Liputan6.com, Yogyakarta - Jamu identik sebagai minuman herbal atau obat alami yang memiliki banyak manfaat untuk tubuh. Jamu umumnya diolah dengan cara ditumbuk atau diperas untuk diambil sarinya.
Jamu berasal dari dua kata bahasa Jawa Kuno, yakni 'djampi' dan 'oesodo'. Djampi bermakna penyembuhan, sedangkan oesodo bermakna kesehatan.
Istilah jamu diperkenalkan ke publik lewat orang-orang yang dipercaya memiliki ilmu pengobatan tradisonal. Mesti tak bersertifikat, khasiat jamu telah teruji memiliki banyak manfaat, sehingga tetap digunakan sebagai obat tradisional hingga sekarang.
Advertisement
Beberapa bahan herbal yang umumnya digunakan untuk membuat jamu adalah kunyit, temulawak, lengkuas, jahe, kencur, dan kayu manis. Khusus gula jawa, gula batu, dan jeruk nipis, biasanya digunakan sebagai penambah rasa segar dan manis.
Baca Juga
Mengutip dari indonesia.go.id, ternyata keberadaan jamu sudah ada sejak 1300 Masehi. Tradisi minum jamu ini juga mengalami pasang surut sesuai zamannya.
Secara garis besar, sejarah jamu terbagi menjadi beberapa zaman, yakni zaman pra-sejarah saat pengolahan hasil hutan marak berkembang, zaman penjajahan Jepang, zaman awal kemerdekaan Indonesia, hingga zaman sekarang.
Sejak zaman Kerajaan Mataram hingga saat ini, masyarakat Indonesia masih mengonsumsi jamu. Para perempuan akan lebih berperan dalam memproduksi jamu, sedangkan pria berperan mencari tumbuhan herbal alami.
Fakta tersebut diperkuat dengan adanya temuan artefak cobek dan ulekan, yakni alat tumbuk yang digunakan untuk membuat jamu. Artefak tersebut bisa dilihat di situs arkeologi Liyangan yang berlokasi di Lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah.
Selain artefak, ditemukan pula bukti-bukti lain, seperti alat-alat membuat jamu yang banyak ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta. Temuan itu tepatnya berada di Candi Borobudur pada relief Karmawipangga, Candi Prambanan, Candi Brambang, dan beberapa lokasi lainnya.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Sempat Mengalami Penurunan
Seiring berkembangnya zaman, tradisi meminum jamu sempat mengalami penurunan. Masa tersebut terjadi saat pertama kali ilmu modern masuk ke Indonesia.
Saat itu, kampanye obat-obatan bersertifikat sukses mengubah pola pikir masyarakat Indonesia yang akhirnya membuat minat terhadap jamu menurun. Selain perihal standar atau sertifikat, khasiat dari jamu pun turut dipertanyakan.
Kemudian, pada masa penjajahan Jepang, yakni sekitar tahun 1940-an, tradisi meminum jamu kembali populer. Hal tersebut terjadi karena telah dibentuknya Komite Jamu Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap khasiat jamu pun kembali memingkat. Jamu pun bukan sekadar berbentuk minuman, tetapi juga bertransformasi menjadi pil, tablet, hingga bubuk instan yang mudah diseduh.
Pada 1974 hingga 1990, mulai banyak berdiri perusahaan jamu. Pada era itu juga ramai diadakan pembinaan dan pemberian bantuan dari Pemerintah agar pelaku industri jamu dapat meningkatkan aktivitas produksinya.
Sementara itu, dalam "Minuman Jamu Tradisional sebagai Kearifan Lokal Masyarakat di Kerajaan Majapahit Pada Abad Ke-14 Masehi" oleh Deby Lia Isnawati disebutkan, primbon terlengkap yang membahas tentang jamu ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Primbon tersebut ditulis setelah zaman Kerajaan Kartasura di Surakarta pada 1742 tahun Jawa atau 1814 Masehi.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom merupakan putra dari Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV yang bertakhta Sunan Pakubuwana V. Primbon tersebut dikenal dengan nama "Serat Centhini" atau "Suluk Tambangraras".
Selain itu, ada juga kitab yang mengulas secara lengkap tentang resep dari obat-obatan tradisional, yakni "Serat Kaoro Bap Djampi-Djampi" atau "Serat Kawruh" yang ditulis pada 1858 Masehi. Dalam proses perkembangannya, kedudukan minuman ini telah diwariskan secara turun temurun yang diawali sebagai minuman keluarga kerajaan.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak
Advertisement