Liputan6.com, Yogyakarta - Prostitusi disebut-sebut sebagai salah satu pekerjaan atau profesi tertua di dunia. Bahkan, pekerjaan "gelap" ini telah tumbuh dan berkembang di berbagai belahan dunia sejak peradaban muncul.
Di Indonesia keberadaan prostitusi sudah ada sejak masa kejayaan kerajaan kuno di Jawa. Keberadaan pekerjaan ini disebut sebagai jalir yang bermakna pekerja seks.
Begitu juga dengan kata kajaliran yang muncul di beberapa prasasti dan kitab-kitab era Kerajaan Mataram Kuno. Dalam karya sastra kuno, kata jalir muncul di dalam Kakawin Bharattayuddha, Kindung Sunda, Kitab Tantri Demung, dan Nisisastra.
Advertisement
Baca Juga
Selain jalir, kata lanji juga ada dikenal sebagai makna dari prostitusi di sekitar Jawa Tengah. Pekerjaan ini semakin berkembang di nusantara sejak masa kolonial Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda melegalkan transaksi "jual beli" seks pada 1852. Selain dilegalkan, kala itu prostitusi juga diatur secara ketat.
Tujuannya untuk mencegah konsekuensi berbahaya yang muncul akibat prostitusi. Pada saat itu, wanita-wanita yang menjadi pekerja seks komersial (PSK) mendapat julukan sebagai public women atau publieke vrouwen.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Didata
Publieke vrouwen diawasi secara ketat oleh kepolisian dan wanita-wanita yang menjalani profesi ini akan didata. Mereka diwajibkan menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mencegah penyakit-penyakit menular seperti sifilis yang dikenal mematikan.
Wanita yang ketahuan memiliki penyakit akan dicabut izinnya kemudian diisolasi dalam sebuah fasilitas yang disebut inrigting voor zieke publieke vrouwen. Di sana, para Publieke vrouwen yang terkena penyakit akan dirawat.
Dua dekade setelah keluarnya peraturan soal prostitusi, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan pengawasan prostitusi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sebab, seperti disulut api, legalitas pekerjaan prostitusi menyebabkan angka infeksi menular seksual semakin tinggi.
Kurangnya tenaga medis dan obat-obatan membuat penyembuhan penyakit menular di daerah-daerah sulit dilakukan. Pemerintah pusat Hindia Belanda berharap pemerintah daerah dapat membantu mencegah penyebaran penyakit kelamin.
Di Batavia, para petugas medis ditunjuk untuk memeriksa para Publieke vrouwen setiap Sabtu pagi sejak 1875. Sedang di Surabaya, pada masa itu memiliki tiga rumah bordil kampung yang digunakan sebagai upaya untuk mengendalikan penyebaran infeksi menular seksual (IMS).
Sebab selain di rumah bordil tersebut, praktik prostitusi tidak boleh dilakukan. Selain itu, para PSK juga diwajibkan memeriksakan kesehatannya.
Pertumbuhan tempat prostitusi semakin bertambah seiring terhubungnya tempat ini dengan rel kereta api. Maka, kemudian kebutuhan akan PSK pun ikut bertambah.
Beberapa tempat prostitusi muncul pada saat itu di lokasi-lokasi yang dekat dengan stasiun kereta api seperti Kebon Jeruk, Kebon Tangkil, Sukamanah, dan Saritem di Bandung, Pasar Kembang (Sarkem) di Yogyakarta, dan tempat prostitusi dekat Stasiun Semut di Surabaya.
Saat Indonesia beralih dikuasai Jepang, maka dimulailah sejarah kelam perbudakan seks yang dilakukan tentara Jepang terhadap wanita-wanita pribumi. Wanita-wanita yang sebelumnya sudah menjadi PSK dikumpulkan dan dilakukan pemeriksaan kesehatan.
Mereka semua kemudian disebar ke berbagai rumah bordil untuk menghibur tentara Jepang. Bukan hanya wanita pribumi, wanita-wanita Belanda, serta wanita dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong pun dipaksa datang ke Jawa untuk menjadi publieke vrouwen atau jugun ianfu dalam Bahasa Jepang.
Advertisement