Menilik Perubahan Iklim dari Tingkah Laku Ikan Tuna

Di balik berkah nikmatnya ikan tuna, ternyata memiliki manfaat lain yang bahkan menjadi indikator alami bagi perubahan iklim.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Nov 2021, 00:57 WIB
Diterbitkan 28 Nov 2021, 00:42 WIB
Tuna Sirip Biru
Pengusaha restoran sushi Jepang, Kiyoshi Kimura memamerkan ikan tuna sirip biru seberat 276 kilogram di restoran utamanya di Tokyo, Minggu (5/1/2020). Tuna raksasa itu dibeli dalam lelang perdana 2020 dengan harga USD 1,8 juta atau sekitar Rp 24 miliar. (Kazuhiro NOGI / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Negara maritim Indonesia adalah berkah yang tidak terhindarkan dari sebuah bentuk geografis Bumi. Biru dan lengkungan cakrawala di atas permukaan laut, bagaikan garis lintang dan garis bujur pada atlas yang nampak kasat mata.

Luasnya lautan Indonesia, menjadikan  isi dan kandungan samudra merupakan kekayaan natural yang nyata bagi Nusantara. Tidak kalah unggul, ikan tuna merupakan salah satu warisan alam yang dimiliki Indonesia sebagai sajian makanan terbaik dari tanah leluhur ini.

Beberapa negara mengakui bahwa ikan tuna Indonesia memiliki tingkatan komposisi terbaik dari jenis varietas ikan ini. Salah satunya ikan tuna sirip biru yang manjadi primadona andalan Nusantara, yang bobotnya bisa mencapai hingga 100 kg.

Tak disangka, di balik berkah nikmatnya ikan tuna, ternyata memiliki manfaat lain yang bahkan menjadi indikator alami bagi perubahan iklim. Menurut hasil penelitian dari pakar oseanografi pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Martiwi Diah Setiawati, tuna memiliki sensor terbaik dalam memberikan indikator kenaikan suhu dalam laut.

"Sebenarnya Indonesia ini, setiap tahun konsisten suhunya selalu naik di dalam laut, maka dari itu pergerakan tuna akan berbanding lurus dengan grafik pemetaan perubahan suhu di laut Indonesia," kata Tiwi, sapaan akrab Dr Martiwi Diah Setiawati, dilansir Antara.

Tingkah laku tuna selalu berganti, tergantung kondisi sekitar. Apabila dingin atau di perairan hangat, maka pada jenis tuna tertentu akan cenderung berpindah mengikuti suhu yang disukai. Tuna relatif mencari tempat yang nyaman, yaitu perairan yang cenderung kondisi suhu dingin. Oleh karena itu, melalui pengindraan jarak jauh, pergerakan tuna dapat memberikan gambaran wilayah mana saja yang mengalami kenaikan suhu. Sebab, praktis, perairan yang mengalami kenaikan suhu, maka akan semakin sedikit varietas tuna yang tinggal di dalamnya, dan tentunya akan bermigrasi.

Secara kualitas, Tiwi menjelaskan bahwa pengindraan jarak jauh dapat memetakan kondisi laut dan insturmen yang dapat dideteksi, misalnya suhu, clorofil, salinitas atau tingkat kepekatan air garam, di mana instrumen tersebut dipetakan dengan pengindraan jarak jauh, yang dintegrasikan dengan pemetaan jalur migrasi ikan tuna, sehingga dapat disimpulkan nanti hasil dari pergerakan perubahan suhu di laut yang menentukan tingkat perubahan iklim.

Meskipun tuna memiliki banyak varietas, namun rata-rata tuna selalu bermigrasi dari suhu hangat menuju ke suhu yang lebih dingin. Sehingga kaitan pergerakan ikan tuna di samudra dengan grafis perubahan iklim dari suhu lautan sangat erat kaitannya, bahkan bisa diukur serta diprediksi.

Secara general, semua spesies tuna menghindari suhu di atas 29 derajat celcius. Lautan yang dekat dengan daerah perkotaan memiliki tekanan panas yang jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain karena efek urban heat island. Tanpa adanya perubahan kebijakan, perluasan level tekanan panas tertinggi (level tekanan sangat kuat), maka kondisi terburuk dari pemanasan global akan ada peningkatan, setidaknya lebih dari dua kali lipat pada Tahun 2030, dengan skenario perubahan lahan dan perubahan iklim. Bahkan, saat kondisi ekstrem, level tekanan panasnya akan meningkat satu level lagi di atasnya ( tekanan panas extreme).

Namun, upaya pencegahan juga harus diterapkan dan kendalanya adalah, tuna bukanlah jenis ikan yang dibudi daya, sehingga pertumbuhan dan perkembangbiakan mereka akan alami dalam ekosistem. Dalam upaya pencegahan peningkatan suhu lautan, dapat dilihat dari kacamata biogeokimia.

Siklus Karbon di Laut

Ikan tuna dan cakalang. (Dok KKP)
Ikan tuna dan cakalang. (Dok KKP)

Peneliti ahli madya bidang Biogeokimia Laut Dr. A’an Johan Wahyudi memberikan jawaban adalah, karbon yang beredar di laut harus diatur agar dapat mengurangi pemanasan global yang berasal dari laut.

"Bidang riset saya adalah biogeokimia laut, yaitu salah satu cabang ilmu interdisipliner yang mempelajari proses pertukaran atau perubahan yang berlaku terus menerus antara komponen abiotik dengan komponen biotik," ujarnya.

Secara khusus, biogeokimia mempelajari transfer unsur materi (misalnya karbon, nitrogen, oksigen, air, dan lainnya) antarkompartemen lingkungan.

Siklus karbon di laut memiliki faktor kuat dalam peningkatan suhu. Oleh karena itu yang harus diperhatikan kadarnya di antaranya harus mempelajari penyerapan dan emisi karbon, sistem karbonat yang berperan pada terjadinya perubahan iklim dan pengasaman laut. Siklus karbon ekosistem pesisir maupun di laut pelagis berlangsung secara dinamis, di mana proses dan variasinya saling berpengaruh dengan faktor-faktor fisis (arus, suhu, salinitas), maupun faktor kimiawi dan biologis (nutrien, logam berat, produktivitas primer dan lainnya).

Perairan laut Indonesia, terutama di kawasan Paparan Sunda, menerima input daratan yang masif. Misalnya, diperkirakan 0.5 Pg karbon organik masuk dari daratan ke pesisir setiap tahun melalui sungai-sungai. Ekstensif input dari darat, terutama Pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa, menyebabkan kawasan Asia Tenggara menjadi hot-spot utama untuk fluks karbon, nutrien dan logam berat. Misalnya, fluks karbon organik darat ke laut di area ini diperhitungkan sebesar 10 persen dari total input global karbon terlarut. Kondisi ini juga mempengaruhi respons perairan pesisir dan laut secara fisik, biologis dan kimiawi, misalnya blooming chlorophyll-a, anomali suhu muka laut dan pengayaan nutrien.

Pengayaan karbon dan nutrien, baik disebabkan oleh pola variabilitas musiman laut maupun input dari daratan, menyebabkan respons langsung dan tidak langsung. Respons langsung, misalnya peningkatan produktivitas primer, biomass plankton, berkurangnya kecerahan perairan pesisir, atau terjadinya kondisi oksigen minimum. Respons tidak langsung, misalnya perubahan signifikan ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun) dan kejadian luar biasa marak alga berbahaya atau ubur-ubur.

Secara global, meningkatnya konsentrasi karbon di atmosfer secara drastis sejak masa revolusi industri, telah tampak nyata berpengaruh pada laut. Kenaikan tersebut secara simultan menyebabkan pemanasan global, kenaikan suhu permukaan laut, pengasaman laut dan penurunan kadar oksigen, di mana secara jangka panjang bisa dipastikan akan memengaruhi produktivitas perikanan maupun perekonomian berbasis laut (ocean-based economy) lainnya.

Satu hal jika ingin mengendalikan perubahan iklim adalah mampu mengontrol laju dari revolusi industri yang nantinya akan bermuara pada kelestarian lingkungan, baik di darat, maupun pesisir laut. Dengan terkendalinya laju revolusi industri, maka produksi karbon yang dapat memengaruhi kadar keasaman air laut dapat dikurangi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya