Pro dan Kontra Pelepasan Tanah HGU di Cilacap, Warga Pertanyakan Legalitas

Sebagian tanah tersebut telah diperjuangkan sejak lama melalui mekanisme reforma agraria

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 18 Feb 2021, 10:30 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2021, 10:30 WIB
Sosialisasi pelepasan tanah HGU yang dikelola PT RSA, di Mekarsari, Kecamatan Cipari, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Sosialisasi pelepasan tanah HGU yang dikelola PT RSA, di Mekarsari, Kecamatan Cipari, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Rencana pelepasan atau pelimpahan tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) PT Rumpun Sari Antan (RSA) di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah menuai pro dan kontra. Sebagian warga mempertanyakan legalitas pelepasan ini lantaran perusahaan tersebut hanyalah pemegang HGU.

Pro kontra itu muncul saat sosialisasi pelepasan tanah HGU di Dusun Pitulasi, Desa Mekarsari, Cilacap, Rabu (17/2/2021). Terlebih, pemohon tanah diwajibkan membayar ganti rugi atau kompensasi sebesar Rp50 ribu per meter tanah permukiman, dan Rp40 ribu per meter tanah kebun/ladang atau sawah.

Kepala Desa Mekarsari, Wantinah mengatakan, berdasar hasil pertemuan antara PT RSA dengan empat kepala desa pekan lalu, pihak RSA akan melepas sekitar seluas 1.050 hektare lahan HGU. Namun, prioritas pertama pelepasan adalah tanah permukiman.

Dia mengakui, sebagian tanah tersebut telah diperjuangkan sejak lama melalui mekanisme reforma agraria. Karenanya, banyak yang berharap agar pelepasan atau pelimpahan tanah ini tanpa biaya.

Akan tetapi, menurut dia ini adalah kesempatan yang langka dan sayang jika tak dimanfaatkan. Terlebih, harga yang ditawarkan cukup murah. Dengan harga tersebut, warga sudah menerima tanah beserta sertifikatnya.

“Bagi yang ingin menunggu tanah diberikan gratis, seperti yang sudah diperjuangkan, monggo. Tapi ini PT RSA juga akan melepas tanah, ini adalah kesempatan,” kata Wantinah, Rabu (17/2).

Namun, rencana pelepasan tanah dengan kompensasi itu memicu pertanyaan sejumlah warga. Sebagian besar menyoroti legalitas pelepasan tanah tersebut.

Salah satunya Ketua BPD Mekarsari, Puji Hartono. Dia menanyakan dokumen pelepasan tanah dari PT RSA. Dokumen tersebut penting agar warga bisa mengetahui informasi lebih jelas.

Menurut dia, untuk pelepasan lahan seribu hektare lebih itu itu, tidak mungkin dilakukan tanpa dokumen lengkap. Terlebih, informasinya pelepasan tanah HGU tersebut telah disepakati dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) PT RSA dan jajaran direksi.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Pelepasan Tanah dengan Kompensasi Dinilai Ilegal

Pembuatan film dokumenter konflik tanah dan reforma agraria di Kecamatan Cimanggu, Cilacap, kerja sama AJI Kota Purwokerto dengan CLC Purbalingga dan STAM. (Foto: Liputan6.com/Kukuh-Muhamad Ridlo)
Pembuatan film dokumenter konflik tanah dan reforma agraria di Kecamatan Cimanggu, Cilacap, kerja sama AJI Kota Purwokerto dengan CLC Purbalingga dan STAM. (Foto: Liputan6.com/Kukuh-Muhamad Ridlo)

Puji juga mempertanyakan legalitas proses pelepasan tanah HGU tersebut. Sebab, disebut bahwa masyarakat akan memperoleh hak kepemilikan atas tanah. Sementara, PT RSA hanyalah pemegang HGU. Sedangkan tanah tersebut tetap dalam kepemilikan negara.

"Sederhananya, yang berhak mengalihkan kepemilikan itu ya pemiliknya, negara. Dalam pemikiran saya seperti itu. Warga juga keberatan dengan nilai kompensasi tersebut,” ucap Puji.

Ketua Presidium LSM Serikat Tani Mandiri (STAM), Sugeng menilai pelepasan tanah berstatus HGU PT RSA menyalahi aturan. Pasalnya, pelepasan lahan HGU hanya bisa dilakukan oleh pemilik lahan, yakni negara.

Ia juga menyoroti pelepasan tanah disertai dengan kompensasi atau ganti rugi. Pelepasan tanah yang dimaksud dalam reforma agraria (RA) adalah pelepasan lahan oleh negara kepada masyarakat dan bersifat hibah. Karenanya, jika ada ada nominal yang muncul dalam proses itu, dianggap ilegal.

“Entah itu disebut sebagai ganti rugi, ganti untung, kompensasi, atau jual beli, itu tidak bisa dibenarkan. Karena proses reforma agraria itu sendiri seharusnya gratis, karena sudah ditanggung negara,” kata Sugeng.

Sugeng mengungkapkan, sebagian tanah yang hendak dilepas oleh PT RSA tersebut adalah lahan yang sudah dimohonkan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Status kepemilikannya adalah negara.

Sejarahnya, tanah tersebut dibuka dan dikelola oleh masyarakat sejak sebelum masa kemerdekaan. Namun, pasca-revolusi 1965, banyak warga yang dituduh terlibat PKI dan akhirnya dikonsentrasikan di permukiman yang disembut Tampungan.

Sedangkan lahan warga dirampas. Menurut Sugeng, tanah Kampung Tampungan sendiri, juga sudah dilepas melalui mekanisme redistribusi tanah oleh negara kepada masyarakat pada 2009, namun hingga kini belum terealisasi.

“Pada 2009 dari pelepasan tanah 291 hektare, baru terealisasi 267 hektare sekian. Masih sisa 24 hektare, itu adalah permukiman yang seharusnya sudah diredistribusi kepada masyarakat,” kata Sugeng.

 

Penjelasan PT RSA

Salah satu sudut kampung Tampungan, di Kecamatan Cipari, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Kukuh-Muhamad Ridlo)
Salah satu sudut kampung Tampungan, di Kecamatan Cipari, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Kukuh-Muhamad Ridlo)

Koordinator Teritorial PT RSA, Hermanto mengatakan pelepasan tanah tersebut sudah berpayung hukum. Akan tetapi, ia mengaku tak memegang dokumennya karena Direktur PT RSA, yang sebelumnya sempat direncanakan hadir dalam sosialisasi, mendadak berhalangan.

“Semua sudah sesuai dengan aturan yang ada. Saat pelepasan tanah nanti, juga akan bersama dengan BPN,” ucap Hermanto.

Hermanto memastikan proses pelepasan lahan tersebut legal. Menurut dia, pelepasan tanah HGU PT RSA merupakan respons dari permohonan empat kepala desa di dua kecamatan, Cipari dan Cimanggu, untuk pelepasan lahan.

Menurut dia, pelepasan ini bisa dibenarkan karena pemilik HGU memiliki sejumlah opsi. Opsi pertama adalah memperpanjang atau tidak memperpanjang HGU. Kedua, pemilik sertifikat HGU bisa melimpahkan tanah tersebut.

“Sehingga kami mempelajari, jajaran direksi juga melakukan itu. Karena untuk sertifikat HGU itu, satu ketika akan dilanjutkan sah, kedua kalau akan dilimpahkan juga sah. Nah, hal-hal itulah, celah seperti itu, yang ketika permohonan dari empat kades itu, kami pelajari, kita sampaikan. Adapun mekanisme dan sebagainya, PT RSA,” kata Hermanto.

Permohonan empat kepala desa itu kemudian dirapatkan di jajaran direksi, dan diperoleh kata sepakat bahwa lahan tersebut akan dilepas. Namun, ia enggan memastikan bahwa yang dilepas atau dilimpahkan adalah 1.050 hektare.

“Nanti kami rumuskan nggih, belum bisa kami sampaikan,” ucapnya.

Perihal pertanyaan warga mengenai legalitas pelepasan tanah ini, Hermanto juga menjawab bahwa hal itu akan dijelaskan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya