Tak hanya itu, oknum ASN tersebut bahkan menyebarkan foto surat rekomendasi yang digunakan olehnya dalam mengurus upaya penyuapan agar Kabupaten Bulukumba mendapat kucuran proyek irigasi senilai puluhan miliar tersebut.
"Jadi tak hanya bukti foto rekomendasi yang diduga diberikan oleh Bupati Bulukumba kepada oknum ASN tersebut yang dibeberkan sendiri oleh oknum ASN yang bersangkutan. Tapi melalui media sosial Facebook, ia juga memperlihatkan pecahan uang Rp100.000 dan pecahan Rp50.000," ungkap Yani.
Seharusnya, kata dia, penegak hukum tidak mendiamkan berita viral yang disebarkan oleh oknum ASN itu. Melainkan, tegas Yani, demi menjaga supremasi penegakan hukum, maka kasus tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan memeriksa oknum ASN yang bersangkutan serta memeriksa Bupati Bulukumba selaku terduga pemberi surat rekomendasi kepada oknum ASN dalam rangka pemulusan proyek pusat yang dimaksud.
"Kami juga sudah laporkan secara resmi bahkan membantu Kejati dengan memasukkan bukti-bukti terkait termasuk foto kegiatan proyek irigasi yang dimaksud," Yani menandaskan.
Kronologi Dugaan Korupsi DAK Rp39 M di Kabupaten Enrekang
Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) resmi meningkatkan status kasus dugaan penyimpangan Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp39 miliar di Kabupaten Enrekang ke tahap penyidikan, Selasa 27 Agustus 2019.
Peningkatan status penanganan kasus DAK Enrekang tersebut, setelah melalui proses ekspose yang berlangsung selama tiga jam.
"Naik ke penyidikan kan tidak serta merta. Tapi ditemukan alat bukti yang cukup dan telah lalui proses ekspose yang alot," ucap Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kasi Penkum Kejati Sulsel), Salahuddin yang saat itu masih menjabat.
Tahap selanjutnya, kata dia, tim penyidik kembali menyusun agenda pemeriksaan saksi-saksi yang sebelumnya telah diperiksa di tahap penyelidikan.
"Penyidik lakukan pendalaman kembali keterangan saksi-saksi dalam tahap penyidikan ini untuk mengetahui kedepannya siapa nantinya yang patut bertanggungjawab atas kegiatan yang diduga merugikan negara tersebut," beber Salahuddin.
Diketahui Dana Alokasi Khusus (DAK) bantuan Pemerintah Pusat senilai Rp39 miliar tersebut, diperuntukkan untuk membiayai proyek pembangunan bendung jaringan air baku Sungai Tabang yang berlokasi di Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulsel.
Anggaran DAK tersebut kemudian dimasukkan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Enrekang di tahun anggaran 2015.
Namun dalam pelaksanaannya, Pemerintah Kabupaten Enrekang (Pemkab Enrekang) melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Dinas PUPR) Kabupaten Enrekang memanfaatkan anggaran tersebut dengan kegiatan yang berbeda, yakni anggaran yang dimaksud digunakan membiayai kegiatan irigasi pipanisasi tertutup dan anggarannya pun dipecah menjadi 126 paket pengerjaan.
Pemkab Enrekang diduga telah melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 tahun 2015 yang mengatur tentang peruntukan anggaran DAK yang dimaksud.
Selain itu, 126 paket pengerjaan yang dibiayai menggunakan anggaran DAK tersebut juga diduga fiktif. Dimana ditemukan beberapa kejanggalan. Di antaranya proses pelelangan, penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) hingga Surat Perintah Pencairan Anggaran (SP2D) dari kas daerah ke rekening rekanan, lebih awal dilakukan sebelum tahap pembahasan anggaran.
Proses lelang hingga penerbitan surat perintah pencairan anggaran dilakukan pada 18 September 2015. Sementara pembahasan anggaran untuk pengerjaan proyek hingga pengesahannya nanti dilakukan pada tanggal 30 Oktober 2015.
Laporan kegiatan anggaran DAK tersebut diduga dimanipulasi atau laporan fiktif yang dilakukan oleh rekanan bekerjasama dengan panitia pelaksana dalam hal ini Dinas PUPR Kabupaten Enrekang guna mengejar pencairan anggaran sebelum tanggal 31 Desember 2015.
Progres pekerjaan dilapangan baru mencapai sekitar 15%-45%. Bahkan, ada yang masih berlangsung hingga awal tahun 2016. Tak hanya itu, hampir 126 paket pengerjaan yang menggunakan DAK tersebut, diketahui tidak berfungsi. Sehingga tak dapat diambil azas manfaatnya oleh masyarakat Enrekang secara luas.
Hingga saat ini, terdapat 9 paket pengerjaan pipa yang bahan meterilnya masih terdapat di lokasi dan tak ada proses pengerjaan. Bahkan 6 paket pengerjaan pemasangan pipa lainnya pun diketahui anggarannya telah dicairkan namun pengerjaan tak dilakukan.
Kasus Dugaan Korupsi PD Parkir Makassar Raya
Sejak penetapan tersangka diumumkan, kelanjutan penanganan kasus dugaan korupsi pengelolaan anggaran di lingkup Perusahaan Daerah Parkir Makassar Raya, tepatnya Senin 17 Juni 2019 tak lagi terdengar.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) sebelumnya telah menetapkan seorang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan anggaran di lingkup Perusahaan Daerah Parkir Makassar Raya tersebut.
Tersangka inisial RM diketahui merupakan mantan Direktur Umum (Dirum) dan juga pernah menjabat sebagai Direktur Operasional (Dirops) di PD Parkir Makassar Raya.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) yang saat itu masih dijabat oleh Salahuddin di Kantor Kejati Sulsel mengatakan RM ditetapkan sebagai tersangka atas perbuatannya saat menjabat sebagai Direktur Operasional PD. Parkir Makassar Raya dan juga saat menjabat sebagai Direktur Umum PD Parkir Makassar Raya.
Dimana pada saat menjabat sebagai Direktur Operasional PD Parkir Makassar Raya, kata Salahuddin, RM mengambil uang kas PD. Parkir secara melawan hukum dan kemudian perbuatannya berlanjut pada saat ia menjabat sebagai Direktur Umum PD. Parkir Makassar Raya.
Dimana ia ditemukan menyetujui pengambilan uang kas milik PD Parkir Makassar Raya oleh mantan Direktur Utama PD. Parkir Makassar Raya, Aryanto Dammar yang telah meninggal dunia pasca menjalani pemeriksaan di Kejati Sulsel.
"Tersangka RM disangkakan dengan dugaan pasal 2 Juncto Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001," terang Salahuddin.
Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) berharap penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi di lingkup PD Parkir Makassar Raya tidak tebang pilih.
"Tapi semua yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban yang sama. Kejati harus menyeret semua pihak yang turut terlibat," tutur Anggareksa, pegiat ACC Sulawesi via telepon.
Ia yakin terjadinya dugaan korupsi dalam pengelolaan dana di lingkup PD Parkir Makassar Raya tak hanya melibatkan satu orang saja. Melainkan kata dia, hampir semua kejahatan korupsi itu dilakoni secara berjamaah.
"Jadi tentu kita harapkan terus dilakukan pengembangan. Tersangka tak mungkin hanya seorang saja dan tentu penyidik lebih mengetahui soal itu," ujar Anggareksa.
Diketahui penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan anggaran pada Perusahaan Daerah (PD) Parkir Makassar Raya kota Makassar bermula dari adanya hasil audit independen yang menemukan adanya dugaan penyalahgunaan anggaran di PD Parkir Makassar Raya sebesar Rp 1.900.000.000 pada tahun 2008 hingga tahun 2017.
Sehingga berdasarkan hal itu, tim bidang Pidana Khusus Kejati Sulsel turun menyelidiki berdasarkan surat perintah penyelidikan dari Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) bernomor Print-560/R.4/Fd.1/11/2018 tanggal 19 November 2018.
Advertisement
Kasus Dugaan Korupsi di Kabupaten Gowa
Kasus dugaan korupsi yang terkuak di Kabupaten Gowa terdapat dua kasus. Selain kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga iman dan taqwa (Imtaq), juga ada kasus dugaan korupsi pembangunan kota idaman.
Kedua kasus yang mendapat sorotan sejumlah lembaga pegiat anti korupsi dan masyarakat Sulsel itu, hingga saat ini mangkrak di tingkat penyidikan.
Kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga imtaq belum menetapkan tersangka karena dikabarkan terhambat oleh perhitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang hingga saat ini belum terbit.
Meski diam-diam Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel memberikan sinyal jika pihaknya telah mengantongi identitas tersangka dalam kasus dugaan korupsi tersebut.
"Nanti pada saat penetapan, baru kami sampaikan namanya," kata Kepala Subdit III Tipikor Dit Reskrimsus Polda Sulsel, Kompol Yudha Wiradjati via pesan singkat, Senin 18 November 2019.
Saat ini, lanjut Yudha, pihaknya sementara menunggu hasil Perhitungan Kerugian Negara (PKN) dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel.
"Tak ada kendala. Perhitungan kerugian negara belum keluar," ucap Yudha.
Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun menyayangkan sikap penyidik yang terkesan mengulur-ulur penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga imtaq di Kabupaten Gowa tersebut.
Menurutnya, kasus tersebut merupakan salah satu rentetan kasus korupsi yang mangkrak ditangani Polda Sulsel di tahap penyidikan.
"Seharusnya sudah ada tersangka karena alat bukti telah terpenuhi. Kasusnya kan sudah lama naik status ke penyidikan," jelas Kadir.
Diketahui, dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga imtaq di Kabupaten Gowa tersebut, tim Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel telah menggeledah sejumlah Kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gowa, Sulsel, Selasa 14 Mei 2019 sekitar pukul 14.00 wita.
Tak hanya kantor SKPD yang berada dalam satu area dengan Kantor Pemkab Gowa, tim tipikor Polda Sulsel itu juga dikabarkan turut menggeledah ruangan kerja yang berada dalam rumah jabatan (rujab) Bupati Gowa.
Kepala Bidang Humas Polda Sulsel yang saat itu dijabat oleh Kombes Pol Dicky Sondani, membenarkan adanya penggeledahan tersebut. Kata dia, penggeledahan merupakan bagian dari proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga imtaq di Kabupaten Gowa tahun anggaran 2018 yang sementara berjalan.
"Lokasi penggeledahan diantaranya di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa dan Rujab Bupati Gowa," kata Dicky.
Dalam penggeledahan tersebut, tim mengamankan sejumlah dokumen-dokumen penting terkait kegiatan pengadaan alat peraga imtaq yang sementara diusut.
"Kasus ini diselidiki sejak bulan Februari 2019 dan statusnya naik ke tahap penyidikan pada bulan Mei 2019 ini," terang Dicky.
Dari hasil penyidikan, tim menemukan adanya dugaan mark up anggaran pada kegiatan pengadaan alat peraga imtaq yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa tersebut.
Dimana dari hasil cek tim ke lokasi sumber barang yakni di Yogyakarta, uang yang digunakan untuk belanja barang alat peraga yang dimaksud hanya sebesar Rp1,5 miliar. Sementara anggaran yang digelontorkan untuk kegiatan tersebut senilai Rp5.609.681.992.
Tak hanya itu, tim juga menemukan terjadinya keterlambatan pengerjaan. Dimana pada bulan Februari 2019 masih terjadi pengiriman barang dari Yogyakarta ke Makassar, sementara berdasarkan berita acara serah terima pengerjaan (progres pekerjaan) sudah dilaporkan 100 persen tepatnya pada bulan September 2018.
"Dari hasil pemeriksaan sejumlah saksi-saksi, terungkap juga ada intervensi dari beberapa pihak dalam proses lelang, pelaksanaan hingga pencairan pembayaran," ungkap Dicky.
Pengadaan alat peraga imtaq yang diperuntukkan untuk 82 Sekolah Dasar (SD) yang tersebar di 18 Kecamatan di Kabupaten Gowa tersebut, menggunakan anggaran sebesar Rp5.609.681.992 yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2018.
Adapun yang bertindak sebagai penyedia barang dalam kegiatan itu diketahui bernama Rahmawati Bangsawan alias Neno. Ia memenangkan tender menggunakan nama perusahaan yang ia pinjam yakni bernama PT Arsa Putra Mandiri.
"Dalam kasus ini kita terapkan dugaan pelanggaran Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Juncto Pasal 9 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi," Dicky menandaskan.
Kasus Kota Idaman Gowa
Berbeda dengan Kasus Kota Idaman, penyidik Polres Gowa terkesan menutupi adanya dugaan korupsi yang terjadi. Sehingga dengan sikap penyidik tersebut, sejumlah akademisi pun angkat bicara. Salah satunya akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar (UKI Paulus Makassar), Jermias Rarsina mengatakanpenanganan kasus pembangunan kota idaman oleh Polres Gowa tidak berjalan proporsional.
Dimana, kata Jermias, mereka mengabaikan kepentingan hukum negara yang jauh lebih besar dalam perkara kota idaman tersebut. Yakni adanya unsur dugaan tindak pidana korupsi.
"Jika melihat yang ada, penyidik Polres Gowa hanya mengedepankan penanganan unsur tindak pidana umum ketimbang mengembangkan unsur tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut," kata Jermias saat di temui di Kampus UKI Paulus Makassar, Jumat 17 Mei 2019.
Penyidikan yang dilakukan Polres Gowa, kata dia, hanya fokus membuktikan adanya dugaan tindak pidana pemalsuan sejumlah dokumen sehubungan dengan lahan yang merupakan aset negara dalam hal ini milik PT. Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV) berupa surat Ipeda atau rincik serta dokumen-dokumen lainnya.
Penyidik terkesan tak berselera mengembangkan penyidikan kasus kota idaman lebih jauh. Yakni membuktikan adanya dugaan unsur tindak pidana korupsi dalam kasus itu.
Sementara, secara substansi kajian hukum hal tersebut sangat dibenarkan dalam konteksnya dengan penerapan prinsip pemberlakuan azas lex spesialis terhadap dugaan tindak pidana korupsi.
PTPN XIV, kata Jermias, merupakan perusahaan milik negara yang secara yuridis dalam hubungan dengan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara memiliki kepentingan hukum yang jauh lebih besar dan harus diperhatikan.
Oleh karena ada beberapa pendekatan yang dipergunakan dalam merumuskan keuangan negara yang sifatnya harus dilindungi bagi kepentingan publik. Ketimbang orang perseorangan secara privat.
Secara yuridis yang dimaksud, lanjut Jermias, pendekatan merumuskan keuangan negara bisa dilihat dari beberapa aspek yakni aspek objek, subjek, proses dan tujuan semuanya yang telah mencerminkan bahwasanya eksistensi dari PTPN XIV adalah bagian dari kegiatan perusahaan negara dalam pengelolaan ataupun penyelenggaraan segala perumusan kebijakan untuk kegiatan usaha dalam hubungannya dengan keuangan negara.
"Sehingga dalam konteks penegakan hukumnya, negara jauh lebih besar memiliki kepentingan yang harus dilindungi dalam hal ini penegakan hukum pemberantasan korupsinya jika dibandingkan dengan modus kejahatan biasa yakni pemalsuan surat," terang Jermias.
Apalagi, lanjut dia, menyimak penjelasan dari pihak penyidik Polres Gowa. Dimana dalam penyidikan kasus kota idaman tersebut, ditemukan adanya peristiwa transaksi lahan milik PTPN XIV.
Dengan begitu, kata Jermias, berarti negara jelas telah dirugikan, dan ada oknum (orang pribadi) yang diuntungkan dari transaksi tersebut.
Menurut dia, Keterlibatan pejabat yang melakukan kegiatan transaksi lahan minimal harus dimintai pertanggung jawaban pidananya.
"Mengapa demikian?, karena realitasnya terdapat cukup bukti bahwasannya ada kejahatan pemalsuan pengakuan hak atas tanah PTPN XIV," jelas Jermias.
Sekalipun, kata dia, para pihak yang dimaksud telah menerangkan dihadapan pejabat mengenai transaksi tanah yang dikenal sebagai akta van partiij. Tetap pejabat yang bersangkutan juga harus memiliki prinsip kecermatan dan kehati-hatian dalam melayani masyarakat untuk melakukan transaksi tanah.
"Sebagai bukti nyata sekarang ini yang terjadi pada contoh kasus transaksi atas tanah miliki PTPN XIV yang mana telah terjadi sifat melawan hak," tutur Jermias.
Penyidik Polres Gowa, lanjut Jermias, seharusnya dapat mengembangkan kasus kota idaman tersebut ke arah dugaan tindak pidana korupsi, oleh karena ada kepentingan negara yang jauh lebih besar untuk dilindungi.
Jika tak demikian, kata Jermias, bisa saja dapat membuat pretensi buruk berupa penilaian ironis atau sindiran halus dari masyarakat bahwa "pantas saja siapa-siapa yang mau dibawa dan diadili perkara pidananya di persidangan sangat bergantung dari aparat penegak hukumnya".
"Agar tak demikian, maka penyidik Polres Gowa harus bertindak proporsional," Jermias menandaskan.
Polres Gowa sebelumnya telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus pembangunan kota idaman di daerah Pattallassang, Kabupaten Gowa, Sulsel.
Kedua tersangka yakni Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdastri) Andi Sura Suaib, dan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga M. Fajaruddin.
Kedua tersangka yang saat itu pernah menjabat sebagai Camat Pattallassang, disangkakan dengan 263 KUHP tentang pemalsuan Jo Pasal 372 KUHP tentang penggelapan Jo 378 KUHP tentang penipuan.
Wakapolres Gowa Kompol Muh Fajri Mustafa mengatakan dalam kasus kota idaman, kedua tersangka memiliki empat peran.
Dimana keduanya melegalisir dan menandatangi dokumen yang memuat keterangan palsu dalam surat keterangan dan surat pernyataan peralihan hak atas tanah.
Selain itu, keduanya juga diketahui tidak membuat surat pernyataan peralihan hak atas tanah, tetapi tersangka mengarahkan PT. Sinar Indonesia Property (SIP) untuk membuatnya.
Tak hanya itu, kata Fajri, para tersangka juga memasukkan klausul seolah-olah tanah yang ditransaksikan dalam surat pernyataan peralihan hak atas tanah tahun 2011 dan 2015, tidak dimiliki oleh pihak lain.
"Kedua tersangka juga memberikan bantuan saat penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh PT. SIP," kata Fajri.
Bahkan lanjut Fajri, dari hasil penyidikan dimana kedua tersangka yang diketahui mantan camat di daerah lokasi pembangunan kota idaman tersebut, ikut melegalisasi dan menandatangi dokumen yang digunakan PT. SIP untuk melakukan transaksi dengan pihak Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Gowa.
"Keduanya melegalisasi dan menandatangani surat pernyataan peralihan hak atas tanah. MF tahun 2011, dan AS tahun 2015," jelas Fajri.
Beberapa barang bukti dokumen diantaranya surat keterangan garapan, surat pernyataan pelepasan hak atas tanah tahun 2011 dan tahun 2015 telah diamankan.
"Jadi penetapan tersangka melalui proses gelar perkara bahkan gelar perkara dilakukan tiga kali untuk memastikan peran keduanya, termasuk pemeriksaan ahli pidana," beber Fajri.
Ia menilai kedua tersangka tidak melakukan verifikasi terhadap clear and clean atas tanah yang dialihkan haknya yang masuk dalam area rencana pembangunan kota idaman. Belakangan diketahui tanah yang ditransaksikan tersebut masih dimiliki oleh PTPN XIV.
Advertisement
Dugaan Korupsi Pengadaan Kapal Latih Disdik Sulsel
Penyidik Tipikor Polrestabes Makassar resmi telah menjerat tiga orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kapal latih untuk sejumlah SMK di Sulsel.
Ketiga tersangka masing-masing Ruslim yang berperan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) serta dua orang yang berperan sebagai anggota Kelompok Kerja (Pokja).
Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono mengatakan kedua anggota Pokja yang ia lupa identitasnya itu ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik menerima hasil audit kerugian negara dari BPKP.
Menurut audit BPKP, kata dia, ditemukan dugaan kerugian negara sebesar Rp4,4 miliar dari total anggaran yang digunakan dalam kegiatan pengadaan kapal latih untuk SMK se-Sulsel senilai Rp33 miliar.
"Tetap masih perlu didalami dan diperiksa lebih lanjut. Kita belum menahan keduanya," jelas Yudhiawan.
Sejumlah pegiat anti korupsi serta akademisi di Sulsel pun turut mendukung upaya Polrestabes Makassar dalam mengusut tuntas keterlibatan seluruh pihak dalam kegiatan proyek yang ditemukan telah merugikan negara miliaran rupiah tersebut.
Salah satunya mendalami peran Tim Pengawal Pengamanan Pembangunan Daerah (TP4D) dalam mengawal proyek yang dibiayai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran 2018.
Dimana dari hasil penyidikan Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Reskrim Polrestabes Makassar, dalam pengerjaan pengadaan kapal latih itu, ditemukan dugaan kesalahan spesifikasi hingga terjadi keterlambatan pengerjaan. Alhasil, tiga orang terjerat sebagai tersangka yakni Ruslim sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan dua orang anggota Pokja.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar (UKI Paulus Makassar), Jermias Rarsina mengatakan, kehadiran TP4D dalam proyek pengadaan kapal latih SMK yang menggunakan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran 2018 tersebut, tentunya diharapkan menjalankan tugas dan fungsinya sesuai Instruksi Presiden Nomor: 7 Tahun 2015 tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Berkenaan menindaklanjuti Instruksi Presiden yang dimaksud, maka pembentukan TP4D di tingkat Kejaksaan/cabang Kejaksaan Negeri yang berada pada wilayah Kabupaten atau Kota didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-152/A/JA/10/2015 yang selanjutnya secara teknis didetailkan dengan instruksi Jaksa Agung RI Nomor: INS-001/A/JA/10/2015 yang mengatur tentang tugas dan fungsi TP4D yang berkaitan dengan upaya pencegahan.
Berkaitan dengan proyek pengadaan kapal latih SMK yang diketahui pelaksanaannya didampingi oleh TP4D dan kemudian menjadi temuan Unit Tipikor Reskrim Polrestabes Makassar dalam hal ini diduga terindikasi tindak pidana korupsi, maka kata Jermias, kehadiran TP4D pada proyek negara tersebut patut dipertanyakan. Utamanya mengenai eksistensi kewenangan tugas dan fungsinya sesuai payung hukum yang telah diberikan kepadanya.
Dari aspek kewenangan TP4D sesuai payung hukumnya tersebut, kata Jermias, berperan menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengawal, mengamankan dan mendukung jalannya pemerintahan dan pembangunan melalui upaya preventif (pencegahan) dan persuasif.
Selain itu, TP4D juga berperan memberikan penerangan hukum yang bertujuan agar pelaksanaan proyek yang didampingi, bisa tertib administrasi dan tertib pengelolaan keuangan negara.
Hal kewenangan lain yang melekat pada TP4D, yakni melakukan monitoring dan evaluasi pekerjaan, berkoordinasi dengan aparat pengawasan internal untuk mencegah terjadinya penyimpangan serta dapat melakukan penegakan hukum yang bersifat represif ketika menemukan bukti permulaan yang cukup dalam kaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi.
"Jadi aneh bin ajaib, pada proyek pengadaan kapal latih yang notabene didampingi TP4D malah jadi temuan indikasi korupsi oleh penyidik Kepolisian dalam hal ini Polrestabes Makassar. Tentunya kehadiran TP4D dalam proyek negara tersebut sangat mengecewakan sekali," tutur Jermias via telepon, Senin 2 September 2019.
Ia menyayangkan sikap TP4D yang terkesan tidak menjalankan kewenangan tugas dan fungsinya dengan profesional dalam pendampingan pelaksanaan proyek pengadaan kapal latih yang menelan anggaran DAK puluhan miliar tersebut.
"Padahal didalamnya ada kewenangan TP4D yang sangat kongkrit tentang hal itu. Termasuk punya kewenangan untuk mengambil langkah hukum represif (penanganan perkara dugaan terjadi korupsi) jika terdapat bukti permulaan yang cukup. Tapi justru sebaliknya, indikasi korupsi pada proyek pengadaan kapal latih justru yang mengungkapnya dan memproses hukum hal itu adalah pihak Kepolisian," ungkap Jermias.
Ia mengatakan TPD4 tak bisa lepas tanggung jawab dan harus dimintai pertanggungjawaban kinerjanya dalam mengawal proyek pengadaan kapal latih yang ditemukan terindikasi korupsi dan saat ini masih berproses hukum di tingkat Kepolisian.
"Bukan sekedar dievaluasi semata, tetapi jika ada temuan karena tidak cermat atau lalai dalam menjalankan kewenangannya dalam pembangunan proyek kapal latih, maka anggota TP4D proyek tersebut, harus diberi sanksi hukum yang tegas dan nyata," ucap Jermias.
Masyarakat kata dia, akan memberikan apresiasi dengan membuat tantangan bagi Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) untuk menuntaskan persoalan hukum TP4D sehubungan adanya temuan dugaan penyimpangan anggaran dalam pengerjaan proyek pengadaan kapal latih yang menelan anggaran DAK tahun anggaran 2018 tersebut.
"Karena hal ini dapat merefleksi masyarakat mengenang kembali problem hukum transaksi dugaan suap proyek pengawasan TP4D yang terjadi di rumah oknum Jaksa Kejari Jogya kemarin dan berhasil diungkap oleh KPK," Jermias menandaskan.
Terpisah, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi, Kadir Wokanubun mengatakan sejak awal ia tak menyakini kinerja tim TP4D dalam mengawal pelaksanaan proyek pengadaan kapal latih SMK di Sulsel.
Pertimbangannya, kata dia, pada pelaksanaan proyek tersebut justru ditemukan terjadi dugaan penyimpangan. Dimana dari hasil penyidikan Unit Tipikor Polrestabes Makassar, pengadaan kapal latih untuk SMK se-Sulsel itu, selain ditemukan keterlambatan kerja, juga diduga menyalahi spesifikasi yang ada dalam kontrak perjanjian. Alhasil, kapal latih tersebut tak dapat dimanfaatkan hingga saat ini.
"Kalau begini, kan percuma ada pendampingan TP4D. Bukannya, TP4D itu berikan pendampingan hukum dalam setiap tahapan program pembangunan dari awal sampai akhir sebagai upaya pencegahan agar tak terjadi penyimpangan yang berpotensi menghambat, menggagalkan dan menimbulkan kerugian bagi keuangan negara?," jelas Kadir.
Ia berharap pimpinan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan segera mengevaluasi dan meminta pertanggungjawaban tim TP4D yang sebelumnya berperan dalam pendampingan proyek pengadaan kapal latih untuk SMK se-Sulsel itu.
"Agar tim TP4D kedepannya tidak coba bermain-main dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Kami yakin jika TP4D memonitoring dan mengevaluasi pekerjaan pengadaan kapal latih SMK ini dengan maksimal tak akan ada temuan indikasi penyimpangan," ungkap Kadir.
Wakajati Janji Terapkan Sangsi
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Wakajati Sulsel), Gery Yasid menegaskan akan mengevaluasi Tim Pengawal Pengamanan Pembangunan Daerah (TP4D) yang berperan mendampingi pelaksanaan proyek pengadaan kapal latih untuk SMK se-Sulawesi Selatan (Sulsel).
Proyek pengadaan kapal latih yang telah menggunakan anggaran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp33 miliar tahun anggaran 2018 tersebut, diketahui bermasalah dan telah menjerat tiga orang tersangka.
"Tentu evaluasi hingga sangsi etik itu berlaku. Namun sejauh mana peran tim TP4D yang mendampingi proyek tersebut sesuai dengan SOP atau tidak, tentu itu didalami dulu," ucap Gery saat bersantai bersama para wartawan di Kantin Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Selasa, 27 Agustus 2019.
Ia menjelaskan, kehadiran TP4D pada dasarnya memberikan penerangan hukum baik dalam lingkungan Instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan pihak lain terkait materi tentang perencanaan, pelelangan, pelaksanaan pekerjaan, perijinan, pengadaan barang dan jasa, tertib administrasi dan tertib pengelolaan keuangan Negara.
"Jadi pada dasarnya mereka lakukan pendampingan terkait perspektif hukum agar kegiatan yang ada terhindar dari hal-hal yang menyimpang khususnya indikasi tindak pidana korupsi," jelas Gery.
Sebelumnya, Penyidik Unit Tipikor Polrestabes Makassar memastikan akan terus mendalami peranan pihak lain dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kapal latih untuk SMK se-Sulsel yang ditaksir telah merugikan keuangan negara tersebut. Diantaranya mendalami peranan perusahaan rekanan.
Dalam kasus ini, Penyidik telah memeriksa sejumlah saksi. Diantaranya para PNS lingkup Dinas Pendidikan Sulsel (Disdik Sulsel) serta adik kandung mantan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Irman Yasin Limpo alias None. Ia diketahui saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Sulsel.
"Masih didalami oleh penyidik," singkat Kapolrestabes Makassar, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono.
Ia tak menampik dalam hal tindak pidana korupsi tak hanya dilakukan oleh satu orang saja, melainkan kata dia, kerap melibatkan lebih dari satu orang.
"Penyidik masih terus pendalaman baik dari keterangan saksi-saksi, tersangka yang ada hingga dokumen-dokumen terkait pengerjaan pengadaan kapal latih tersebut. Setiap perkembangan tentunya kita akan kabari," ucap Yudhiawan.
Kronologi Awal Kasus Kapal Latih Terungkap
Adanya penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan kapal latih untuk SMK se-Provinsi Sulsel oleh Polrestabes Makassar bermula saat Tim Penyidik Tipikor Polrestabes Makassar memasang garis polisi terhadap 8 unit kapal latih milik Disdik Sulsel yang sedang terparkir di dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara Untia, di Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar.
Kapal latih yang disegel Tim Penyidik Tipikor Polrestabes Makassar tersebut, sebelumnya dikabarkan sudah siap pakai dan diperuntukkan bagi SMK kemaritiman di Sulsel.
Adapun fungsinya, kapal latih itu dikabarkan sebagai laboratorium praktek maritim untuk beberapa sekolah, diantaranya SMK 3 Kabupaten Jeneponto, SMK 2 Kabupaten Bantaeng, SMK 9 Kota Makassar, SMK 3 Kabupaten Bulukumba, dan sejumlah sekolah lainnya di Sulsel.
Pengadaan kapal latih diketahui menggunakan anggaran jenis Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran 2018 sebesar Rp33 miliar.
Dimana dalam kontraknya, kapal tersebut menggunakan spesifikasi yang mumpuni diantaranya ruang kemudi beserta fish finder, GPS, radar, kompas, hingga kamar nakhoda. Tak hanya itu, kapal yang dimaksud juga dikabarkan memiliki fasilitas berupa ruangan tidur siswa berkapasitas 10 orang.
Tak hanya itu, fasilitas lainnya dari kapal latih tersebut yakni pada lambungnya. Dimana telah disiapkan cold storage berkapasitas 15 ton ikan dan memiliki tiga mesin. Mesin utama berkekuatan 6 selinder yang membuatnya mampu melaju dengan kecepatan 2 knot.
Kemudian kapal tersebut juga telah disiapkan tiga jenis alat tangkap ikan untuk melatih keterampilan siswa, seperti pukat cincin, long line dan gillnet. Begitu pun untuk keamanannya, kapal latih tersebut telah disiapkan 25 pelampung dan tabung keselamatan yang dapat digunakan pada saat mengalami kejadian darurat.
Advertisement
Kasus Dugaan Suap Proyek DAK Rp40 miliar di Kota Pare-Pare
Kasus dugaan suap proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) di Kota Pare-Pare ini terbilang sebagai kasus yang paling tinggi mendapat perhatian masyarakat Sulsel sejak awal terkuak hingga belakangan penyelidikannya dikabarkan kabur alias tak jelas.
Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Ibrahim Tompo mengatakan pihaknya dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel tak pernah menangani perkara dugaan suap proyek DAK yang dimaksud.
"Kita gak ada tangani perkara itu dan tidak ada pelimpahan perkara dari Bareskrim," singkat Ibrahim via pesan singkat kepada Liputan6.com, Senin 25 November 2019.
Sementara sebelumnya Kombes Pol Yudhiawan Wibisono yang saat itu menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel menegaskan jika kasus dugaan Suap Proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare, penanganannya resmi diambil alih oleh Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Krimsus) Polda Sulsel dari tangan penyidik Tipikor Polres Pare-Pare.
"Kasus ini sudah digelar di Bareskrim Mabes Polri dan hasilnya direkomendasikan agar penanganannya diambil alih oleh Polda Sulsel," kata Yudhiawan saat ditemui di Markas Polda Sulsel, Selasa 10 September 2019.
Sementara, lanjut Yudhiawan, penanganan kasus dugaan raibnya dana kas Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Pare-Pare, tetap ditangani oleh Unit Tipikor Polres Pare-Pare. Dimana kedua kasus tersebut masih berkaitan erat.
"Kasus raibnya dana Dinkes itu kan sudah penyidikan bahkan sudah ada penetapan tersangka. Itu tetap dilanjutkan oleh Polres Pare-Pare. Kasus dugaan suap proyek DAK resmi kita yang tangani," jelas Yudhiawan.
Seret Nama Wali Kota
Lembaga binaan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) sebelumnya berharap penanganan kasus dugaan suap proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare dapat berjalan secara profesional.
"Kasus ini kan menarik dan dikabarkan mencatut nama Kepala Daerah setempat. Sehingga kami harap ditangani secara maksimal dan profesional," ucap Kadir Wokanubun, Direktur ACC Sulawesi.
Ia berharap aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut segera mengonfirmasi pernyataan mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pare-Pare, Muh Yamin yang menyatakan dirinya diperintahkan oleh Wali Kota Pare-Pare, Taufan Pawe menyerahkan uang sebesar Rp 1,5 miliar kepada seorang pengusaha dari Papua, Hamzah sebagai bentuk pengembalian biaya pengurusan proyek DAK tambahan perubahan tahun anggaran 2016 sektor jalan sebesar Rp 40 miliar yang turun di Kota Pare-Pare.
"Ini juga harus segera dikonfirmasi kebenarannya. Hingga saat ini pihak Kepolisian terkesan tak berkutik padahal pernyataan tertulis Yamin bersama dua orang PNS lainnya soal itu beredar luas di media sosial (medsos)," ujar Kadir.
Tak hanya itu, sejak awal ACC Sulawesi juga mendesak aparat penegak hukum yang menangani kasus DAK Kota Pare-Pare tersebut turut mengonfirmasi perihal pernyataan mantan Kepala Dinas Kesehatan Pare-Pare, Muh Yamin yang telah menyebutkan bahwa setiap selesai rapat dengan DPRD Kota Pare-Pare, ia dikabarkan kerap menyerahkan sejumlah uang.
"Sampai detik ini kan belum ada yang dikonfirmasi kebenarannya oleh penyidik Kepolisian baik sewaktu ditangani awal oleh Polres Pare-Pare hingga saat ini Polda Sulsel. Inilah sehingga kami mendesak Kejati Sulsel bahkan ke KPK untuk segera ambill alih kasus ini," jelas Kadir.
Simpang Siur Penanganan
Sebelumnya, Penyidik Unit Tipikor Polres Pare-Pare berjanji akan menuntaskan penanganan kasus dugaan suap proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare.
"Ditunggu saja yah. Mudah-mudahan kasusnya bisa cepat selesai," kata Kapolres Pare-Pare yang saat itu dijabat oleh AKBP Pria Budi.
Pria saat itu mengatakan pihaknya tak hanya menangani kasus dugaan suap DAK, melainkan juga menangani kasus dugaan raibnya uang kas milik Dinas Kesehatan Kota Pare-Pare sebesar Rp 6,7 miliar tahun anggaran 2017-2018 yang juga melibatkan pihak yang sama dan saat ini statusnya sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan.
"Kalau kasus dugaan suap DAK itu masih tahap penyelidikan. Kita saat ini masih fokus penyidikan kasus Dinkes Kota Pare-Pare. Tolong dibedakan," tutur Pria kala itu.
Hal yang berbeda disampaikan oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, yang saat itu dijabat oleh Kombes Pol Yudhiawan Wibisono. Mantan Penyidik senior KPK itu, justru memastikan penanganan kasus dugaan suap DAK Kota Pare-Pare telah ditingkatkan ke tahap penyidikan.
"Sudah naik sidik itu," ucap Yudhiawan via pesan singkat, Selasa 2 Juli 2019.
Meski demikian, kala itu, ia mengaku pihaknya belum mengambil alih penyidikan kasus dugaan suap proyek DAK yang dikabarkan mencatut nama Wali Kota Pare-Pare, Taufan Pawe tersebut.
"Kita sudah berikan petunjuk teknis (juknis) dan Polres Pare-Pare memang serius tangani dan tak ada hambatan apapun," jelas Yudhiawan.
Menurutnya hingga saat ini penyidikan kasus dugaan suap proyek DAK oleh Polres Pare-Pare telah berjalan maksimal. Selain telah memeriksa sejumlah saksi yang terkait, penyidik juga telah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) guna penghitungan kerugian negara.
"Ini yang sementara ditunggu oleh penyidik. Setelah hasilnya ada, fokus penyidik akan mencari siapa pihak yang patut bertanggungjawab dalam kegiatan yang merugikan negara tersebut," terang Yudhiawan.
Kasus Diatensi KPK
Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) terakhir melaporkan resmi kasus dugaan suap proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) setelah mendapat jawaban lisan dari Kanit Tipikor Polres Pare-Pare, Ipda Sukri Abdullah yang mengatakan pihaknya tak menangani kasus DAK yang dimaksud.
Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun membenarkan jika pihaknya telah menyerahkan langsung bukti berupa kopian surat pernyataan tiga PNS tentang adanya dugaan suap proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare ke pimpinan Kejati Sulsel yang baru, Firdaus Weldimar saat bertandang ke Kantor ACC Sulawesi menjalin silaturahmi, Selasa 23 Juli 2019.
"Kami saat itu bersurat ke Polres Pare-Pare meminta penjelasan perkembangan kasus dugaan suap proyek DAK tersebut. Surat kami tak dibalas, malah Kanit Tipikor menelepon kami jika kasus tersebut tak ditangani pihaknya. Yah sudah makanya kami lapor ke Kejati untuk ditangani dan bukti kami sudah serahkan langsung ke Pak Kajati," terang Kadir.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), yang saat itu dijabat oleh Salahuddin membenarkan adanya laporan kasus dugaan suap DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare oleh lembaga ACC Sulawesi tersebut.
"Memang benar. Kejati Sulsel telah menerima sejumlah salinan dokumen pengakuan tiga orang PNS dari ACC Sulawesi atas kasus dugaan suap proyek DAK Kota Pare-Pare. Hal ini juga telah kami sampaikan ke pimpinan dan kami tinggal menunggu petunjuk selanjutnya," singkat Salahuddin saat itu.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut mengatensi penanganan kasus dugaan suap proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare yang penanganannya dikabarkan simpang siur itu.
Koordinator Supervisi dan Pencegahan (Koorsupgah) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Aldiansyah Malik Nasution dikonfirmasi via telepon mengatakan dirinya berencana akan segera berkoordinasi dengan Polda Sulsel maupun Kejati Sulsel terkait kelanjutan penanganan kasus tersebut.
Dengan demikian, kata dia, penanganan kasusnya akan menjadi perhatian Korsup KPK.
"Kami akan bergerak cepat untuk berkoordinasi dengan Polda Sulsel terkait kasus yang dimaksud," ujar Aldiansyah, Minggu 25 Agustus 2019.
Ia mengatakan seluruh penanganan kasus korupsi yang terkesan mangkrak akan segera diatensi oleh pihaknya. Diantaranya kasus dugaan suap DAK Pare-Pare yang cukup mendapat perhatian besar publik belakangan ini.
Kasus Terungkap dari Pernyataan Tiga PNS
Penyelidikan kasus dugaan suap proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare oleh Polres Pare-Pare berawal setelah beredarnya sebuah surat pernyataan tiga orang PNS Pemkot Pare-Pare masing-masing dr Muhammad Yamin, Taufiqurrahman dan Syamsul Idham ke media sosial (medsos).
Dimana dalam surat pernyataan yang dibubuhi materai bernilai Rp 6000 itu, ketiga PNS Pemkot Pare-Pare yang dimaksud menyatakan telah bersama-sama mengantarkan dan menyerahkan dana sebesar Rp 1,5 miliar kepada pengusaha dari Papua, H. Hamzah di sebuah mal bernama Mall Ratu Indah Makassar sebagai pengembalian pengurusan proyek DAK 2016 sebesar Rp 40 miliar yang telah diterima oleh Kota Pare-Pare.
Ketiganya juga menyatakan melakukan hal yang dimaksud berdasarkan perintah Wali Kota Pare-Pare, Taufan Pawe.
Advertisement
Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan Pasar Rakyat di Jeneponto
Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel resmi menetapkan empat orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan tiga pasar rakyat di Kabupaten Jeneponto.
Para tersangka yakni Saenal Arifin selaku konsultan perencana, Rian Sukayanto selalu konsultan pengawas serta Muh. Takbir Takko dan Haruna Daeng Talli selaku rekanan atau pelaksana pekerjaan.
"Ada empat orang tersangka masing-masing inisial SA, RS, MT dan HR. Perannya ada yang sebagai pelaksana pekerjaan, pengawas dan perencana," kata Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Ibrahim Tompo via telepon, Minggu 17 November 2019.
Ia mengatakan dengan adanya empat orang tersangka saat ini, bukan berarti penyidik berhenti mendalami adanya keterlibatan pihak lain. Dimana sebelumnya penyidik telah menemukan adanya modus pengaturan proses lelang dan pengurangan volume pekerjaan dalam kegiatan pembangunan tiga pasar rakyat di Kabupaten Jeneponto tersebut.
"Yang lain sedang didalami. Nanti kita info lagi," ujar Ibrahim.
Adapun kerugian negara yang ditimbulkan dari kegiatan pembangunan tiga pasar rakyat yang dimaksud, kata Ibrahim, sesuai perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel, ditemukan kerugian negara sebesar Rp 800 juta lebih.
"Kerugian negara Rp 800 jutaan. Itu sesuai hasil audit kerugian negara," terang Ibrahim.
Terpisah, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi, Kadir Wokanubun berharap penyidik tidak menutupi keterlibatan Wakil Bupati Jeneponto, Paris Yaris dalam kasus dugaan korupsi pembangunan tiga pasar rakyat di Kabupaten Jeneponto tersebut.
"Kami heran penetapan tersangka hanya menyentuh kalangan bawah saja. Padahal sejak awal kasus ini jelas melibatkan peran Wakil Bupati Jeneponto. Kok penyidik terkesan menutupi itu. Ada apa sebenarnya dengan penyidik," tegas Kadir via telepon.
Keterlibatan Wakil Bupati
Dalam penyidikan kasus ini, Penyidik Subdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Sulsel telah memeriksa sejumlah saksi. Diantaranya Wakil Bupati Jeneponto, Paris Yaris.
Dari hasil keterangan saksi lainnya yang lebih awal diperiksa, menyebutkan peran Paris. Dimana ia disebut-sebut sebagai orang yang mengurus turunnya anggaran pembangunan tiga pasar rakyat dan mengarahkan Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk memenangkan perusahaan tertentu dalam proses lelang.
Sehingga dari keterangan saksi tersebut, penyidik melakukan pendalaman dengan memeriksa Paris hingga tiga kali selama dalam tahap penyidikan.
"Iya. Yang bersangkutan sudah diperiksa sebanyak tiga kali di tahap penyidikan ini," ucap Kasubdit III Tipikor Dit Reskrimsus Polda Sulsel, Kompol Yudha Wiradjati, Jumat 19 Juli 2019.
Selain memeriksa Paris, penyidik juga telah memeriksa mantan Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Jeneponto Muh Sofyan, dan Konsultan Pengawas, Rian Sukayanto.
Kemudian turut memeriksa Pelaksana Pekerjaan Pasar Lasang-lasang dan Paitana, Awaluddin Asri alias Daeng Kulle, Direktur CV Risca Perdana, M Nasir, Direktur CV Nardin Dwi ARS, Basmahuddin Syam, Kuasa Direktur CV Nardin Dwi ARS, Haruna Daeng Talli, Pengawas Pekerja CV Citra Lestari Mandiri, Irwan Dg Guna, Konsultan Perencana tiga pasar dari CV Triasa Mandiri dan CV Sentral Desain Consultan, Saenal Arifin.
Tak hanya itu, Pelaksana Pembangunan Pasar Lassang-lassang atau CV Citra Lestari Mandiri, Muh Takbir Takko dan Konsultan pengawas, Sukku juga telah diperiksa selama tahap penyidikan berlangsung.
Kronologi Kasus
Tim penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel sebelumnya telah menggeledah sekaligus menyita sejumlah dokumen penting dari beberapa titik lokasi yang ada di lingkup Kantor Bupati Jeneponto, Selasa 16 Juli 2019.
Penggeledahan sekaligus penyitaan sejumlah dokumen tersebut merupakan bagian dari proses penyidikan kasus dugaan korupsi pembangunan tiga pasar rakyat di Kabupaten Jeneponto masing-masing Pasar Lassang-lassang, Pasar Paitana dan Pasar Pokobulo.
Ketiga pasar rakyat tersebut diketahui menggunakan anggaran sebesar Rp 3,7 miliar yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran 2017.
"Diduga dalam proses lelang terjadi persekongkolan antara panitia dengan pemenang tender (persekongkolan vertikal)," ucap Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono saat itu.
Penggeledahan sekaligus penyitaan oleh tim penyidik, kata dia, dilakukan di beberapa titik. Masing-masing di ruangan bidang akutansi, bidang anggaran, bagian pengadaan barang dan jasa, ruang Asisten II Ekonomi dan Pembangunan serta rumah seorang staf Unit Layanan Pengadaan (ULP) pada Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Jeneponto, Alamsyah.
"Ruangan yang digeledah ada di Kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Jeneponto dan Disperindag Jeneponto," jelas Yudhiawan.
Selain upaya penggeledahan dan penyitaan sejumlah bukti berupa dokumen penting, penyidik juga sementara berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel dalam rangka perhitungan kerugian negara yang ditimbulkan dari pelaksanaan pekerjaan pembangunan tiga pasar rakyat yang dimaksud.
"Kita target gelar perkara kasus dugaan korupsi pembangunan tiga pasar rakyat Jeneponto ini secepatnya untuk penetapan tersangka," Yudhiawan menandaskan.
Aroma Korupsi Kegiatan Tambang Galian C di Kabupaten Maros
Kasus ini sempat menghebohkan masyarakat Sulsel sehingga tak butuh waktu lama, Polda Sulsel kemudian bergerak membentuk tim menyelidiki kondisi yang ada di lapangan.
Polda Sulsel melalui tim Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel tak hanya fokus dengan kasus tambang galian C yang ilegal atau tak berizin, namun turut mendalami sejumlah dokumen perizinan yang dikabarkan dimiliki oleh beberapa penambang galian C di Kabupaten Maros.
"Yang ilegal kan jelas yah. Tapi yang legal alias mengaku punya izin juga kita akan selidiki. Sejauh mana proses perizinan mereka terbit untuk kemudian dijadikan dasar menambang di beberapa Kecamatan di Kabupaten Maros," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel yang saat itu masih dijabat oleh Kombes Pol Yudhiawan Wibisono, Rabu 11 September 2019.
Yudhiawan mengatakan sejauh ini pihaknya telah memeriksa sejumlah pihak terkait. Diantaranya Bupati Maros, H.M Hatta Rahman selaku pemangku kebijakan di daerah yang dimaksud.
"Dari keterangan Bupati, Pemda Maros tak pernah sedikit pun mengizinkan penambangan. Tapi kenyataannya kan ada beberapa penambang mengaku ada izin. Nah itulah yang kita akan telusuri sejauh mana prosesnya sehingga izin tambang ada yang keluar," terang Yudhiawan.
Dalam kasus tambang galian C di Kabupaten Maros, kata Yudhiawan, terdapat lima kasus. Diantaranya kasus tambang galian C yang ada di Kecamatan Moncongloe, Tanralili dan Tompobulu.
"Ini semuanya jelas tambang ilegal dan sementara diselidiki mendalam oleh tim sumdaling," jelas Yudhiawan.
Advertisement
Akademisi Ungkap Unsur Tipikor Kasus Tambang C di Maros
Tak hanya lembaga pegiat anti korupsi, kalangan akademisi di Provinsi Sulsel pun ramai-ramai mendukung upaya Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel menyelidiki adanya bau korupsi pada maraknya kegiatan penambangan galian C di Kabupaten Maros.
Jermias Rarsina, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar (UKI Paulus Makassar) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi, tentunya tak lepas dari adanya unsur penyalahgunaan kewenangan dan jabatan.
Penyalahgunaan kewenangan dan jabatan yang dimaksud, lanjut dia, berkaitan dengan adanya unsur kesengajaan yang terbagi dalam kategori sengaja sebagai niat atau maksud, sengaja sebagai insyaf kemungkinan kepastian dan mengetahui tetapi tidak mengambil tindakan sehingga menghendaki terjadinya tindak pidana.
Selain unsur kesengajaan, kata Jermias, penyalahgunaan kewenangan dan jabatan juga bisa disebabkan karena unsur kelalaian (culpa lata) sehingga terjadi perbuatan tindak pidana.
"Nah dalam kebijakan penambangan yang dimaksud, tentunya berkaitan dengan zona atau area penambangan itu sendiri. Maka, pemerintah setempat harus mengetahui masalah atau kegiatan aktivitas di wilayahnya atau lokasi beroperasinya penambangan tersebut," jelas Jermias, Jumat 23 Agustus 2019.
Berkaitan dengan masalah penambangan galian C khususnya yang ilegal di Kabupaten Maros misalnya, jika prakteknya sudah terjadi dalam waktu yang begitu lama, maka sangat irasional atau tidak masuk akal ketidaktahuan Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Maros (Pemkab Maros).
Sekalipun, kata Jermias, kewenangan penerbitan izin penambangan yang ada, itu melekat pada Pemerintah Provinsi dalam hal ini Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Provinsi Sulsel.
"Tapi karena zona area penambangan itu ada pada pemerintah setempat dalam hal ini Kabupaten Maros, maka setidak-tidaknya keberadaan lokasi itu diketahui oleh Pemkab Maros," urai Jermias.
Ia mengatakan persoalan dengan praktek kegiatan ilegal tambang galian C yang begitu lama beroperasi di Kabupaten Maros, dapat dipastikan bukan lagi berpotensi. Akan tetapi realitasnya sudah terjadi kerugian negara dan tentunya unsur kerugian negara tersebut, berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi.
"Jadi tidak sekedar pemberian sanksi yang sifatnya administrasi, penutupan atau sebagainya. Karna ada kerugian uang negara, tinggal kita melihat dari subtansi unsur-unsur penyalahgunaan kewenangan atau jabatan berkaitan dengan fungsi-fungsi pemerintahan dan tata kelola penambangan itu," ucap Jermias.
"Apakah memang memenuhi unsur sengaja ada perbuatan melawan hukum yaitu penyalahgunaan kewenangan ada, apakah ada kerugian keuangan negara disitu atau ekonomi negara dirugikan," lanjut Jermias.
Tapi praktisnya, menurut Jermias, dengan adanya penambangan ilegal galian C yang begitu lama, tentunya tak terlepas dari adanya keuntungan.
"Kegiatan penambangan berarti ada pemanfaatan yang didapatkan, yaitu soal keuntungan. Maka kalau ada keuntungan dan keuntungan itu ilegal, berarti sudah pasti ada bentuk kerugian negara," Jermias menandaskan.
Perjalanan Kasus Tambang Galian C
Tim Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel terus berupaya maksimal dalam menyelidiki adanya bau korupsi pada maraknya kegiatan tambang galian C ilegal di Kabupaten Maros.
Tak hanya itu, dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas penambangan galian C ilegal yang dimaksud juga menjadi fokus perhatian penyidik dengan menggandeng tim subdit sumber daya alam dan lingkungan (Sumdaling)
"Jadi penyidik akan mendalami semua aspek. Termasuk kemungkinan dampak kerusakan lingkungan serta adanya dugaan korupsi atau gratifikasi dalam pusaran kegiatan tambang galian C di Kabupaten Maros tersebut," ucap Kepala Bidang Humas Polda Sulsel yang saat itu dijabat oleh Kombes Pol Dicky Sondani.
Dari hasil cek lapangan yang dilakukan tim, ditemukan sejumlah aktivitas penambangan galian C yang tak berizin dan hal itu akan diproses lebih lanjut.
"Semua yang tak berizin sudah terdata dan akan diproses lebih lanjut," jelas Dicky.
Tim juga telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap seluruh pihak yang terkait dalam pusaran kegiatan penambangan galian C di Kabupaten Maros tersebut.
"Sudah ada beberapa pihak yang sudah diperiksa sejak tiga pekan lalu dan itu akan terus berlanjut," tutur Dicky.
Sorotan Pegiat Anti Korupsi
Maraknya aktivitas penambangan galian C di Kabupaten Maros mendapat perhatian serius beberapa lembaga pegiat anti korupsi di Sulsel. Salah satunya dari lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi).
Kadir Wokanubun, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) mengatakan maraknya aktivitas penambangan galian C di Kabupaten Maros tak terlepas dari mudahnya pelaku penambangan mendapatkan rekomendasi pengurusan izin penambangan oleh Pemerintah Kabupaten Maros (Pemkab Maros) dalam hal ini dinas-dinas terkait yang kemudian dijadikan dasar oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) menerbitkan izin penambangan.
Padahal menurut Kadir, sebelum mengeluarkan rekomendasi atau izin yang dimaksud, perlu ada kajian secara mendalam. Selain mempertimbangkan aspek lingkungan juga aspek pendapatan negara yang dihasilkan dari adanya kegiatan aktivitas penambangan galian C tersebut.
"Saya kira pemberian izin penambangan ini sangat ketat. Kalau dipermudah justru patut dicurigai adanya kemungkinan gratifikasi didalamnya," terang Kadir via telepon.
Ia berharap Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel segera mengusut adanya aroma korupsi di balik mudahnya penerbitan izin aktivitas tambang galian C di Kabupaten Maros tersebut.
"Kami juga sesalkan sikap dingin Komisi II DPRD Maros yang sebelumnya menyidak langsung beberapa titik kegiatan penambangan galian C di Kabupaten Maros diantaranya di Kecamatan Moncongloe," ujar Kadir.
Komisi II DPRD Maros yang menyidak lokasi penambangan saat itu, kata Kadir, seakan tak berkutik saat diperlihatkan dokumen perizinan oleh beberapa diantara pelaku penambangan galian C di lokasi yang disidaknya.
Padahal, kata Kadir, para anggota Komisi II DPRD Maros tersebut tak boleh begitu saja langsung menyerah setelah diperlihatkan dokumen perizinan.
"Kan bisa ditelusuri apakah betul izinnya terbit melalui proses yang benar atau telah memenuhi syarat ketentuan yang berlaku dan sejauh mana pelaksanaan izin yang dikeluarkan itu di lapangan. Bukan terima begitu saja," ungkap Kadir.
Kadir mencurigai penerbitan izin penambangan galian C di Kabupaten Maros tak melalui prosedur yang benar. Karena kata dia, masyarakat setempat sendiri hampir tak menginginkan adanya aktivitas tambang galian C di daerahnya itu.
"Proses pengurusan izin prinsip itu kan dasar dan pembahasannya harus melibatkan masyarakat setempat sebagai masyarakat yang terkena dampak langsung. Nah ini mereka justru menolak tapi kok penambangan tetap berlangsung," ungkap Kadir.
Ia tak sepakat jika Komisi II DPRD Maros hanya memberikan sangsi berupa rekomendasi penutupan sementara terhadap aktivitas penambangan galian C di Kabupaten Maros khusus di wilayah Kecamatan Moncongloe yang belakangan sangat diresahkan oleh masyarakat setelah aktivitas lalu lalang truk pengangkut hasil tambang galian C menelan korban jiwa. Dimana dikabarkan ada seorang warga tertabrak oleh truk pengangkut galian C tersebut.
"Aktivitas penambangan galian C di wilayah tersebut, juga ditemukan banyak yang ilegal alias tak mengantongi izin atau izinnya sudah kadaluarsa tapi tetap beraktivitas. Ini kan jelas merugikan negara dan sangat patut diusut sebelum menelan kerugian negara lebih besar," tutur Kadir.
Ia yakin hasil yang didapatkan para pelaku penambangan galian C di Kabupaten Maros tak sebanding dengan nilai yang disetorkan ke kas negara.
"Aktivitas eksploitasi SDA di sana sudah berlangsung lama dan bisa dicek berapa besaran kontribusi kegiatan itu terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Maros khususnya. Kami yakin tak sebanding," jelas Kadir.
ACC Sulawesi, terang Kadir, sangat berharap Dit Reskrimsus Polda Sulsel segera mengusut kasus ini agar aktivitas penambangan galian C di Kabupaten Maros tak menimbulkan lebih besar kerugian negara serta ancaman lebih besar terhadap lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat sekitar dan pada umumnya masyarakat Kabupaten Maros.
"Coba bayangkan jika terjadi dampak bencana akibat keberadaan tambang galian C disana, tentunya Pemda Maros kembali menggelontorkan anggaran besar untuk pemulihan. Kenapa sejak awal tak diantisipasi karena hasil dari kegiatan tambang yang ada tak sebanding dengan pendapatan yang masuk ke kas daerah/negara," Kadir menandaskan.
Advertisement
Kasus Dugaan Korupsi Sewa Lahan Negara
Masyarakat Sulsel sontak heboh pasca mendengar kabar penangkapan Soedirjo Aliman alias Jentang oleh tim Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sebuah persembunyiannya di sebuah hotel di daerah Senayan, Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.
Jentang merupakan buronan kasus dugaan korupsi proyek penyewaan lahan negara yang terletak di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.
Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kejati Sulawesi Selatan Nomor : PRINT-509/R.4/Fd.1/11/2018. Dimana dari hasil perbuatannya itu, negara ditaksir telah merugi sebesar Rp 500 juta.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Mukri mengatakan Jentang memilih buron hampir 2 tahun setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kota Makassar
"Jadi yang bersangkutan menghilang sejak ditetapkan sebagai tersangka tepatnya pada 1 Nopember 2017 oleh Kejati Sulsel," kata Mukri dalam keterangan rilisnya.
Ia mengatakan Jentang merupakan buronan ke 345 yang terdaftar pada program tabur 31.1 Kejagung. Dimana terhitung sejak program tersebut diluncurkan resmi oleh Kejaksaan pada tahun 2018 lalu.
"Dari total buronan yang berhasil tertangkap dalam program tabur 31.1, Jentang merupakan buronan ke 138 yang berhasil tertangkap di tahun 2019 ini," tutur Mukri.
Usai menangkap Jentang, Tim Intelijen Kejagung kemudian menyerahkannya ke pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) guna menjalani proses hukum lebih lanjut.
"Tersangka diterbangkan menuju Makassar untuk menjalani proses hukum selanjutnya," Mukri menandaskan.
Peran Jentang dalam Kasus Korupsi Sewa Lahan Negara
Jentang ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proyek penyewaan lahan negara disertai dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Perannya terungkap sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara tepatnya yang berlokasi di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.
Hal itulah kemudian penyidik akhirnya menetapkan ia sebagai tersangka dugaan korupsi disertai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang juga telah dikuatkan oleh beberapa bukti.
Diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan buloa yang sebelumnya sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ketiga terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.
Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.
Jentang diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.
“Nah dana tersebut diduga diterima oleh tersangka melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya ,”kata Jan S Maringka yang menjabat sebagai Kepala Kejati Sulsel saat itu dalam konferensi persnya di Kantor Kejati Sulsel, Rabu 1 November 2017 lalu.
Menurutnya, penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.
“Kejati Sulsel akan segera melakukan langkah langkah pengamanan aset untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut ,”tegas Jan.
Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus lahan negara ini, Kejati Sulsel langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.
“Tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ,” ucap Jan.Kronologi Kasus
Dalam perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara Buloa, sebelumnya telah menetapkan tiga orang terdakwa dan saat ini sedang menjalani proses persidangan di tingkat Kasasi Mahkamah Agung.
Ketiga terdakwa tersebut masing-masing mantan Asisten 1 Pemkot Makassar, M. Sabri, dan dua orang anak buah Jentang yakni Rusdin dan Jayanti.
Keterlibatan pihak lain dalam kasus ini pun terungkap didalam persidangan. Diantaranya ada menyebut keterlibatan owner PT Jujur Jaya Sakti, Soedirjo Aliman alias Jeng Tang Bin Liem Eng Tek, dan laywer senior Ulil Amri.
Dalam berkas dakwaan M. Sabri sendiri menyebut, Jentang dan Ulil hadir di semua pertemuan proses sewa lahan negara tersebut.
Proses terjadinya penyewaan lahan negara disebut terjadi setelah difasilitasi Sabri, yang mempertemukan pihak penyewa PT Pelindo dan PT Pembangunan Perumahan (PP) dengan Rusdin dan Jayanti selaku pengelola tanah garapan.
Bukti keduanya adalah pengelola tanah garapan didasari surat keterangan tanah garapan register nomor 31/BL/IX/2003 yang diketahui oleh Lurah Buloa Ambo Tuwo Rahman dan Camat Tallo AU Gippyng Lantara nomor registrasi 88/07/IX/2003 untuk Rusdin, sementara Jayanti nomor registrasi 30/BL/IX/2003 saksi lurah dan camat nomor registrasi 87/07/IX/2003 dengan luas 39.9 meter persegi.
Pada pertemuan pertama turut dihadiri Jentang selaku pimpinan Rusdin dan Jayanti yang bekerja di PT Jujur Jaya Sakti serta Ulil Amri yang bertindak sebagai kuasa hukum keduanya.
“Pertemuan pertama terjadi pada 28 Juli 2015 bertempat di ruang rapat Sabri selaku Asisten 1. Pada pertemuan itu terjadi negosiasi antara kedua belah pihak,” terang Irma, Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kemudian lanjut pada pertemuan kedua pada tanggal 30 Juli 2015. Dimana Jentang dan Ulil Amri kembali hadir bersama Rusdin yang bertindak mewakili Jayanti. Dalam pertemuan itu disepakati harga sewa lahan negara Buloa senilai Rp 500 Juta atau lebih rendah dari tawaran Jentang cs yang meminta nilai Rp1 Miliar.
Draf sewa lahan akhirnya disetujui dalam pertemuan berikutnya di ruko Astra Daihatsu Jalan Gunung Bawakaraeng. Dalam pertemuan ini kembali dihadiri oleh Jentang, Ulil Amri dan Rusdin mewakili Jayanti.
Akhirnya pada tanggal 31 Juli 2015 di Kantor Cabang Mandiri, PT PP melakukan pembayaran terhadap Rusdin dan Jayanti yang juga kembali dihadiri oleh Jentang dan Ulil Amri.
Kasus Oknum Pengusaha Tukang Atur-Atur Proyek Alkes di Sulsel
Kasus ini cukup menyita perhatian masyarakat Sulsel belakangan. Pasalnya mengungkap kedok seorang pengusaha ternama di Sulsel yang bernama Imelda Obey.
Komisi 3 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikabarkan merekomendasi pihak Kejaksaan agar segera mengusut keberadaan Imelda Obey, oknum pengusaha di Sulsel yang dikabarkan kerap bermain mengatur-atur pelaksanaan proyek pengadaan alat kesehatan (Alkes).
Anggota Komisi 3 DPR, Sarifuddin Sudding mengatakan dalam memuluskan aksinya mengintimidasi sejumlah Kepala Daerah di Sulsel dalam hal pelaksanaan proyek pengadaan alkes, Imelda Obey diduga bermufakat jahat dengan oknum di institusi Kejaksaan.
"Kami di Komisi 3 sudah memerintahkan pihak Kejaksaan khususnya Kejati Sulsel agar segera proses hukum oknum pengusaha bernama Imelda tersebut," kata Sarifuddin.
Ia mengatakan, awal terungkapnya sepak terjang Imelda berawal dari pembahasan kinerja Tim Pengawal Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) atau Tim Pengawal Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D).
Dimana dalam pelaksanaannya, program TP4 maupun TP4D dikabarkan kerap dimanfaatkan oleh segelintir oknum Kejaksaan untuk meminta jatah pengerjaan proyek.
Tak hanya itu, dari laporan yang diterima oleh Komisi 3 khususnya dari daerah Sulsel, dimana dikabarkan ada seorang pengusaha bernama Imelda juga kerap memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan oknum Kejaksaan untuk mengintimidasi Kepala Daerah dalam hal pelaksanaan kegiatan pengadaan alkes.
"Imelda ini melakukan permufakatan jahat dengan oknum Kejaksaan mengintimidasi Kepala Daerah dalam hal kegiatan pengadaan alkes. Yah dia seenaknya mengatur-atur pelaksanaan alkes memanfaatkan hubungan dekat dengan oknum itu," terang Sarifuddin.
Dengan adanya hal tersebut, menjadi salah satu dasar pertimbangan Komisi 3 memutuskan mengeluarkan rekomendasi pembubaran TP4 maupun TP4D bentukan HM Prasetyo saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Agung kemarin.
"Jadi kami di Komisi 3 jelas merekomendasi TP4 maupun TP4D dibubarkan saja," tegas Sarifuddin.
Desakan Pegiat Anti Korupsi
Sejumlah lembaga pegiat anti korupsi di Sulsel diantaranya Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi mengaku sangat mendukung upaya Komisi 3 yang telah merekomendasi pihak Kejaksaan agar segera mengusut kasus dugaan pengaturan pelaksanaan kegiatan pengadaan alkes di sejumlah daerah di Sulsel oleh seorang oknum pengusaha bernama Imelda Obey dengan cara memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan oknum di Kejaksaan mengintimidasi Kepala Daerah.
"Kejaksaan jangan menutup diri dari informasi publik terkait dugaan pengaturan alkes sebagaimana disampaikan oleh anggota DPR RI di sejumlah pemberitaan media," kata Kadir Wokanubun, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) di Makassar, Kamis 28 November 2019.
ACC Sulawesi, lanjut Kadir, juga mendukung Kejaksaan untuk menyelidiki dugaan pengaturan proyek alkes di Sulsel yang diduga dilakukan oleh oknum pengusaha bernama Imelda Obey sebagaimana disampaikan oleh anggota Komisi 3 DPR.
"Kami mendesak Kejaksaan untuk memberi sanksi kepada oknum Jaksa nakal yang diduga bermufakat jahat dengan yang bersangkutan dalam hal pengaturan proyek alkes di Sulsel," tegas Kadir.
Tak hanya itu, ACC Sulawesi, lanjut Kadir, juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera berkordinasi dan menyupervisi Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) agar pengusutan kasus dugaan pengaturan proyek alkes yang diduga dilakukan oleh oknum pengusaha, Imelda Obey segera dilakukan.
"Kita sangat berharap KPK segera lakukan koorsup ke Kejati Sulsel agar kasus ini segera diusut dan tidak terlalu lama berpolemik. Ini harus segera diusut hingga tuntas," ucap Kadir.
Menanggapi tudingan hingga adanya rekomendasi Komisi 3 DPR kepada Kejaksaan agar mengusut kasus dugaan pengaturan sejumlah proyek alkes di Sulsel tersebut, baik pihak Kejati Sulsel maupun oknum pengusaha Imelda Obey tampak memilih diam.
Pesan konfirmasi yang dilayangkan Liputan6.com baik kepada Pelaksana Tugas Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Andi Usama maupun oknum pengusaha yang dimaksud, Imelda Obey tampak hanya dibaca. Keduanya memilih tak memberikan jawaban.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement