Kisah Maurits Kafiar, Titik Balik Si Pemburu Burung Papua

Maurits Kafiar, pemburu burung yang berbalik menjadi penjaga burung.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 29 Jan 2020, 00:30 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2020, 00:30 WIB
Maurits Kafiar dari Raja Ampat (Foto: Andhy PS - FFI Raja Ampat)
Maurits Kafiar dari Raja Ampat (Foto: Andhy PS - FFI Raja Ampat)

Liputan6.com, Raja Ampat - Raja Ampat bukan hanya surga bawah laut. Kepulauan indah di Papua Barat ini lebih dahulu dikenal sebagai tempatnya burung-burung cantik.

Waigiou, satu bab dalam buku The Malay Archipelago yang ditulis Alfred Russel Wallace, menceritakan petualangan penulis mencari burung di Pulau Waigeo. Dalam bukunya yang terbit 1896 itu, Wallace menulis bahwa ia berhasil mencuplik 73 spesies, di mana 12 merupakan spesies baru dan banyak di antaranya yang sangat langka.

Miris, burung-burung tersebut di kemudian hari menjadi sasaran utama perburuan liar. Perburuan burung liar di Raja Ampat marak terjadi, terutama pada jenis cenderawasih merah (Paradisea rubra), kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), nuri kepala hitam (Lorius lory), dan perkici pelangi (Trichoglossus moluccanus).

Dengan harga jual Rp 1,5 juta rupiah per ekor di pasar gelap, sebagian warga Raja Ampat yang tadinya hanya berburu babi hutan atau memancing, berubah perilakunya menjadi pemburu burung. Pada musimnya, mereka bisa berburu 3-4 ekor, bahkan lebih, setiap harinya.

Wallace akan sangat masygul jika mengetahui ikhwal perburuan liar ini. Untungnya, selain para pemburu liar, masih ada para penjaga dan pelestari burung.

Salah satunya Maurits Kafiar, yang kini tinggal di Waigeo. Maurits turut hadir pada Wallacea Week 2019 di Makassar. Acara itu mengenang 150 tahun terbitnya catatan penjelajahan Wallace di Kepulauan Nusantara – Indonesia.

Maurits, seorang mantan pemburu burung yang berbalik menjadi seorang naturalis – ornitologis (ahli burung). Ia kemudian mengagas konservasi burung langka dan endemik Raja Ampat melalui ekowisata minat khusus, jelajah hutan, dan pengamatan burung.

Sejak 2016, Maurits beserta tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat dan Fauna & Flora International – Indonesia Programme (FFI-IP) melakukan berbagai pendekatan untuk mengedukasi masyarakat lokal tentang konservasi satwa liar, terutama burung. Dengan kegiatan ‘mencari burung’, ekowisata diusung menjadi solusi bagi mereka yang biasa bermatapencaharian memburu burung. Paket ekowisata bisa memberikan penghasilan tetap.

Secara ekonomi, justru lebih besar dari yang biasa mereka peroleh ketika menjadi pemburu. Sekalipun sulit dan sempat mendapat penolakan, namun pada akhirnya memberikan titik terang.

Melalui ekowisata, masyarakat kini mulai melihat bahwa konservasi justru merupakan peluang mata pencaharian bagi mereka.

 

Titik Balik Pemburu Burung

Burung Raja Ampat (Foto: Andhy PS - FFI Raja Ampat)
Burung Raja Ampat (Foto: Andhy PS - FFI Raja Ampat)

Kristian Maurits Kafiar, lahir pada 1983 di tengah pedalaman Wamena – Provinsi Papua. Ayahnya adalah seorang pendeta asal Biak dan melaksanakan tugas untuk suku-suku asli di pedalaman hutan.

Maurits besar bersama masyakarat lokal dan mengikuti keseharian mereka, sehingga sejak kecil sudah mahir menjadi pemburu. Cendrawasih adalah salah-satu burung yang paling sering ia buru dan dijadikan santapan di meja makan.

Pada 2009, berbekal keahliannya mengelas besi, Maurits mencari peruntungan ke Raja Ampat, kala itu merupakan kabupaten baru.

Tepat di hari kedua ia menginjakkan kaki di Tanah Raja, datang sekelompok turis mancanegara yang mencari pemandu lokal untuk mengantar mereka masuk ke dalam hutan.

Sayangnya, penduduk asli Raja Ampat pada saat itu tidak terbiasa masuk ke dalam hutan. Sehingga Maurits yang memang lahir dan besar di hutan Wamena turun tangan dan mendampingi mereka. Sepanjang tujuh hari mereka habiskan di dalam hutan Kalibiru – Teluk Mayalibit, untuk mencari burung.

Itu adalah kali pertama Maurits Kafiar mengetahui bahwa ada kegiatan lain yang bisa dilakukan dengan keahlian mencari burung. Turis mancanegara yang ia antar adalah tamu dari Papua Expeditions, yang menyediakan paket penjelajahan ke hutan-hutan pedalaman untuk mencari burung langka dan endemic.

Iwein Mauro, naturalis berkebangsaan Belgia, inspirator dan penasihat inisiatif tersebut, langsung jatuh hati pada keahlian yang dimiliki Maurits. Pertemuan tersebut membuka sebuah penjelajahan burung terpanjang yang pernah Maurits alami sepanjang hidupnya.

Bersama Iwein dan Papua Expeditions, Maurist mengantar tamu-tamu menjelajahi pulau terbesar kedua di dunia tersebut. Meliputi enam kabupaten di Papua-Papua Barat, mencakup Raja Ampat, Sorong, Biak, Jayapura, Wamena, dan Arfak-Manokwari, sepanjang lima tahun lamanya mereka menjelajah.

Penjelajahan itu 'melahirkan kembali' Maurits, yang tadinya seorang pemburu, menjadi seorang ahli burung.

Tahun 2013, Maurits tinggal di sebuah kampung di balik lebat hutan mangrove di pesisir Teluk Mayalibit, bernama Kalitoko. Ia menikah dengan gadis asli kampung tersebut, bernama Korina Lapon.

Pada bulan Maret di tahun tersebut, datanglah sekelompok peneliti dari Inggris ke kampung tersebut. Tim peneliti itu dipimpin oleh Frank Momberg, yang belakangan diketahui sebagai Development Director untuk FFI-Asia-Pasifik.

Mereka mencari area penelitian fauna dan flora dengan lokasi yang indah dan berpotensi untuk pariwisata. Mereka membandingkan semua tempat di Raja Ampat dengan Kalibiru. Menurut mereka, Kalibiru tidak ada tandingannya.

Maurits, yang hafal betul seluk beluk Kalibiru, angkat bicara pada pertemuan para peneliti dengan tokoh adat di suatu malam. Dia menceritakan bahwa Kalitoko tidak kalah dengan Kalibiru. Bahkan Maurits banyak menemukan jenis burung yang tidak bisa ditemui di Kalibiru atau tempat lain.

Sehingga potensi wisatanya besar. Namun bukan wisata masal, melainkan wisata minat khusus, misalnya trekking atau bird watching.

Karena penasaran, Frank dan Tim mengajak Maurits untuk masuk dan menjelajahi hutan Kalitoko. Seluruh ucapannya terbukti.

Berawal menunjukkan lokasi, Maurits dengan keahliannya tersebut akhirnya resmi bergabung menjadi staff dari FFI-IP dan bekerja nyata untuk konservasi burung dan satwa lain, tidak hanya di kampungnya, melainkan di seluruh Raja Ampat.

 

Ekowisata untuk Konservasi

Burung Raja Ampat (Foto: Andhy PS - FFI Raja Ampat)
Burung Raja Ampat (Foto: Andhy PS - FFI Raja Ampat)

Lebih dari 55 persen kawasan daratan Raja Ampat masuk dalam kawasan Cagar Alam. Di sisi lain, pemerintah menjadikan pariwisata sebagai sektor utama pembangunan ekonomi di Raja Ampat.

Alih-alih memandang sebagai ancaman, Maurits dan timnya memandang hal tersebut sebagai peluang, sepanjang dikelola dengan benar.

Berdasarkan data terkini dari BBKSDA Papua Barat yang melakukan survey bersama FFI-IP, tercatat setidaknya 274 jenis burung pada kepulauan Raja Ampat. Lima jenis di antaranya masuk daftar dilindungi dan diatur dengan undang-undang Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.

Kelima jenis burung tersebut adalah mambruk ubiat (Goura cristata), junai emas (Caloenas nicobarica), maleo waigeo (Aepypodius bruijnii), cendrawasih botak (Cicinnurus respublica), cndrawasih merah (Paradisaea rubra), dan kakatua koki (Cacatua galerita).

Enam tahun secara konsisten dilalui Maurits Kafiar dengan serangkaian penelitian biodiversitas dan edukasi ke masyarakat lokal. Kini, konservasi dan ekowisata pengamatan burung adalah dua hal yang melekat dengan dirinya.

Tak jarang Maurits menerima laporan masyarakat dan diminta menindak lanjut setiap terjadi perburuan liar di hutan sekitar kampung mereka. Untuk mempermudah pemantauan pada area konservasi yang begitu luas di Raja Ampat, Maurits membentuk tim Spatial Monitoring and Reporting Tool (SMART) Patrol.

Tim tersebut turut melibatkan seluruh aparat keamanan setempat dan masyarakat lokal di beberapa pulau. Tim ini yang melakukan pengawasan langsung pada kegiatan yang terjadi di area konservasi, seperti perburuan satwa liar atau pembalakan kayu ilegal.

Pada 2019, bersama-sama dengan BBKSDA dan FFI-IP, Maurits menginisiasi berdirinya Yayasan Maniambyan Raja Ampat (MARA). Sebagai penasihat, Maurits mendukung MARA melalui gagasan memperjuangkan konservasi dengan ekowisata sebagai solusinya. Iapun turun langsung dalam berbagai pendampingan dan pelatihan yang dilakukan pada masyarakat lokal di Raja Ampat.

Sebagai contoh, Kampung Warkesi di Pulau Waigeo. Para pemburu burung kini telah aktif menjadi pemandu aktivitas pengamatan burung dan pengelola spot pengamatan. Mereka juga dilatih dan dibina menjadi Tim Smart Patrol.

Hingga kini Tim Smart Patrol Warkesi telah mencatat banyak keberhasilan dalam menggagalkan kegiatan perburuan satwa liar di kawasan tersebut.

Spot pengamatan burung di Warkesi menjadikan dua jenis burung cenderawasih yang menjadi daya tarik utama dari atraksi ekowisatanya. Kedua jenis tersebut adalah cenderawasih merah (Paradisaea rubra) dan cenderawasih botak (Cicinnurus respublica).

Terhitung sejak Juni 2018 hingga Maret 2019, Warkesi telah menerima kunjungan sebanyak 121 turis. Turis terbanyak datang dari Eropa sebanyak 38,34 persen. Di urutan selanjutnya adalah yang berasal dari Asia (36,32 persen) dan Indonesia (26,23 persen), dan selebihnya datang dari Australia, Afrika, Amerika, dan Inggris.

Setiap kunjungan dikenakan tarif Rp 250 ribu rupiah per orang, atau Rp 300 ribu rupiah untuk fotografer. Mereka dipandu langsung oleh pendamping lokal untuk melihat secara eksklusif burung-burung cendrawasih menari di dalam hutan, langsung di habitatnya.

Selain paket pengamatan burung, juga ditawarkan paket checklist seharga 1,3 juta. Paket ini menawarkan penjelajahan hutan untuk mencari sebanyak mungkin jenis burung endemik Papua.

Seluruh uang yang diperoleh tersebut akan langsung didistribusikan ke masyarakat lokal yang mengelola, yang menyiapkan kudapan ringan, pemandu wisata, sekaligus biasa retribusi. Selain itu, uang tersebut juga digunakan untuk mendukung kegiatan Smart Patrol dan untu komunitas lokal/adat.

Selain pengunjung mendapatkan pengalaman tak ada duanya, sekaligus menyumbang untuk kegiatan konservasi. Maurits mengatakan bahwa nilai keberhasilan mereka dalam konservasi burung melalui kegiatan ekowisata mencapai 80-90 persen.

Ia menjadi saksi, bahwa dulu pertama kali ia datang ke Raja Ampat, burung-burung itu hanya bisa ditemukan jauh di dalam hutan. Sekarang, burung endemik dan langka di Raja Ampat mudah ditemukan di bahkan dalam kampung, di belakang rumah, dan di halaman-halaman.

“Silahkan datang ke Raja Ampat dan kalian saksikan sendiri bagaimana burung-burung ini hidup, tanpa takut dijerat atau diburu, menari liar dengan syahdu di dalam hutan, di habitatnya sendiri…” ajak Maurits.

(Ana Septiana / peneliti, kontributor Liputan6.com)

 

Berita ini sudah melalui proses koreksi dari pihak Papua Expeditions, terhadap beberapa penulisan dan fakta yang dinilai kurang tepat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya