Saiful Mahdi Melawan Gergasi

Majelis hakim telah mengetok palu, Saiful Mahdi, dosen yang terjerat kasus pencemaran nama baik terancam dibui. Lantas, apa reaksi pegiat HAM?

oleh Rino Abonita diperbarui 22 Apr 2020, 19:22 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2020, 19:00 WIB
Saiful Mahdi berfoto dengan latar mural berjudul "Riots" (Liputan6.com/Rino Abonita)
Saiful Mahdi berfoto dengan latar mural berjudul "Riots" (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Suatu hari di bulan Februari 2019, seorang doktor lulusan Cornell University melempar pesan di grup WhatsApp dengan kalimat pengantar "inna lillahi wa inna ilaihi rajiun" yang membuat seisi grup terperenyak. Doktor tersebut rupanya tengah memulai perang, dengan caranya sendiri.

Beberapa hari yang lalu tersebar spanduk pemberitahuan sidang dengan kalimat "membangkangi gergasi" dalam ukuran lebih besar. Spanduk tersebut hanyalah salah satu dari sekian adegan yang telah dilalui sang dosen setelah menabuh genderang perang pada hari itu.

Berlanjut pada suatu siang di mana seorang pemuda tetiba berdiri di tengah-tengah ruang pengadilan. Pemuda itu adalah salah satu dari kuasa hukum orang yang tengah duduk di kursi pesakitan, yang berdiri hanya untuk mengucapkan kalimat belasungkawa yang sama.

Hari itu, Selasa (21/4/2020), majelis hakim memvonis Saiful Mahdi bersalah dalam sidang di Pengadilan Negeri Banda Aceh Kelas IA. Ia dinyatakan terbukti mentransimikan dan membuat orang dapat mengakses informasi elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik.

Dosen statitiska itu pun dijatuhi hukuman penjara selama tiga bulan, denda Rp10 juta atau dapat diganti subsider satu bulan jika denda tersebut tidak disangggupi. Hukuman ini nyatanya tidak melenceng sedikit pun dari tuntutan jaksa penuntut umum, Fitri.

Namun, putusan tersebut dipandang janggal dan tidak masuk akal oleh tim penasihat hukum, jika tidak disebut nonsens belaka. Hakim dinilai tidak melihat bahwa ada yang tidak sinkron, khususnya, antara dakwaan dengan tuntutan.

Ketua tim penasihat hukum, Syahrul, mengatakan bahwa Saiful Mandi dituding telah menuduh koleganya, Taufik Saidi, dekan fakultas teknik Universitas Syiah Kuala melakukan korupsi, di dalam dakwaan. Tuduhan ini digadang-gadang muncul di dalam pesan yang dikirim oleh Saiful di grup WhatsApp internal akademisi "UnsyiahKita."

"Di dalam tuntutan, jaksa tidak menguraikan unsur tindak pidana bahwa klien kami telah menuduh Taufik Saidi korupsi sebagaimana yang disebutkan dalam dakwaan. Dalam pembuktian, apa yang didakwakan oleh jaksa tidak terbukti," terang ketua tim PH, Syahrul, kepada Liputan6.com, ditemui di kantornya, Selasa malam.

Karena pembuktian atas dakwaan gagal, tuntutan yang disusun jaksa dinilai kabur. Kendati kekaburan tersebut telah diuraikan secara terperinci melalui nota pembelaan atau pledoi, namun, hal tersebut sama sekali tidak pernah masuk dalam pertimbangan majelis hakim.

Imbuh Syahrul, majelis hakim diketuai Eti Astuti murni hanya berpedoman pada pendapat ahli pidana yang dihadirkan jaksa saja, yaitu Dahlan Ali, dosen Fakultas Hukum Unsyiah. Syahrul menduga kesaksian tersebut sengaja dipersiapkan sebagai justifikasi atas ketidakmampuan pembuktian melalui alat bukti yang sebelumnya telah dihadirkan jaksa.

Lazimnya, karena pemeriksaan ahli adalah bagian dari pembuktian mestinya dilakukan sebelum pemeriksaan terhadap terdakwa berlangsung, namun, Dahlan dihadirkan setelah pemeriksaan terdakwa dilakukan. Majelis hakim telah memberi kesempatan kepada jaksa untuk menghadirkan ahli tambahan setelah pemeriksaan terdakwa.

"Dan, kami sudah bertanya pada saksi pidana Dahlan tersebut pada awal sidang,  dan dia mengakui tidak pernah melakukan penelitian dan menulis terkait UU ITE. Pendapatnya tidak bersandar pada teori hukum dan aturan hukum, jika tidak disebut sedang "halu." Ini jadi bukti bahwa yang bersangkutan tidak kompeten," ketus Syahrul.

Keanehan sebelumnya juga muncul saat jaksa menghadirkan ahli ITE dari Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh. Selain mengaku bukan ahli, dosen bernama Fadlisyah itu cenderung menyetir penjelasannya ke arah ilmu tasawuf yang sama sekali tak berkaitan dan dapat disebut melantur.

Sebaliknya, pihak terdakwa telah mengajukan ahli yang berkaitan dan diakui kredibilitasnya. Antaranya, salah satu perumus UU ITE yang kini menjabat sebagai staf ahli bidang hukum Kemekominfo RI, Prof. Henri Subiakto, serta Herlambang P. Wiratraman, akademisi di Universitas Airlangga yang konsentrasi di bidang kebebasan berpendapat.

"Semua ahli tersebut sepakat bahwa yang dilakukan Saiful merupakan kritik yang dijamin oleh konstitusi. Namun, keterangan mereka disampingkan oleh majelis hakim. Kelak putusan ini hanya akan menjadi preseden buruk yang mengancam kebebasan berpendapat," pungkas lelaki yang kini menjabat sebagai direktur YLBHI-LBH Banda Aceh.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak juga video pilihan berikut ini:

Tak Memenuhi Unsur

Sidang putusan Saiful Mahdi (Liputan6.com/Rino Abonita)
Sidang putusan Saiful Mahdi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Klaim bahwa majelis hakim telah menafikan fakta-fakta dalam persidangan juga diluapkan Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra. Ia turut menyorot tentang tidak terpenuhinya unsur "seseorang" dari pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 3 UU ITE yang dipersangkakan kepada Saiful.

Di dalam pesan yang telah menyeret Saiful ke meja hijau tersebut, tidak ada kalimat yang merujuk seseorang dan jabatan tertentu, kata Hendra. Dalih pelapor untuk melindungi institusi juga dipandang aneh karena jika ditilik dari struktur kepemimpinan, maka yang paling berhak melaporkan dosen yang telah mengabdi puluhan tahun itu ialah rektor, bukan Taufik Saidi yang notabene hanya merupakan dekan fakultas teknik.

"Kedua, dengan kasus seorang dosen dipidana hanya karena kritik terhadap kampus, saya melihat ada sesuatu yang macet di kampus. Sebagai ruang adu argumentasi dan intelektual, harusnya apa yang ditulis oleh Saiful Mahdi dibalas dengan argumentasi," kata Hendra.

Saiful sendiri telah menyatakan sanggup mempertanggungjawabkan apa yang telah ditulisnya dengan mekanisme yang lebih akademis karena kritiknya itu berdasarkan pada data, hitung-hitungan yang sarat dan bertepas bukan hantam kromo belaka. Nyatanya ruang tersebut ditutup rapat dan kesempatan itu tidak pernah diberikan, ketus Hendra.

"Ke depan, kampus itu tidak akan lagi menjadi ruang diskusi. Yang ditakutkan, orang tidak akan berani memberi kritik dan masukan. Kita enggak kritik, enggak usah ngomong apapun lagi di kampus, kita studi-studi saja," sinisnya.

Pasal Karet

Ilustrasi ruang tahanan (Liputan6.com/Rino Abonita)
Ilustrasi ruang tahanan (Liputan6.com/Rino Abonita)

Dalam siaran pers-nya, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyebut putusan majelis hakim atas Saiful sebagai sebuah kabar duka, dan telah menambah daftar panjang pemidanaan atas kebebasan ekspresi yang diakibatkan oleh UU ITE.

KIKA memiliki sejumlah pandangan terkait putusan hakim tersebut. Antaranya, majelis hakim tidak dapat membedakan kritik terhadap subjek, antara jabatan dan kelembagaan dengan perorangan atau individual.

Di sini, hakim menganggap kritik terhadap jabatan ditujukan pada perorangan, sehingga dianggap memenuhi unsur pasal penghinaan dalam KUHP. Dengan adanya putusan ini, kelak setiap pengkritik pejabat termasuk pejabat kampus dengan mudah dapat dipidana.

Sebagai medium terbatas, grup WhatsApp "Unsyiah Kita" merupakan media sosial dengan anggota terbatas serta memiliki aturan internal. Sementara, orang yang melaporkan Saiful notabene tidak pernah berada dan jadi bagian dari grup tersebut.

Jauh ditilik, KIKA menilai hal ini bertentangan dengan kaidah yurisprudensi atau putusan terkait sebelumnya soal medium terbatas yang sama. Misal, dua putusan bebas terhadap Prita Mulyasari melalui yahoo email grup pada 2010, dan Joko Hariono melalui grup Facebook pada 2016.

Pun tidak pernah terbukti apakah kritik Saiful mengandung unsur kebohongan atau tidak. Karena itu, KIKA menilai pertimbangan hukum majelis hakim tak mengikuti doktrin pidana apabila sebuah kritik diduga mengandung kebohongan, harusnya pembohongan publik itu yang mesti dibuktikan terlebih dahulu sebelum dikualifikasi sebagai sebuah tindakan defamasi.

Jaksa Takyakin

Papan nama PN Banda Aceh Kelas IA (Liputan6.com/Rino Abonita)
Papan nama PN Banda Aceh Kelas IA (Liputan6.com/Rino Abonita)

Prof. Henri Subiakto memandang jaksa Fitri takyakin dengan kebenaran penerapan hukum atas tuntutannya sendiri. Namun, agaknya ia tidak mungkin menihilkan atau mencabut tuntutan tersebut karena persidangan telah jauh berjalan.

"Karena kalau berdasar norma hukum yang dikenakan yaitu melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE sanksi hukumannya bisa sampai empat tahun dan atau denda 750 juta. Artinya rumusan normanya cukup tinggi, jauh di atas tuntutan," terang Henri dalam keterangan diterima Liputan6.com.

Jadi, jalan yang ditempuh oleh jaksa diduganya sebagai jalan tengah saja, jika tidak disebut jalan "menyelamatkan muka." Karena itu, tuntutan tiga bulan penjara menjadi satu-satunya pilihan atas keragu-raguan yang kiranya bisa saja sempat berkecamuk di dalam hati nurani sang jaksa.

Tim penasihat hukum Saiful sendiri memutuskan untuk mengambil langkah hukum yang lebih jauh dengan membawa kasus ini ke tingkat pengadilan tinggi. Mereka bersiap untuk melakukan "banding."

Oleh Henri, hal ini dinilai bukan sebagai langkah biasa. Lebih jauh menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap pasal yang selama ini mengancam demokrasi dan telah memakan ribuan korban.

Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) sendiri mencatat tidak kurang dari ribuan orang dilaporkan sejak UU ITE disahkan pada 2008. Anton Muhajir kepada sebuah media mengatakan bahwa lembaganya itu mendapat data ada sekitar 3.100 kasus terkait dengan pasal dalam UU ITE.

"Kalau putusan ini diterima, akan membenarkan bahwa pasal 28 UUD 1945 bisa dikalahkan oleh UU ITE, padahal tidak demikian. Ini hanya persoalan interpretasi yang salah terhadap penerapan UU," kata Henri.

Sebagai pengingat, Saiful adalah dosen statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unsyiah yang tersangkut hukum setelah kritikan yang dilempar di grup WhatsApp internal diperkarakan oleh koleganya.

Isi pesan yang diunggah pada Maret 2019 ditulisnya atas dasar dugaan tak ada unsur meritokrasi dalam perekrutan tenaga pengajar (CPNS) tahun 2018 di fakultas teknik Unsyiah. Sebelumnya, seorang dosen dari fakultas teknik industri berstatus nonpegawai yang mengajar lebih kurang 2 tahun ikut serta di dalam tes tersebut.

Saat tahapan tes objektif, —Tes Kemampuan Dasar (TKD)— dosen bernama Trisna itu muncul sebagai peserta dengan nilai tertinggi tingkat fakultas dan kedua tingkat universitas, namun, setelah mengikuti tahapan subjektif, ia dinyatakan tidak lulus. Satu-satunya yang resah akan hal itu adalah Saiful, sang martir yang kini terancam mendekam di penjara.

"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?"

"Gong Xi Fat Cai!!!"

"Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen."

"Hanya para medioker atau yang terjerat 'hutang' yang takut meritokrasi."

Jauh sebelum semua ini terjadi, seorang pimpinan salah satu kampus kesohor dengan jemawa pernah mengatakan kepada sejumlah calon dosen bahwa musik jauh-jauh hari sudah ditabuh, semua orang mesti menari sesuai irama musik tersebut. Tapi, irama musik tersebut terdengar sumbang bagi sepuluh orang di antara calon dosen tersebut.

"Kami memilih tidak ikut menari. Kami memilih untuk membuat musik sendiri yang menurut kami lebih indah dan lebih baik," kata Saiful, orang yang hari itu berada di dalam barisan sepuluh orang yang menangkap adanya nada-nada yang terdengar sumbang tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya