Menepis Nestapa Keluarga Korban 'Penghilangan Paksa' di Aceh

Dinilai molor dalam membahas UU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, Pemerintah kembali disentil. Simak beritanya:

oleh Rino Abonita diperbarui 31 Agu 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2022, 12:00 WIB
Foto yang diyakini menangkap detik-detik Mukhlis dan Zulfikar diangkut ke dalam mobil sebelum dihilangkan (Data KontraS Aceh/Liputan6.com)
Foto yang diyakini menangkap detik-detik Mukhlis dan Zulfikar diangkut ke dalam mobil sebelum dihilangkan (Data KontraS Aceh/Liputan6.com)

Liputan6.com, Aceh - Pemerintah Indonesia kembali diingatkan untuk segera meratifikasi Konvensi Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa. Hal ini ditegaskan oleh Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna.

Pernyataan Husna dalam menyambut peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional setiap 30 Agustus. Menurut dia, ratifikasi atau pengesahan dokumen konvensi ke dalam UU RI jadi barometer atas komitmen pemerintah dalam melakukan perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.

Selain itu, ratifikasi ini dibutuhkan sebagai langkah pencegahan serta pengakuan dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa. Namun, upaya untuk membahas RUU dari konvensi tersebut terkesan menyiput.

"Bahkan, tahun 2013 konvensi ini pernah masuk ke DPR RI tetapi pembahasannya justru ditunda hingga tak ada kabar. Alasannya masih membutuhkan waktu untuk konsultasi dan mengkaji ulang," ujar Husna, kepada Liputan6.com, Selasa (30/8/2022).

Husna kembali mengingatkan apa pernah yang terjadi di Aceh berkisar antara 1989-2005. Banyak orang yang dihilangkan secara paksa tatkala militer berkuasa di provinsi itu.

Penghilangan orang secara paksa sendiri, kata Husna, memiliki karakteristik dampak yang berbeda dari pelanggaran HAM lainnya. Misal, keluarga sulit memastikan apakah korban masih hidup atau tidak bahkan jika pun telah dihilangkan nyawanya, keluarga tidak tahu di mana dia ditanam.

"Disebut meninggal tidak bisa, disebut masih hidup juga tidak bisa. Banyak Ibu yang tidak mampu menjelaskan status keberadaan ayah anaknya. Bahkan, sejumlah bantuan juga tidak dapat diterima oleh anak korban karena bukan berstatus yatim," jelas dia.

Karena itu, keluarga atau orang di sekitar korban sesungguhnya juga dapat disebut sebagai korban akibat tindakan penghilangan orang secara paksa. Pemerintah seharusnya tahu hal ini, tegasnya.

KontraS Aceh sendiri kehilangan dua relawan mereka, yakni Mukhlis dan Zulfikar pada 2003. Menurut data Kontras, kedua pria yang bekerja untuk Link for Community Development (LCD) menghilang usai dibawa paksa oleh pria berpakaian preman saat mereka sedang mendampingi masyarakat yang sedang berdemonstrasi di pendopo bupati Bireuen. Demonstrasi saat itu disebabkan adanya rencana pendirian Pos Brimob BKO di Keude Dua, Juli.

"Molornya Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa di Indonesia jadi preseden buruk atas pemenuhan hak atas kebenaran, keadilan pemulihan bagi Keluarga korban orang hilang termasuk mencegah keberulangan," pungkas Husna.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya