Sejarah 'Adzan Pitu', Tradisi Tujuh Muazin Kumandangkan Azan Bersamaan Tolak Kekuatan Sihir

Keunikan tradisi 'adzan pitu' atau tujuh terjadi saat para muazin mengumandangkan azan.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 28 Okt 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2022, 12:00 WIB
Lomba Azan Pitu dan Warisan Sunan Gunung Jati Cirebon
Masjid Agung Sang Cipta Rasa di kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon akan menggelar lomba Azan Pitu dalam rangkaian Festival Tajug saat peringatan hari santri nasional. Foto (Liputan6.com / Panji Prayito)

Liputan6.com, Cirebon - Sebuah masjid si Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon memiliki tradisi yang unik dan berbeda. Adalah tradisi "adzan pitu" yang dimiliki Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasultanan Cirebon.

Masjid kuno ini dibangun pada masa Sunan Gunung Jati dan Wali Sanga, tepatnya pada 1480 Masehi. Masjid ini tak memiliki menara azan.

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa bertujuan sebagai pusat penyebaran agama Islam di Cirebon dan sekitarnya. Tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid ini juga digunakan sebagai tempat menuntut ilmu agama.

Keunikan tradisi azan pitu atau tujuh terjadi saat para muazin mengumandangkan azan. Untuk memanggil umat agar bergegas melaksanakan ibadah salat Jumat, mereka melalukan tradisi azan tujuh.

Adzan pitu adalah tradisi mengumandangkan azan yang dilakukan oleh tujuh orang muazin secara bersama-sama. Tradisi ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan telah menjadi tradisi turun-temurun.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Sejarah Adzan Pitu

Menurut informasi dari naskah "Caruban Nagari", azan pitu dimulai sejak masa awal perkembangan Islam di Cirebon, yakni bertepatan dengan pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, tepatnya pada 1480 M. Konon, terjadi musibah di Mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang menyebabkan tiga orang muazin meninggal dunia berturut-turut secara misterius.

Masyarakat Cirebon yang saat itu belum semuanya memeluk agama Islam, menolak pembangunan masjid. Utusan dari Mataram Kuno, Megananda yang seorang Hindu, mencoba menggagalkan pembangunan masjid melalui kesaktiannya yang disebut 'menjangan wulung'.

Setiap orang yang terkena kekuatan sihir menjangan wulung akan mati dengan darah di sekujur tubuhnya. Hal inilah yang menyebabkan kematian misterius tiga muazin.

Untuk mengatasi keadaan tersebut, Nyi Mas Pakung Wati pun memerintahkan muazin untuk melaksanakan azan oleh beberapa orang. Jumlah muazin terus bertambah hingga enam orang. Namun, warga setempat masih saja terkena serangan sihir.

Kemudian, jumlah muazin pun ditambah menjadi tujuh orang. Ternyata, hingga selesai mengumandangkan azan, tidak terjadi serangan seperti sebelumnya.

Bersamaan dengan itu, dentuman besar terdengar dari arah atap mesjid. Akhirnya azan pitu pun berlanjut setiap kali salat lima waktu yang tujuannya untuk mengantisipasi serangan susulan.

Setelah dirasa kondusif, azan pitu dialihkan hanya untuk salat Jumat. Hingga sekarang, adzan pitu masih dilakukan.

 


Pelaksanaan Tradisi Azan Pitu

Prosesi pelaksanaan azan pitu untuk salat Jumat sebenarnya hampir sama dengan prosesi pelaksanaan salat Jumat pada umumnya. Setelah penabuhan beduk, dilanjutkan dengan adzan pitu selama 5-7 menit oleh tujuh orang muazin yang berjajar di saf ke-4.

Kemudian, dilanjutkan salat sunah sebelum azan kembali dikumandangkan oleh satu muazin. Satu orang muazin tersebut merupakan salah satu muazin yang mengumandangkan adzan pitu.

Selain fungsi sosial, azan pitu juga memiliki nilai ekonomi. Pasalnya, azan pitu menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi Kota Cirebon sekaligus beribadah.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya